Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
suara-suara debu
puisi barangkali
rumah yang kasmaran
Puisi Iyut Fitra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
suara-suara debu
meski kami hanya debu yang bisa kaukibas sekali sentil
tapi kami tak sendiri
ketika tempat-tempat di mana kami bermukim, kini kaubangun kiblat-kiblat baru
suara kami akan menuju ranjangmu sebelum sempat kau pejamkan mata
duduklah sejenak. hidupkan kembali lampu
dari gorong-gorong kesunyian dan lembab. malam akan menjalar indah
maka dengarkan suara kami yang tidak sendiri
suara pengki beradu-adu batu. cangkul kehilangan pematang
atau bisa saja tamborin yang berguncang-guncang perih
suara itu akan menjelma nyanyian aneh. mungkin serupa lebah
atau seperti bunyi pasir menimbun-nimbun tahun
kau tak akan pernah lagi bermimpi. kecuali hanya suara-suara kami
di kota ini kami adalah rombongan perantau yang terus-terusan tersesat
berutang pada waktu. sedikit mendapat lebih banyak kehilangan
riuh knalpot, pekak pluit, mobil plat merah, dasi, dan baju seragam
seolah membungkus cuaca yang kemudian dikirim pada kami sebagai tuba
tangkai sapu jalanan, gerobak-gerobak kaki lima, tumpukan plastik bekas,
atau bisa pula kaleng-kaleng yang kaulempar
sesungguhnya adalah lubang di dada kami yang terkoyak
bila semua itu tak mampu meruruh hati
lalu apa yang kau anggap lebih selain dengus dan deru?
ah, betapa kau tak akan pernah tahu keadaan hati kami
hati yang setiap malam mengunjungi kamarmu. kau tak akan lagi tidur
hanya suara-suara kami
karena kami tak sendiri
puisi barangkali
puisi ini barangkali huruf-huruf yang tergeletak di jalanan. ditinggal lalu-lalang
menatap bagai mata gergaji
mencari merih-merih menderita. merih yang pasrah pada kelam malam
pucat pasi. tak lagi berdarah, dan kelaparan
di tikungan juga selokan ia lafazkan mantra-mantra kebencian
pada hidup sungsang. hidup yang berbaris panjang tanpa kepastian
huruf-huruf yang tiada berdaya ketika pisau tajam berulang-ulang menikam
puisi ini barangkali kata-kata yang bermuntahan dari ribuan mulut yang mengembara
di padang-padang impian, panggung, dan perayaan
teriakan itu serupa dengung lebah berkerumun mengejar sarang
dengung yang kemudian hening saja seketika
karena kata-kata bagai iringan tak bertujuan
buncah tanpa arah. narasi tentang lembah-lembah yang lemah
puisi ini barangkali kalimat-kalimat luka di atas bendera yang sama
di mana rasa sakit dikibarkan siang malam. meski kadang tanpa lagu dan upacara
gaungnya sampai ke berbagai kampung dan seluruh kota
kalimat-kalimat yang tertatih dengan ragam kabar di pundak dan punggung
puisi ini barangkali catatan panjang dari barisan yang sekarat
setiap saat kisah-kisah berjalinan mesra dalam pagut cemas
menindih siang, malam, ruang, dan waktu. waktu yang kemudian menjelma badai
menghempas segala ke dalam riuh dan guruh. ke dalam sesuatu yang tak tersentuh
badai yang juga menjadi catatan panjang
puisi ini barangkali adalah selembar kertas tentang bangsa yang robek
rumah yang kasmaran
semenjak wabah itu. rumah-rumah tidak pernah lagi kesepian
semua mencintainya tiba-tiba. tak ada yang demikian hendak meninggalkan
aku begitu tersanjung, sudah lama aku tidak dipeluk sedekap ini,
katanya seraya terus berbedak
segala ia temani dengan gembira. wajah-wajah gelisah, roman-roman ketakutan
ia lantunkan ayat-ayat yang ia akrabi sedari kecil
sudah terlalu lama aku ditinggalkan. kalian betapa sibuk dengan bermacam perburuan,
ucapnya di halaman. di teras. di kebun bunga sederhana yang disulap dalam sekejap.
di kamar yang sudah lama tidak dibersihkan. di tembok tempat pajangan
dan lukisan terlupakan. di pagar yang kini jarang sekali terbuka
begitulah. segala memang akan selalu kembali setelah kepergian
cinta dan kasih pun akan menjadi tua pada saatnya
rumah itu kini merasa kasmaran
dinding dan loteng dengan cat terang. gorden bersih dan seluruh kain jendela terpampang
dadaku berdegup, dadaku berdegup!
soraknya melupakan gabuk-gabuk penantian. sarang nyamuk. tumpukan kumuh
serupa juntai jelaga menghilang begitu saja. ia serahkan segalanya
tanpa diketuk
sesungguhnya sudah teramat lama kalian larut dalam lupa dan pura-pura
semua senyap. seluruh bisu. hanya pintu berderit-derit seolah mengusir setiap kecemasan
semenjak wabah itu. segala kembali bergegas pulang
mencintai rumah. melafazkan doa-doa yang sudah lama terlupakan
IYUT FITRA lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatera Barat. Buku puisinya, Lelaki dan Tangkai Sapu, meraih penghargaan sastra Kemendikbud RI pada 2020.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo