Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Puisi Ilhamdi Putra

Ilhamdi Putra adalah penyair kelahiran Padang, Sumatera Barat. Karyaya disiarkan media cetak dan elektronik, serta terhimpun dalam beberapa antologi bersama.

9 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Puisi_Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tentang Sungai Limau

  • Marpoyan

  • Sebenar Mabuk, Sutan

Ilhamdi Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentang Sungai Limau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerisik nyiur tengah hari pekak itu seperti ketuntang pinggan, Upik

piring keramik putih susu, cambung kaca sewarna tembaga

segalanya tersuling menghantam gendang telinga

 

“di sini angin laut akan terus berdesir, Engku

digulungnya riak laut ke tepi, digusurnya pasir-pasir sehitam pantat kuali

bila malam naik setinggi pelupuh, angin itu pula yang mengetuk ruas jantung

ia naikkan darah hitam dari pasi udara malam”.

 

Namun aku dikirimi tenung, Upik

dari gerisik dedaun, ujung lengkung ranting muda

sementara tajuk menggaram itu berkelindan padanya

 

“siapakah Engku Muda yang hendak dipertuan di tanah kami?

sudahkah pandai Engku Muda menawar bisa anak sepasan dalam rimba?”.

 

Maka aku mainkan kilah tempurung retak

ketika mumbang jatuh dari keluk kerambil condong

seperti nasib malang ambai-ambai lubang tergali ombak datang

keluh parak rumbia ditinggalkan kaum lindang ke negeri seberang.

 

Sebab aku dikirimi tenung, Upik

tentang ganggang-ganggang hijau mengambang di sepanjang talao

tidak lagi dipermainkan gerisik angin yang dikandung samudera dalam

tentang jalur-jalur ditumbuhi limau kapas ke arah Sungai Geringging

di mana asamnya rurut, dan jalannya dikelupaskan gelombang pasang

 

tapi gerisik nyiur tengah hari pekak itu kian menggema

dalam liang telinga, sampai deras aliran darah pekat

maka terjawab juga yang satu dari sekian

 

“silat hanya sejengkal, Datuk, selebihnya cuma bunga”.

 

2021


 

Marpoyan

 

Meski angin sakal berulang kali melambung

di sini segalanya tetap, tidak ada yang bergerak

Marpoyan tetap saja perihal hunian tanpa pagar depan

rumah beratap tinggi dengan pekarangan tersuruk di belakang.

 

Bilamana di luar pintu

kota tengah mengidap demam panas-dingin

radang getah paru, sesak napas berkepanjangan

Marpoyan tetap hening di dalam, dan sepi di luar.

 

Di sini kita akan terus mencari arti lain dari kata pulang

maka kubayangkan hingar kampung dan rumah-rumah lapang

terkurung halaman di mana rumput bermiang menjangkau pinggang

 

tapi di mana benar titian usang diletakkan melintang

titian yang bisa mengalihkan kita, turut menyelamatkan kota

dari hasrat pulang kampung yang datang tiap sebentar.

 

Kita akan terus dibuat memandang jauh hingga mata memutih

sementara Marpoyan menyempurnakan barisan rumah seroma

hunian beratap tinggi dengan warna pucat yang sama.

 

2021


 

Sebenar Mabuk, Sutan

 

Pada remang suluh itu, Sutan, kutahan hasrat untuk pulang habis

juga niat merebahkan batang pinang sepelurus jalan ke arah dusun,

aku kira rebahnya mengarah pada kubur di mana ingatan terperam.

 

Seruas buluh lemang, Sutan, di suluh buluh lemang

paruku serasa dibakar bara gaharu, tubuhku dipendam ke serat pucuk rebung

setelah lembing kalimat terakhir mendesir hingga tali jantung

 

mengirisku ke dalam tungku sebelum kuali diletakkan

sebelum perahan putih berminyak itu dilenakan.

 

Aih, aku ingin nyala api tak membakar, gelap selain hitam

dan pada ketinggian malam di antara jejaran suluh

aku gadaikan hasrat pulang.

 

Sehabis jalan kurentang helai benang lepas dari telekung

kusungkah manis empedu, kujemput pahit pada pangkal tebu

tapi jarak hanya tergunting bola mata, janji tinggal dari besok ke lusa

 

dan kudengar suluh bergunjing

tentang siku bertukak tak kunjung kering

tentang hasrat yang tinggal panas di kening.

 

Dan aku mabuk, Sutan, mabuk tuak dikira santan

memasuki kampung sebagai orang hilang dari ranji kaum

kaum yang memperdendangkan salam selamat tinggal

ketika hitungan malam ganjil membusutkan purnama cerlang.

 

Dari lindap cahaya sebelum menyisakan arang

kalimat-kalimat teluh tak selesai, petunang terbaca tuah tak sampai

waktu adalah ruang tak berpintu, talak jatuh seremang suluh direbahkan

ke bancah sisa lanyak kubangan sawah.

 

2021


Ilhamdi Putra lahir di Padang, Sumatera Barat. Bergiat di ruang riset sastra dan humaniora Lab. Pauh 9. Tulisannya disiarkan media cetak dan elektronik, serta terhimpun dalam beberapa antologi bersama. Pada 2019, ia terpilih sebagai Emerging Writers pada Ubud Writers and Readers Festival.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus