Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Puisi Iyut Fitra

Iyut Fitra ialah penulis buku puisi Lelaki dan Tangkai Sapu yang meraih penghargaan sastra Kemendikbud RI pada 2020.

2 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Puisi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • suara-suara debu

  • puisi barangkali

  • rumah yang kasmaran

Puisi Iyut Fitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

suara-suara debu

        

meski kami hanya debu yang bisa kaukibas sekali sentil

tapi kami tak sendiri

ketika tempat-tempat di mana kami bermukim, kini kaubangun kiblat-kiblat baru

suara kami akan menuju ranjangmu sebelum sempat kau pejamkan mata

duduklah sejenak. hidupkan kembali lampu

dari gorong-gorong kesunyian dan lembab. malam akan menjalar indah

maka dengarkan suara kami yang tidak sendiri

suara pengki beradu-adu batu. cangkul kehilangan pematang

atau bisa saja tamborin yang berguncang-guncang perih

suara itu akan menjelma nyanyian aneh. mungkin serupa lebah

atau seperti bunyi pasir menimbun-nimbun tahun

kau tak akan pernah lagi bermimpi. kecuali hanya suara-suara kami

 

di kota ini kami adalah rombongan perantau yang terus-terusan tersesat

berutang pada waktu. sedikit mendapat lebih banyak kehilangan

riuh knalpot, pekak pluit, mobil plat merah, dasi, dan baju seragam

seolah membungkus cuaca yang kemudian dikirim pada kami sebagai tuba

tangkai sapu jalanan, gerobak-gerobak kaki lima, tumpukan plastik bekas,

atau bisa pula kaleng-kaleng yang kaulempar

sesungguhnya adalah lubang di dada kami yang terkoyak

 

bila semua itu tak mampu meruruh hati

lalu apa yang kau anggap lebih selain dengus dan deru?

ah, betapa kau tak akan pernah tahu keadaan hati kami

hati yang setiap malam mengunjungi kamarmu. kau tak akan lagi tidur

hanya suara-suara kami

karena kami tak sendiri

 


 

puisi barangkali

 

puisi ini barangkali huruf-huruf yang tergeletak di jalanan. ditinggal lalu-lalang

menatap bagai mata gergaji

mencari merih-merih menderita. merih yang pasrah pada kelam malam

pucat pasi. tak lagi berdarah, dan kelaparan

di tikungan juga selokan ia lafazkan mantra-mantra kebencian

pada hidup sungsang. hidup yang berbaris panjang tanpa kepastian

huruf-huruf yang tiada berdaya ketika pisau tajam berulang-ulang menikam

 

puisi ini barangkali kata-kata yang bermuntahan dari ribuan mulut yang mengembara

di padang-padang impian, panggung, dan perayaan

teriakan itu serupa dengung lebah berkerumun mengejar sarang

dengung yang kemudian hening saja seketika

karena kata-kata bagai iringan tak bertujuan

buncah tanpa arah. narasi tentang lembah-lembah yang lemah

 

puisi ini barangkali kalimat-kalimat luka di atas bendera yang sama

di mana rasa sakit dikibarkan siang malam. meski kadang tanpa lagu dan upacara

gaungnya sampai ke berbagai kampung dan seluruh kota

kalimat-kalimat yang tertatih dengan ragam kabar di pundak dan punggung

 

puisi ini barangkali catatan panjang dari barisan yang sekarat

setiap saat kisah-kisah berjalinan mesra dalam pagut cemas

menindih siang, malam, ruang, dan waktu. waktu yang kemudian menjelma badai

menghempas segala ke dalam riuh dan guruh. ke dalam sesuatu yang tak tersentuh

badai yang juga menjadi catatan panjang

 

puisi ini barangkali adalah selembar kertas tentang bangsa yang robek

 


 

rumah yang kasmaran

 

 semenjak wabah itu. rumah-rumah tidak pernah lagi kesepian

semua mencintainya tiba-tiba. tak ada yang demikian hendak meninggalkan

aku begitu tersanjung, sudah lama aku tidak dipeluk sedekap ini,

katanya seraya terus berbedak

segala ia temani dengan gembira. wajah-wajah gelisah, roman-roman ketakutan

ia lantunkan ayat-ayat yang ia akrabi sedari kecil

sudah terlalu lama aku ditinggalkan. kalian betapa sibuk dengan bermacam perburuan,

ucapnya di halaman. di teras. di kebun bunga sederhana yang disulap dalam sekejap.

di kamar yang sudah lama tidak dibersihkan. di tembok tempat pajangan

dan lukisan terlupakan. di pagar yang kini jarang sekali terbuka

 

begitulah. segala memang akan selalu kembali setelah kepergian

cinta dan kasih pun akan menjadi tua pada saatnya

rumah itu kini merasa kasmaran

dinding dan loteng dengan cat terang. gorden bersih dan seluruh kain jendela terpampang

dadaku berdegup, dadaku berdegup!

soraknya melupakan gabuk-gabuk penantian. sarang nyamuk. tumpukan kumuh

serupa juntai jelaga menghilang begitu saja. ia serahkan segalanya

tanpa diketuk

sesungguhnya sudah teramat lama kalian larut dalam lupa dan pura-pura

semua senyap. seluruh bisu. hanya pintu berderit-derit seolah mengusir setiap kecemasan

 

semenjak wabah itu. segala kembali bergegas pulang

mencintai rumah. melafazkan doa-doa yang sudah lama terlupakan

 


IYUT FITRA lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatera Barat. Buku puisinya, Lelaki dan Tangkai Sapu, meraih penghargaan sastra Kemendikbud RI pada 2020.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus