Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Racikan Mini Sapardi

Menghardik Gerimis menyajikan prosa dengan liris penceritaan. Senikmat membaca puisi.

27 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Racikan Mini Sapardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khoimatun Nikmah
Mahasiswa Universitas Semarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sastra bersifat dinamis, tidak ajek, dan tidak beraturan baku. Sifat inilah yang membuat sastra mampu menampilkan ragam bentuk sehingga tak monoton di mata penikmatnya. Garis demarkasi antara puisi dan prosa sebelumnya begitu kentara, seolah-olah dua hal itu tidak memiliki kemungkinan bersua dalam satu muara. Namun buku Menghardik Gerimis, karya terbaru Sapardi Djoko Damono, meleburkan garis tersebut, yang membuat membaca prosa senikmat membaca puisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku yang terbit pada awal Juli ini tersebut memang diberi tajuk sebagai sepilihan cerpen-cerita pendek. Benar adanya, dalam buku ini terhimpun 38 cerita besutan Sapardi. Tapi setiap cerita dalam buku ini justru memberi pengalaman sesyahdu manakala membaca larik-larik manis puisinya. Setiap cerita dalam buku ini mementingkan keberadaan diksi terbaik, kemudian memotret suasana yang pendek tapi begitu sejuk dan rindang, serta bentuk yang tak begitu panjang.

Panjang-pendek dalam ukuran cerita pendek memang sangat relatif. Di sastra Barat, kita mengenal Ben Loory yang cerpennya sangat pendek, juga Alice Munro yang menulis cerpen sepanjang novelet. Meski demikian, setiap cerita dalam buku ini disajikan dengan ringkas berkisar dua sampai tiga halaman. Tercatat hanya judul Dongeng Rama dan Sita yang memiliki badan cerita cukup panjang.

Dalam buku ini kita memang akan disuguhi banyak cerita, namun di setiap cerita kita seperti sedang membaca puisi Sapardi. Dalam cerita berjudul Menghardik Gerimis, dipotret percakapan seorang suami yang membenci gerimis lantaran gerimis membuatnya terpeleset dan harus menjalani operasi patah tulang.

"…gerimis selalu jatuh pelan-pelan, diam-diam, tidak memberi tahu, dan dengan licik membasahi lantai…" (hlm. 3)

Atau dalam cerpen Jalan Lurus dan Sungai, yang mempersonifikasikan sebentang jalan dan seliuk sungai. Dengan gaya liris Sapardi. Aku adalah sebuah jalan, Jalan Lurus namaku. (hlm. 4)

Aku bersahabat dengan sebuah sungai. Sejak muncul dari mata air di gunung itu, ia segera mengenalku dan tampaknya telah jatuh cinta padaku. (hlm. 11)

Dalam cerita mini tersebut terpotret sebuah adegan kecil lengkap dengan suasana yang hadir lewat kata-kata. Persis sensasi yang kita alami saat berhadapan dengan teks puisi Sapardi. Selain sensasi kerindangan alam sebagai latar, nuansa jenaka tampak dalam beberapa cerita. Misalnya dalam judul Naik Ka-Er-El, kita akan melihat seorang pekerja yang saban hari naik angkot, suatu kali menjajal naik KRL. Penuh sesak mengejutkan. Sepatu menginjak sendal, dengkul beradu dengkul, bokong menyenggol bokong, senyum dibalas cengir, ‘aduh’ dibalas ‘sori.’ (hlm.19)

Dalam perjalanan itu, kakinya tertukar dengan kaki penumpang lain. Sebuah gambaran ironi yang gemas sekaligus miris. Dan ketika dalam kamar berganti celana, baru aku sadar bahwa kakiku yang kiri dan yang kanan tak sama panjangnya, yang kiri bukan kakiku ternyata. (hlm. 19)

Nuansa riang juga tampak dalam cerpen Meditasi Sunan Kalijaga, pentas teater dengan judul yang sama, digambarkan hanya seorang yang duduk dan bermeditasi. Tanpa "eksen", tanpa dialog. Hanya seekor kucing yang lewat di tengah pentas. Ternyata kucing lewat itu adalah kesilapan penyelenggara. Kami mohon maaf sebesar-besarnya bahwa selama pertunjukan yang seharusnya khusyuk tadi ada seekor kucing lewat. Itu di luar rencana kami. (hlm. 22)

Cerita mini dalam buku ini jelas berbeda dengan genre fiksi mini yang pernah dikembangkan dalam beberapa judul Agus Noor. Agus Noor menulis fiksi dengan ukuran mini melalui platform Twitter. Dalam kalimat yang tidak lebih dari 200 karakter, penulis harus sudah bisa menangkap dan menyimpulkan cerita. Sedangkan Sapardi tidak. Sapardi hanya menangkap sebuah adegan, sebuah suasana, sebuah metafora yang kemudian dirangkai dalam narasi pendek demi menjaga intensitas suasana. Seperti sebuah potongan adegan kuat, pendek namun begitu membekas.

Gaya Sapardi juga berbeda dengan gaya Ben Loory, yang memangkas cerita "panjang" menjadi "pendek" dengan menihilkan deskripsi tokoh, deskripsi ruang, serta suasana. Dengan demikian, meski karya Loory dan Sapardi sama-sama cerita yang bergerbong mampat, fokus keduanya adalah dua mata kamera yang berlawanan. Sapardi ingin menjaga suasana, Loory ingin menguatkan adegan tokoh cerita tanpa peduli suasana dan latar.

Prosa Sapardi adalah gaya puisi Sapardi itu sendiri. Buku Menghardik Gerimis ini menyajikan prosa dengan liris penceritaan. Tidak berpretensi untuk menampilkan sebuah adegan "berat". Namun kesederhanaan itulah yang membuat kita sampai pada kenikmatan membaca tiada tara dan sesekali disentil oleh ironi yang jenaka.


Menghardik Gerimis

Penulis : Sapardi Djoko Damono

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Edisi : Pertama, Juli 2019

Tebal : 96 halaman

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus