PERSAMAAN kedudukan antara tersangka dan polisi di depan hukum
makin terlihat. Sekurangnya dua kali sidang pra-peradilan sejak
Agustus 1982, memutuskan kepolisian sebagai pihak yang telah
melakukan perbuatan melawan hukum, menahan atau menangkap orang
tanpa mengindahkan hukum acara pidana yang berlaku (KU HAP). Dan
karena itu bekas tersangka berhak mendapat ganti rugi.
Salah satu putusan itu dijatuhkan Hakim Wieke S. Kusumawati di
sidang pra-peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis
lalu. Hakim wanita itu menetapkan, polisi telah menangkap tiga
orang kuli dan dua orang karyawan PT Podomoro, secara tidak sah,
antara lain karena tanpa surat perintah. Alasan pihak
kepolisian, penangkapan itu untuk pengamanan sesuai dengan
Undang-Undang Pokok Kepolisian, ternyata ditolak hakim. "Polisi
tidak dapat menangkap dengan melanggar hukum acara pidana yang
berlaku," ujar Wieke.
Tuntutan buruh dan karyawan PT Podomoro yang pernah ditangkap
polisi Kores 702 Jakarta Utara itu, berupa ganti rugi, juga
dikabulkan hakim. Juniari, Wagio dan Sabar yang berstatus buruh
(kuli) mendapat ganti rugi sebanyak masing-masing Rp 20 ribu.
Dua orang karyawan yang lain, Billy Yani Lesmana dan The Tjong
Eng, mendapat ganti rugi masing-masing Rp 25 ribu dan Rp 20
ribu.
Kelima orang itu mengalami nasib naas ketika mengerjakan saluran
air di Jalan C, kompleks real estate PT Podomoro di Sunter,
Jakarta Utara, 14 Agustus lalu. Kelimanya ditangkap oleh satuan
Sabhara Kores 702, Jakarta Utara dipimpin Capa Maryono, tanpa
surat perintah.
Lebih dari sehari-semalam mereka diperiksa di Kores 702, Jakarta
Utara. Tuduhan yang ditimpakan: telah mensabotase jalan yang
akan dilalui truk-truk PT Servitia. Perusahaan PT Servitia, saat
itu sedang membangun gudang-gudang Bulog dekat kompleks PT
Podomoro. Dan truk-truk perusahaan itu melewati jalanjalan yang
dibangun PT Podomoro.
Saat itu pula antara kedua perusahaan memang terjadi
perselisihan. Tapi terlepas dari itu, "penangkapan itu tanpa
surat perintah dan pemberitahuan terhadap keluarga tersangka,"
ujar Rusdi Nurima pengacara mereka. Tambahan lagi, menurut
Rusdi, polisi tidak mempunyai bukti yang cukup sebelum melakukan
penangkapan. Dan yang paling dikeluhkan pengacara yang juga
Direktur Klinik Peradin Jaya itu, kliennya diperiksa sehari
semalam, melebihi waktu penangkapan yang ditetapkan KUHAP selama
24 jam. "Saya sampai pukul 1 malam menunggui mereka, tapi polisi
baru melepaskan esok siangnya lagi," kata Rusdi. Sebab itu Rusdi
memakai sidang pra-peradilan untuk menuntut polisi yang
dianggapnya telah melampaui wewenang itu.
Di sidang pra-peradilan, pihak Kores Jakarta Utara, membantah
semua tuduhan Rusdi. Dalam jawaban Danres 702, Jakarta Utara,
Letkol.Pol. Sentot Roemekso, diakui, penangkapan itu berdasarkan
pengaduan PT Servitia. Perusahaan pergudangan itu mengeluh,
jalan yang mereka lalui terhambat karena dipasang portal
setinggi 1,5 m oleh buruh-buruh dan karyawan PT Podomoro. Kata
Sentot Roemekso dalam jawabannya, polisi mengkhawatirkan akan
terjadi bentrokan fisik antara karyawan dan buruh kedua
perusahaan itu.
Sebab itu, lanjut polisi, pihaknya melakukan tindakan preventif
pengamanan fisik dengan melakukan penangkapan untuk mencari
motif perbuatan itu. Di akhir jawabannya, Sentot menilai,
perbuatan kelima orang buruh dan karyawan PT Podomoro itu telah
menjurus ke subversi. Sebab, gudang yang sedang dibangun PT
Servitia itu, merupakan gudang Bulog untuk mengamankan stok
pangan nasional.
Tapi semua alasan itu ternyata tidak diterima hakim, dan polisi
dikalahkan. "Kalau pakai KUHAP, kami memang tidak kuat," ujar
seorang petugas kepolisian yang diajukan ke pengadilan. Capa
Maryono, komandan yang melakukan penangkapan, membenarkan
perintah penangkapan yang diterimanya itu hanya lisan. "Tapi
sebagai bawahan, lisan atau tertulis akan saya laksanakan,"
katanya. Ia membantah telah melakukan penahanan. "Orang-orang
itu hanya diajak ke Komando, untuk diperiksa, tapi karena tidak
selesai, pemeriksaan sampai esok harinya," kata Maryono.
Nasib yang dialami Maryono dan kawan-kawannya, sudah menimpa
pula rekannya polisi Bandung, Agustusan lalu. Hakim Nyonya
Ellyana di sidang pra-peradilan Pengadilan Negeri Bandung,
menetapkan polisi Kotabes Bandung bersalah melakukan penahanan
tidak sah terhadap seorang tersangka, Paulus Kawihardja alias
Cipto. Paulus ditahan selama 26 hari karena tuduhan penipuan.
Sementara wewenang polisi untuk melakukan penahanan menurut
KUHAP hanya berlaku 20 hari.
Tapi tuntutan Paulus melalui kuasanya S. Tanusubroto untuk
diberi ganti rugi sebesar Rp 100 juta, ditolak hakim. "Belum
dapat kami kabulkan karena belum ada peraturan pelaksanaannya,"
ujar Hakim Ellyana. Tapi hak Paulus itu, kata hakim, tidak
hilang bila peraturan sudah ada.
TAPI persoalannya adalah "kepada siapa kami harus meminta ganti
rugi itu, kepada Polri atau kepada kas negara?" tanya Nurima,
pengacara karyawan Podomoro. Sebab itu ia menilai kemenangan
kliennya baru kemenangan di atas kertas saja. "Ini salah satu
kelemahan KUHAP," katanya.
Agar tidak di atas kertas, Rusdi berniat membawa keputusan
pra-peradilan itu ke Mahkamah Militer. "Masalahnya apa tindakan
lebih lanjut terhadap polisi yang melakukan penangkapan tidak
sah itu," ujarnya. Ia menginginkan kalau tidak melalui Mahkamah
Militer, agar ada tindakan disiplin dari Kapolri atas kesalahan
bawahannya itu.
Siapa yang harus membayar ganti rugi, di antara penggarap KUHAP
di DPR sendiri tidak satu kata. Anggota DPR Gde Jaksa
menafsirkan, yang harus membayar ganti rugi dalam kasus buruh
dan karyawan PT Podomoro adalah instansi yang berbuat keliru,
yaitu Kores 702. Sementara rekannya sefraksi, V.B. da Costa,
menilai, yang harus membayar ganti rugi adalah negara, kas
negara. "Seharusnya hakim menetapkan begitu dalam putusannya,"
kata Da Costa. Dalam vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara
tentang kasus karyawan PT Podomoro, memang tidak disebutkan
siapa yang harus membayarkan ganti rugi.
Kapolri Jenderal Polisi Dr. Awaloedin Djamin MPA tidak
mempersoalkan siapa yang harus membayar ganti rugi kepada
tersangka atau kepada tahanan yang salah tangkap. "Pemerintah
yang harus membayar, Polri atau kas negara sama saja," ujar
Kapolri. Ia juga tidak menganggap banyaknya tuntutan terhadap
polisi melalui pra-peradilan akhir-akhir ini akan membuat citra
polisi menurun. Malah Awaloedin menganggap hal itu positif.
"Agar polisi lebih seksama dan hati-hati menjalankan tugas,"
kata Kapolri lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini