Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Komisi tanpa Nama Besar

Seleksi calon anggota Komisi Yudisial segera memasuki tahap akhir. Beberapa calon dengan rekam jejak meragukan masuk. Nama yang digadang-gadang berguguran.

13 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETUMPUK map diserahkan Asep Rahmat Fajar kepada panitia seleksi calon anggota Komisi Yudisial. Map itu berisi laporan profil kandidat pemimpin Komisi Yudisial yang ditelisik Koalisi Pemantau Peradilan. Selain daftar kekayaan, laporan tersebut memuat perjalanan karier dan kasus yang pernah ditangani calon anggota pengawas martabat hakim itu.

Sembilan belas anggota panitia seleksi yang dikomandani Harkristuti Harkrisnowo memelototi hasil kerja Koalisi tersebut. Selama dua jam, Selasa dua pekan lalu, Asep dan dua anggota Koalisi bergiliran menguraikan catatan baik-buruk setiap calon di depan panitia seleksi. Sesekali anggota panitia seleksi melakukan interupsi jika mereka memiliki data yang berbeda dengan yang disodorkan Koalisi Pemantau.

Meski sudah bekerja sekitar sepuluh hari, koalisi gabungan berbagai lembaga swadaya masyarakat—antara lain Indonesia Corruption Watch, Transparency International Indonesia, Indonesia Legal Roundtable, serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan—itu tidak berhasil menggali rekam jejak semua calon. Dari 40, hanya 31 kandidat yang bisa ditelisik catatan masa lalunya. ”Paling banyak hanya 12 calon yang layak dipilih,” kata Asep kepada panitia seleksi. Sisanya, di mata Koalisi, dianggap tidak layak lantaran memiliki rekam jejak buruk.

Penelusuran Koalisi Pemantau, misalnya, menemukan beberapa calon yang diduga terlibat mafia peradilan. Seorang calon dinilai juga memiliki harta kekayaan yang tidak wajar. Lalu ada pula calon yang punya catatan buram perihal tingkah lakunya. ”Pernah melakukan tindakan asusila,” kata Asep. Siapa mereka, Asep tak bersedia buka mulut. Dia hanya berharap panitia berani mencoret calon-calon tersebut.

Hasil penelisikan Koalisi ini, ujar wakil ketua panitia seleksi, Indrianto Seno Adji, tidak serta-merta ditelan mentah-mentah. Pihaknya, kata Indrianto, juga sudah menelusuri rekam jejak para calon. Panitia, tutur Indrianto, sudah mengantongi 29 calon yang lolos seleksi. Mereka dinyatakan lulus tes profile assessment, yang digelar pada Selasa tiga pekan lalu di gedung Bidakara, Jakarta Selatan. ”Sebelas calon gugur karena nilai mereka sangat rendah,” kata Indrianto. Kandidat yang lolos seleksi itu diputuskan dalam rapat sehari sebelum panitia menerima laporan Koalisi.

Kendati demikian, laporan Koalisi membuat ”peta kandidat” versi panitia berubah. Lima dari 29 calon dicoret lantaran masukan dari Koalisi. ”Kami menyepakati ada 24 kandidat yang layak masuk tahap berikutnya,” kata Harkristuti. Calon yang lolos itu didominasi mereka yang berlatar belakang akademisi, yakni 10 orang. Setelah itu, pengacara (7 orang), serta hakim dan mantan hakim masing-masing satu orang. Adapun sisanya, satu orang, karyawan swasta.

Nama yang lolos memang terdengar asing alias bisa dibilang tak dikenal publik. Satu-satunya yang agak ”populer” hanya Abbas Said, yang kini menjabat hakim agung. Para calon yang tidak terdengar itulah yang bakal menjadi kandidat pengganti Busyro Muqoddas dan lima komisioner lainnya.

Dari 24 calon itu, panitia seleksi masih akan memeras lagi hingga tersisa 14 nama untuk diserahkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jumlah itulah yang nanti akan dikirim ke DPR untuk mengganti anggota Komisi Yudisial, yang sebenarnya sudah pensiun lantas diperpanjang lewat keputusan presiden.

l l l

SYARAT untuk menjadi anggota komisi penjaga martabat hakim itu terhitung tidak mudah. Koalisi Pemantau Peradilan, misalnya, menetapkan syarat utama calon mesti memiliki integritas. Syarat lain, tidak pernah membela koruptor; tidak pernah terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme; tidak mentoleransi mafia peradilan; mengetahui dunia kehakiman dan kode etik hakim; serta bisa memimpin secara kolegial.

Ada syarat lain yang mesti dipenuhi. Calon harus tegas dan berani, mau melaporkan harta kekayaannya, punya rekam jejak memberantas mafia peradilan, dan memiliki komitmen menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota Komisi.

Dari 40 pendaftar yang ikut tes profile assessment, kata Asep, tidak banyak yang memenuhi syarat itu. Misalnya tiga calon yang berasal dari hakim dan mantan hakim. ”Ada calon dari hakim yang sudah enam kali diadukan ke Komisi Yudisial,” kata Asep.

Sumber Tempo di Komisi Yudisial juga berbisik, salah satu hakim yang namanya masuk daftar 24 calon hasil perasan panitia seleksi juga pernah diadukan ke Komisi Yudisial. ”Kalau dia masuk di sini, mudaratnya bisa dipastikan lebih besar, dan itu merugikan agenda reformasi peradilan,” kata sumber tersebut. Ia curiga hakim agung itu sengaja dikirim Mahkamah Agung untuk menjinakkan Komisi Yudisial, yang keras terhadap hakim yang nakal.

Dari penelusuran Tempo, calon yang dimaksud ternyata Abbas Said. Kepada majalah ini, juru bicara Mahkamah Agung, Hatta Ali, mengakui Abbas Said disebut-sebut oleh beberapa kalangan sebagai calon tak bersih. Soal ini, Hatta menyanggah. ”Beliau bagus. Kalau bermasalah, pasti tidak lolos, dong,” ujar Hatta. Menurut Hatta Ali, rekannya itu mendaftar menjadi anggota Komisi Yudisial atas kemauan sendiri, bukan dikirim MA. ”Hak beliau mendaftar jadi anggota Komisi Yudisial.”

Indrianto mengakui laporan mengenai rekam jejak Abbas Said lumayan banyak. Ada laporan, ujar Indrianto, yang menyebut Abbas hakim yang malas sehingga perkara yang mesti ditanganinya menumpuk. Namun, kata Indrianto, setelah dicek ke Mahkamah Agung, ternyata bertolak belakang. Abbas, menurut Mahkamah, salah satu hakim yang banyak menangani perkara. ”Jadi dia masuk kategori yang tidak buruk.”

Asep juga menunjuk seorang calon yang kini menjadi panitera di sebuah pengadilan tak layak duduk di Komisi Yudisial karena pernah dilaporkan ke Majelis Kehormatan Hakim. Anggota panitia seleksi, Mudji Sutrisno, mengatakan bahwa data dan laporan semacam ini akan terus didalami. Laporan masyarakat yang bersifat miring, menurut Mudji, akan dikonfirmasi kepada calon saat tes wawancara. ”Kami akan menyaring dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan calon yang berkualitas,” kata Mudji.

l l l

PENDAFTARAN calon anggota Komisi Yudisial yang dibuka sejak 17 Mei lalu bisa dibilang sepi peminat. Ketika pendaftaran ditutup sebulan kemudian, baru 115 orang yang mengirim lamaran. Panitia lantas memperpanjangnya hingga 18 Juli. Tercatat, hingga detik terakhir, 247 orang yang mendaftar.

Sejumlah anggota Komisi Yudisial juga masih berminat duduk di lembaga ini. Dua komisioner, Soekotjo Soeparto dan Chatamarrasjid, ikut mengirim lamaran. Tapi keduanya terpental di tahap tes profile assessment. Adapun Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas memilih mendaftar jadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Bersama Bambang Widjojanto, Busyro kini kandidat pemimpin lembaga penyikat koruptor itu.

Dari 247 pendaftar itu lalu disaring dan tersisa 190 calon yang kemudian diminta membuat makalah. Pada tahap inilah calon yang sebelumnya dinilai memiliki kans kuat menjadi nakhoda di Komisi Yudisial berguguran. Salah satunya adalah bekas hakim konstitusi Maruarar Siahaan. Makalahnya, di mata tiga dosen dari Universitas Indonesia yang diminta panitia seleksi untuk menilai, dinyatakan tak memenuhi kualifikasi. ”Padahal saya termasuk yang minta Pak Maruarar untuk mendaftar,” kata Busyro Muqoddas.

Nama lainnya adalah mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Azlaini Agus dan mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Syamsul Bahri. Mereka juga setali tiga uang dengan Maruarar, dianggap tak becus membuat makalah. Seleksi ”tahap makalah” dengan sistem gugur ini tak pelak dikritik Asep. ”Makalah seharusnya hanya menjadi salah satu pertimbangan meluluskan calon,” katanya.

Kendati demikian, dari calon yang tersisa, Asep menilai masih ada yang bisa diharapkan. Di antaranya Suparman Marzuki, dosen Universitas Islam Yogyakarta. Integritas Suparman, kata Asep, bagus. ”Dia juga termasuk orang yang ikut menyusun cetak biru Komisi Yudisial.” Asep juga menjagokan Abdul Ficar Hadjar, mantan juru bicara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta; Hermansyah, dosen dari Pontianak; dan mantan staf ahli Mahkamah Konstitusi, Taufiqurrahman, sebagai calon yang layak duduk di Komisi.

Mulai Rabu pekan ini, 24 nama itu bakal disaring lagi oleh panitia seleksi lewat tes wawancara. Wawancara itu akan digelar di ruang rapat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Memilih 14 nama untuk dikirim ke Presiden inilah tugas terberat panitia. Tentu harus kandidat terbaik, karena merekalah penjaga sekaligus penegak martabat hakim.

Sutarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus