Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Puisi Raudal Tanjung Banua

Raudal Tanjung Banua menyiarkan tulisan-tulisannya di berbagai media. Berdomisili di Yogyakarta. 

13 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muara Sakai, Indrapura

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


1.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muara Sakai, pelabuhan tua Indrapura

Kutemui engkau tersuruk, di semak paya

dan rawa-rawa. Lapuk terbengkalai 

dalam peta lama pantai barat Sumatera

Tapi engkau tak pernah selesai atau tamat

diteruka. Karena di sini sungai bukanlah sungai

yang terdedah di mata. 


Jika sungai adalah arus bertukar arus

hingga bersalin rupa dan rasa di laut

maka serupa itu langit menautkan bibir 

yang bengkak oleh mendung dan geluduk

ke kebun lada. Hingga ikut mekar 

bunga-bunga bangkai raflessia

tak melulu di hutan-hutan Bengkulen. 

Eceng gondok bunga teratai membuka kelopaknya

tengadah bagai telapak tangan dalam hening doa

setelah mendekap kisah-kisah.


2.

Di sungai dan rawa-rawa Muara Sakai 

masih ada yang bersisa. Gudang tua 

bau merica. Pesing tai kambing 

berserak bagai butiran peluru kompeni

di pelataran. Jembatan gantung 

melenggang lurus ke seberang 

dengan bilah-bilah papan merenggang

bagai jemari telapak tangan

sia-sia menggengggam tanah emas pasir muara. 


Di antara derak-deram langkah kaki 

Dan putaran roda motor kebun

Aku menapak masa-masa ranum

Saat buah-buah kisah dan sejarah

Masak menggantung di ranting-ranting pohon silsilah 

Kulihat Raja Tua & Raja Muda sama melenggang

ke arah matahari terbenam

dan angslup di laut.


Langkahku bergetar di atas papan jembatan, 

seperti kepak sayap enggang 

dari Kerinci. Suaramu berulang

seperti kuik elang dari Silebar tengah hari

menggurit kabar perih dari langit silam.

3.

Awal abad ke-17, Muara Sakai, 

pelabuhan masyhur Indrapura

disinggahi kapal-kapal segala bangsa 

demi rempah dan emas murni

sambil menurunkan kain-kain dan keramik 

bertukar barang atau berjual-beli


Inggris masuk mengharap bayaran lada hitam

tapi tersingkir ke selatan sebelum usai tawar-menawar, 

buang jangkar dekat Silebar

dan terpaksa menerima lada vasal Banten 

Prancis menyauk emas dari jantung Majunto 

dan lorong-lorong tambang Salido

Jerman mengirim mesin pendulang

Meski macet berulang-ulang


Italia putar haluan ke Afrika atau kembali ke Genoa

Setelah menenggelamkan jung-jung sultan

dari utara. Portugis memutar arah ke timur 

jadi lanun Selat Malaka, tapi Ilanun dari selatan Filipina 

menjadi tertuduhnya. VOC-Belanda bertahan 

karena pandai mengambil hati

pangeran dan sultan. 


4.

Maka para pialang dan utusan Aceh

dengan sisa-sisa jung dan pincalang berbalik ke utara

Bagai menghindari angin topan

mereka mendekam di Koto Tangah dan Pariaman

Sebagian tenggelam atas perintah Groenewegen 

yang ringan tangan melepas meriam dan bantuan


Tapi lebih banyak lagi bertahan di bandar Tiku

Membangun kampung dan gudang

demi menjaga malu dan kehormatan trah Iskandar 


1648, Belanda menyebar empat kapal besar

seolah berbagi peran: Wesel merapat di Muara Sakai

Noordstar di Salido, Swarte Beer di Pariaman 

Wolff di Tiku—dan mulai campur tangan 

dalam segala urusan, mengacau belanga Sultan Muda

lewat tangan Sultan Tua

sambil menyalakan api di luar tungku.


Tapi kapal Songsong Barat milik Indrapura

di bawah Nakhoda Raja Maulana

Terus menjelajah bandar-bandar yang mereka punya

Namanya menyiratkan makna: siap menyongsong apa pun

yang datang dari belahan bumi barat, 

bagai menyongsong ganasnya angin barat

—itu musim keramat yang dijaga para mualim 

dan sekalian hulubalang 


Pun kapal Mesir Bahrul Abyad

bisa terus berlayar mengangkut penumpang 

dari Indrapura, India dan berlabuh di Basra

Begitu setiap musim haji, Bahrul Abyad datang dan pergi

Sementara Nakhoda Mangkuto dari Bayang

bebas berdagang ke Jawa, Borneo dan Karimata, 

lalu mengembangkan lada di Prabung

jadi duta Indrapura hingga akhir hayatnya

di Lampung, ujung Sumatera.


5.

Indrapura, namamu tegak di mana-mana

namun runtuh juga. Setiap sehasta tempat di muka bumi

Seratus mil jalan di lautan dilalui. 

Bagi kapal-kapal seberang lautan

Bukan sekedar menjumpai. Bukan sekedar merapat

Jatuhkan sauh dan layar dilipat


Mereka datang buat bertaruh nyawa dengan nyawa

Seperti tombak pusaka berlaga tombak pusaka 

Serupa ombak dengan ombak bersabung 

di karang dan buritan. Bertampik. 

Menjeritkan nama tuhan

Emas dan kemenangan. Lambungnya adalah

tambang emas dan gudang merica

Tangannya adalah urat berpilin

Lancang menyalin semuanya dalam rupa-rupa 

surat niaga, traktat dan laporan

ke Batavia. Hingga suatu ketika


Sultan, kaki tangan dan para utusan pun berangkat 

Seperti surat-surat ekspedisi terlipat 

di lambung peti kemas paling kuno

Tanda tangan, cap jempol dan stempel

bagai bahasa lisan yang dititahkan leluhur

dalam tambo, tertempel di meja perjamuan 

bagai sirih dalam carano, 

sebagian terlipat lebih jauh lagi

dalam laci besi hilang kunci.


Begitulah Perjanjian Painan 1663 

pernah diteken.


6.

Di negeri keramat masih ditegakkan panji-panji

daulat. Tapi siapa sultan siapa raja

masih bersilang kata. Raja Muda, Maharaja Tua, 

Raja adil raja disembah entah ke mana

Jejaknya menjadi bara api di sepanjang peta silsilah


Memercik ke serambi dan balairung istana 

Dan kesudahannya menjalar 

ke rumah-rumah para pembesar

Lidah hasutan bagai tempaan keris dan pedang

Tapi lebih membara lagi dalam hati para hulubalang

untuk memilih dan berpihak

Sementara kebun lada dan kapas

Terlanjur sudah terhempas

Seperti lidah ombak menjadi buih

bagai merentang bendera putih penyerahan

di sepanjang pantai dan bandar silam


Ah, api, di mana-mana api,

Pun dalam diri

Sultan dan para puan!


7.

Sapi-sapi telah lepas dan tidur-tiduran di jalan

Sambil makan sisa kertas kantor desa dan sampah-sampah

mengonggok di samping gerobak soto dan es tongtong

Pisak celanaku terasa sesak karena kenyang

Makan rendang lokan dan kolak pisang batu

dekat tikungan


Rumah panglima masih tegak di pertigaan

Jadi rumah tinggal anak-anak turunan

yang kawin-mawin dan berarak-arak

Turun tangga mencari setapak 

jalan sejarah di bawah langit mendung.


8. 

Tangga batu besar berundak di atas rumput 

Terendam air hujan semalam. Sebuah kolam ikan

Direnangi itik-itik bersuara soak bagai suara toa

Di surau tua dengan pasir berderai di atas atap


Istana dan rumah hulu balang sudah roboh

Tinggal satu dua rumah panglima bertiang tinggi

dengan atap seng berkarat

Seperti kena ludah air sirih ibu suri

dihamburkan menghadap langit


“Di mana raja bertahta?”

“Tak ke mana-mana, tapi di mana-mana.”

Nadanya datar, sedatar tanah Indrapura

Menghampar sejauh lorong tambang, 

dan bekas kebun lada

di lambung gunung dan kaki-kaki 

Bukit Barisan. Hingga ke ombak dan lautan 

yang berdebur. Biru, kelabu, menghempas

tangisku.


/2018-2023

______________________

Raudal Tanjung Banua tinggal di Bantul, Yogyakarta. Mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia. Buku mutakhirnya Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018) dan Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (2020). 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus