Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua puluh babi putih dan kelabu berkumpul melingkar. Di tengahnya berserakan kartu remi. Tingkah hewan itu tak sama: ada yang duduk manis, ada yang berdempetan, ada pula yang membelakangi teman-temannya. Itulah Berkerumun, seni instalasi karya Adikara, bekerja sama dengan KPK alias Komunitas Pecinta Kertas.
Para babi kertas itu merupakan satu dari puluhan karya seni yang dipamerkan dalam 0,0 Art Project di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mulai Rabu pekan lalu. Perupanya ada lima seniman urban: Adikara, Gogor Purwoko, Krishna, Purwanto, dan William R. Diberi label urban karena mereka memang menggarap tema yang berkaitan dengan kehidupan perkotaan.
Coba lihat miniatur bangku taman berwarna putih di atas hamparan pasir yang ada di salah satu sudut. Di hadapan bangku itu ada tangga yang menjulang ke atas. Makin ke atas, anak tangga makin kecil hingga akhirnya menggapai ”langit”: multipleks berwarna biru awan yang dipasang di langit-langit galeri. Karya Khrisna S. Tjitrosoemarto ini diberi judul The Sky Is The Limit.
Krishna, perupa 42 tahun yang pernah belajar di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta, menyajikan seni lukis, seni video, dan seni instalasi. Di atas kanvas, pria yang pernah mengajar di SMP Santa Ursula dan SMA Kanaan ini mengguratkan sosok Buddha dalam berbagai bentuk. Ada Green Buddha #2, yang melukiskan sang Buddha sebagai ”vas bunga” dan kepalanya ditumbuhi dedaunan hijau. Dalam seni video bertajuk Mind Stock, Buddha digambarkan duduk di ruangan serba putih. Ia menatap ke televisi layar datar yang menampilkan kelebatan gambar-gambar duniawi semisal perang, hiruk-pikuk kota, dan anak-anak diiringi alunan musik new age.
Definisi urban versi Seno Purwanto Aji berbeda. Seniman kelahiran Jombang, Jawa Timur, 34 tahun lalu ini menampilkan semua kreasinya di atas kanvas lukisan. Gambar-gambarnya hidup dan penuh humor. Misalnya, Faith #1: lukisan dua buah tangan yang berhadapan dan saling siap menembak, namun yang mereka jadikan senjata bukan pistol, melainkan… pisang! Seno lagi-lagi memakai pisang dalam I Have A Big Banana. Gambar ini menampilkan sosok berjas dan dasi yang tengah memegang pisang yang separuh dikupas.
Dua perupa lainnya, Gogor dan William R., lebih banyak bermain dengan garis dan bentuk. Sederhana namun artistik. Gogor, 38 tahun, sudah dua kali berpameran tunggal Kata Rasa Mata di Koi Gallery dan Di Atas Kertas di Darmint Art Café, Jakarta. Ia, antara lain, menyajikan Pohon. Lukisan berlatar cokelat tua dengan enam bulatan kecil berwarna kuning. Ada juga Mencari Jalan Sendiri, gambar berlatar hitam yang berisi seratus lingkaran kecil seperti kelereng yang disusun sepuluh kali sepuluh.
Lain lagi guratan William, di atas kanvas. Pelukis 42 tahun ini lebih banyak berkreasi dengan bentuk lingkaran besar dengan aneka warna dan embel-embel. Misalnya, Endless No. 5 adalah lukisan berupa lingkaran raksasa hitam. Di dalamnya ada secuil lingkaran merah dan di pinggirnya ada irisan warna emas bergambar naga. Karya-karya seniman ini tersebar di sejumlah galeri di Indonesia, Singapura, Spanyol, dan Belanda. Dua lukisannya dipajang di Wisma Indonesia di Maroko.
Begitulah, kelima perupa datang dari latar belakang yang beragam. Dalam berbagai diskusi dan pertemuan, mereka sepakat: Jakarta yang kian padat dan sarat persoalan ini kerap membuat penghuninya kurang berinteraksi. Mereka pun mencoba menjembatani perbedaan itu lewat karya seni. Merwan Yusuf, kurator pameran ini, menyatakan meski kelima seniman ini berbeda-beda, karya mereka diharapkan bisa ”berinteraksi” dan ”tidak mendahulukan kepentingan individu”.
Itu sebabnya, di dinding depan pameran ini tertera: Ground O ruang kosong yang terbuka untuk diberi isi dan dimaknai secara berbeda-beda oleh kelima seniman.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo