Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hanya kemenangan di atas kertas

Tuntutan ganti rugi atas polisi yang salah tahan/tangkap dikabulkan di sidang pra-pengadilan dalam kasus penahanan terhadap 2 orang karyawan pt. podomoro (jkt) dan paulus kawihardja (bandung). (hk)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSAMAAN kedudukan antara tersangka dan polisi di depan hukum makin terlihat. Sekurangnya dua kali sidang pra-peradilan sejak Agustus 1982, memutuskan kepolisian sebagai pihak yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, menahan atau menangkap orang tanpa mengindahkan hukum acara pidana yang berlaku (KU HAP). Dan karena itu bekas tersangka berhak mendapat ganti rugi. Salah satu putusan itu dijatuhkan Hakim Wieke S. Kusumawati di sidang pra-peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis lalu. Hakim wanita itu menetapkan, polisi telah menangkap tiga orang kuli dan dua orang karyawan PT Podomoro, secara tidak sah, antara lain karena tanpa surat perintah. Alasan pihak kepolisian, penangkapan itu untuk pengamanan sesuai dengan Undang-Undang Pokok Kepolisian, ternyata ditolak hakim. "Polisi tidak dapat menangkap dengan melanggar hukum acara pidana yang berlaku," ujar Wieke. Tuntutan buruh dan karyawan PT Podomoro yang pernah ditangkap polisi Kores 702 Jakarta Utara itu, berupa ganti rugi, juga dikabulkan hakim. Juniari, Wagio dan Sabar yang berstatus buruh (kuli) mendapat ganti rugi sebanyak masing-masing Rp 20 ribu. Dua orang karyawan yang lain, Billy Yani Lesmana dan The Tjong Eng, mendapat ganti rugi masing-masing Rp 25 ribu dan Rp 20 ribu. Kelima orang itu mengalami nasib naas ketika mengerjakan saluran air di Jalan C, kompleks real estate PT Podomoro di Sunter, Jakarta Utara, 14 Agustus lalu. Kelimanya ditangkap oleh satuan Sabhara Kores 702, Jakarta Utara dipimpin Capa Maryono, tanpa surat perintah. Lebih dari sehari-semalam mereka diperiksa di Kores 702, Jakarta Utara. Tuduhan yang ditimpakan: telah mensabotase jalan yang akan dilalui truk-truk PT Servitia. Perusahaan PT Servitia, saat itu sedang membangun gudang-gudang Bulog dekat kompleks PT Podomoro. Dan truk-truk perusahaan itu melewati jalanjalan yang dibangun PT Podomoro. Saat itu pula antara kedua perusahaan memang terjadi perselisihan. Tapi terlepas dari itu, "penangkapan itu tanpa surat perintah dan pemberitahuan terhadap keluarga tersangka," ujar Rusdi Nurima pengacara mereka. Tambahan lagi, menurut Rusdi, polisi tidak mempunyai bukti yang cukup sebelum melakukan penangkapan. Dan yang paling dikeluhkan pengacara yang juga Direktur Klinik Peradin Jaya itu, kliennya diperiksa sehari semalam, melebihi waktu penangkapan yang ditetapkan KUHAP selama 24 jam. "Saya sampai pukul 1 malam menunggui mereka, tapi polisi baru melepaskan esok siangnya lagi," kata Rusdi. Sebab itu Rusdi memakai sidang pra-peradilan untuk menuntut polisi yang dianggapnya telah melampaui wewenang itu. Di sidang pra-peradilan, pihak Kores Jakarta Utara, membantah semua tuduhan Rusdi. Dalam jawaban Danres 702, Jakarta Utara, Letkol.Pol. Sentot Roemekso, diakui, penangkapan itu berdasarkan pengaduan PT Servitia. Perusahaan pergudangan itu mengeluh, jalan yang mereka lalui terhambat karena dipasang portal setinggi 1,5 m oleh buruh-buruh dan karyawan PT Podomoro. Kata Sentot Roemekso dalam jawabannya, polisi mengkhawatirkan akan terjadi bentrokan fisik antara karyawan dan buruh kedua perusahaan itu. Sebab itu, lanjut polisi, pihaknya melakukan tindakan preventif pengamanan fisik dengan melakukan penangkapan untuk mencari motif perbuatan itu. Di akhir jawabannya, Sentot menilai, perbuatan kelima orang buruh dan karyawan PT Podomoro itu telah menjurus ke subversi. Sebab, gudang yang sedang dibangun PT Servitia itu, merupakan gudang Bulog untuk mengamankan stok pangan nasional. Tapi semua alasan itu ternyata tidak diterima hakim, dan polisi dikalahkan. "Kalau pakai KUHAP, kami memang tidak kuat," ujar seorang petugas kepolisian yang diajukan ke pengadilan. Capa Maryono, komandan yang melakukan penangkapan, membenarkan perintah penangkapan yang diterimanya itu hanya lisan. "Tapi sebagai bawahan, lisan atau tertulis akan saya laksanakan," katanya. Ia membantah telah melakukan penahanan. "Orang-orang itu hanya diajak ke Komando, untuk diperiksa, tapi karena tidak selesai, pemeriksaan sampai esok harinya," kata Maryono. Nasib yang dialami Maryono dan kawan-kawannya, sudah menimpa pula rekannya polisi Bandung, Agustusan lalu. Hakim Nyonya Ellyana di sidang pra-peradilan Pengadilan Negeri Bandung, menetapkan polisi Kotabes Bandung bersalah melakukan penahanan tidak sah terhadap seorang tersangka, Paulus Kawihardja alias Cipto. Paulus ditahan selama 26 hari karena tuduhan penipuan. Sementara wewenang polisi untuk melakukan penahanan menurut KUHAP hanya berlaku 20 hari. Tapi tuntutan Paulus melalui kuasanya S. Tanusubroto untuk diberi ganti rugi sebesar Rp 100 juta, ditolak hakim. "Belum dapat kami kabulkan karena belum ada peraturan pelaksanaannya," ujar Hakim Ellyana. Tapi hak Paulus itu, kata hakim, tidak hilang bila peraturan sudah ada. TAPI persoalannya adalah "kepada siapa kami harus meminta ganti rugi itu, kepada Polri atau kepada kas negara?" tanya Nurima, pengacara karyawan Podomoro. Sebab itu ia menilai kemenangan kliennya baru kemenangan di atas kertas saja. "Ini salah satu kelemahan KUHAP," katanya. Agar tidak di atas kertas, Rusdi berniat membawa keputusan pra-peradilan itu ke Mahkamah Militer. "Masalahnya apa tindakan lebih lanjut terhadap polisi yang melakukan penangkapan tidak sah itu," ujarnya. Ia menginginkan kalau tidak melalui Mahkamah Militer, agar ada tindakan disiplin dari Kapolri atas kesalahan bawahannya itu. Siapa yang harus membayar ganti rugi, di antara penggarap KUHAP di DPR sendiri tidak satu kata. Anggota DPR Gde Jaksa menafsirkan, yang harus membayar ganti rugi dalam kasus buruh dan karyawan PT Podomoro adalah instansi yang berbuat keliru, yaitu Kores 702. Sementara rekannya sefraksi, V.B. da Costa, menilai, yang harus membayar ganti rugi adalah negara, kas negara. "Seharusnya hakim menetapkan begitu dalam putusannya," kata Da Costa. Dalam vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara tentang kasus karyawan PT Podomoro, memang tidak disebutkan siapa yang harus membayarkan ganti rugi. Kapolri Jenderal Polisi Dr. Awaloedin Djamin MPA tidak mempersoalkan siapa yang harus membayar ganti rugi kepada tersangka atau kepada tahanan yang salah tangkap. "Pemerintah yang harus membayar, Polri atau kas negara sama saja," ujar Kapolri. Ia juga tidak menganggap banyaknya tuntutan terhadap polisi melalui pra-peradilan akhir-akhir ini akan membuat citra polisi menurun. Malah Awaloedin menganggap hal itu positif. "Agar polisi lebih seksama dan hati-hati menjalankan tugas," kata Kapolri lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus