Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muara Sakai, Indrapura
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muara Sakai, pelabuhan tua Indrapura
Kutemui engkau tersuruk, di semak paya
dan rawa-rawa. Lapuk terbengkalai
dalam peta lama pantai barat Sumatera
Tapi engkau tak pernah selesai atau tamat
diteruka. Karena di sini sungai bukanlah sungai
yang terdedah di mata.
Jika sungai adalah arus bertukar arus
hingga bersalin rupa dan rasa di laut
maka serupa itu langit menautkan bibir
yang bengkak oleh mendung dan geluduk
ke kebun lada. Hingga ikut mekar
bunga-bunga bangkai raflessia
tak melulu di hutan-hutan Bengkulen.
Eceng gondok bunga teratai membuka kelopaknya
tengadah bagai telapak tangan dalam hening doa
setelah mendekap kisah-kisah.
2.
Di sungai dan rawa-rawa Muara Sakai
masih ada yang bersisa. Gudang tua
bau merica. Pesing tai kambing
berserak bagai butiran peluru kompeni
di pelataran. Jembatan gantung
melenggang lurus ke seberang
dengan bilah-bilah papan merenggang
bagai jemari telapak tangan
sia-sia menggengggam tanah emas pasir muara.
Di antara derak-deram langkah kaki
Dan putaran roda motor kebun
Aku menapak masa-masa ranum
Saat buah-buah kisah dan sejarah
Masak menggantung di ranting-ranting pohon silsilah
Kulihat Raja Tua & Raja Muda sama melenggang
ke arah matahari terbenam
dan angslup di laut.
Langkahku bergetar di atas papan jembatan,
seperti kepak sayap enggang
dari Kerinci. Suaramu berulang
seperti kuik elang dari Silebar tengah hari
menggurit kabar perih dari langit silam.
3.
Awal abad ke-17, Muara Sakai,
pelabuhan masyhur Indrapura
disinggahi kapal-kapal segala bangsa
demi rempah dan emas murni
sambil menurunkan kain-kain dan keramik
bertukar barang atau berjual-beli
Inggris masuk mengharap bayaran lada hitam
tapi tersingkir ke selatan sebelum usai tawar-menawar,
buang jangkar dekat Silebar
dan terpaksa menerima lada vasal Banten
Prancis menyauk emas dari jantung Majunto
dan lorong-lorong tambang Salido
Jerman mengirim mesin pendulang
Meski macet berulang-ulang
Italia putar haluan ke Afrika atau kembali ke Genoa
Setelah menenggelamkan jung-jung sultan
dari utara. Portugis memutar arah ke timur
jadi lanun Selat Malaka, tapi Ilanun dari selatan Filipina
menjadi tertuduhnya. VOC-Belanda bertahan
karena pandai mengambil hati
pangeran dan sultan.
4.
Maka para pialang dan utusan Aceh
dengan sisa-sisa jung dan pincalang berbalik ke utara
Bagai menghindari angin topan
mereka mendekam di Koto Tangah dan Pariaman
Sebagian tenggelam atas perintah Groenewegen
yang ringan tangan melepas meriam dan bantuan
Tapi lebih banyak lagi bertahan di bandar Tiku
Membangun kampung dan gudang
demi menjaga malu dan kehormatan trah Iskandar
1648, Belanda menyebar empat kapal besar
seolah berbagi peran: Wesel merapat di Muara Sakai
Noordstar di Salido, Swarte Beer di Pariaman
Wolff di Tiku—dan mulai campur tangan
dalam segala urusan, mengacau belanga Sultan Muda
lewat tangan Sultan Tua
sambil menyalakan api di luar tungku.
Tapi kapal Songsong Barat milik Indrapura
di bawah Nakhoda Raja Maulana
Terus menjelajah bandar-bandar yang mereka punya
Namanya menyiratkan makna: siap menyongsong apa pun
yang datang dari belahan bumi barat,
bagai menyongsong ganasnya angin barat
—itu musim keramat yang dijaga para mualim
dan sekalian hulubalang
Pun kapal Mesir Bahrul Abyad
bisa terus berlayar mengangkut penumpang
dari Indrapura, India dan berlabuh di Basra
Begitu setiap musim haji, Bahrul Abyad datang dan pergi
Sementara Nakhoda Mangkuto dari Bayang
bebas berdagang ke Jawa, Borneo dan Karimata,
lalu mengembangkan lada di Prabung
jadi duta Indrapura hingga akhir hayatnya
di Lampung, ujung Sumatera.
5.
Indrapura, namamu tegak di mana-mana
namun runtuh juga. Setiap sehasta tempat di muka bumi
Seratus mil jalan di lautan dilalui.
Bagi kapal-kapal seberang lautan
Bukan sekedar menjumpai. Bukan sekedar merapat
Jatuhkan sauh dan layar dilipat
Mereka datang buat bertaruh nyawa dengan nyawa
Seperti tombak pusaka berlaga tombak pusaka
Serupa ombak dengan ombak bersabung
di karang dan buritan. Bertampik.
Menjeritkan nama tuhan
Emas dan kemenangan. Lambungnya adalah
tambang emas dan gudang merica
Tangannya adalah urat berpilin
Lancang menyalin semuanya dalam rupa-rupa
surat niaga, traktat dan laporan
ke Batavia. Hingga suatu ketika
Sultan, kaki tangan dan para utusan pun berangkat
Seperti surat-surat ekspedisi terlipat
di lambung peti kemas paling kuno
Tanda tangan, cap jempol dan stempel
bagai bahasa lisan yang dititahkan leluhur
dalam tambo, tertempel di meja perjamuan
bagai sirih dalam carano,
sebagian terlipat lebih jauh lagi
dalam laci besi hilang kunci.
Begitulah Perjanjian Painan 1663
pernah diteken.
6.
Di negeri keramat masih ditegakkan panji-panji
daulat. Tapi siapa sultan siapa raja
masih bersilang kata. Raja Muda, Maharaja Tua,
Raja adil raja disembah entah ke mana
Jejaknya menjadi bara api di sepanjang peta silsilah
Memercik ke serambi dan balairung istana
Dan kesudahannya menjalar
ke rumah-rumah para pembesar
Lidah hasutan bagai tempaan keris dan pedang
Tapi lebih membara lagi dalam hati para hulubalang
untuk memilih dan berpihak
Sementara kebun lada dan kapas
Terlanjur sudah terhempas
Seperti lidah ombak menjadi buih
bagai merentang bendera putih penyerahan
di sepanjang pantai dan bandar silam
Ah, api, di mana-mana api,
Pun dalam diri
Sultan dan para puan!
7.
Sapi-sapi telah lepas dan tidur-tiduran di jalan
Sambil makan sisa kertas kantor desa dan sampah-sampah
mengonggok di samping gerobak soto dan es tongtong
Pisak celanaku terasa sesak karena kenyang
Makan rendang lokan dan kolak pisang batu
dekat tikungan
Rumah panglima masih tegak di pertigaan
Jadi rumah tinggal anak-anak turunan
yang kawin-mawin dan berarak-arak
Turun tangga mencari setapak
jalan sejarah di bawah langit mendung.
8.
Tangga batu besar berundak di atas rumput
Terendam air hujan semalam. Sebuah kolam ikan
Direnangi itik-itik bersuara soak bagai suara toa
Di surau tua dengan pasir berderai di atas atap
Istana dan rumah hulu balang sudah roboh
Tinggal satu dua rumah panglima bertiang tinggi
dengan atap seng berkarat
Seperti kena ludah air sirih ibu suri
dihamburkan menghadap langit
“Di mana raja bertahta?”
“Tak ke mana-mana, tapi di mana-mana.”
Nadanya datar, sedatar tanah Indrapura
Menghampar sejauh lorong tambang,
dan bekas kebun lada
di lambung gunung dan kaki-kaki
Bukit Barisan. Hingga ke ombak dan lautan
yang berdebur. Biru, kelabu, menghempas
tangisku.
/2018-2023
______________________
Raudal Tanjung Banua tinggal di Bantul, Yogyakarta. Mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia. Buku mutakhirnya Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018) dan Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (2020).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo