Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Raket Susi dan Diskriminasi

Sebuah biopik tentang pebulu tangkis Susi Susanti. Mengulik jatuh-bangunnya sang legenda, termasuk diskriminasi yang diterimanya.

26 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Oreima Films

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MERAIH medali emas Olimpiade Barcelona- tahun 1992 cuma salah- satu alasan mengapa nama Susi Susanti bercokol kuat di benak kita. Di garis sejarah, ia adalah legenda. Saat masih di sekolah menengah pertama, ia menang dalam World Championship Junior 1985 untuk tiga kategori sekaligus: tunggal putri, ganda, dan campuran. Bertambah usia, atlet asal Tasikmalaya, Jawa Barat, ini makin beringas di lapangan. Susi membawa Indonesia menjuarai Piala Sudirman untuk pertama kali pada 1989 dan empat kali berjaya di All England. Gara-gara Susi, prestasi bulu tangkis kita pernah begitu perkasa.

Torehan itu yang membuat produser Daniel Mananta (A Man Called Ahok) dan Reza Hidayat menggarap Susi Susanti: Love All dengan Sim F (Sanubari Jakarta) sebagai sutradaranya. Film biopik yang mulai digarap dua tahun lalu ini menggiring kita ke masa lalu. Tak hanya mengenalkan sosok Susi Susanti di luar lapangan, tapi juga mengingatkan bahwa negeri ini berutang banyak pada bulu tangkis. Bahwa sejak puluhan tahun lalu atlet cabang olahraga ini menyumbang segunung medali, tapi ironisnya sebagian atletnya selama bertahun-tahun mendapat diskriminasi rasial.

Susi Susanti: Love All memotret rasisme dengan jujur tapi kadang implisit. Seperti saat menghadirkan Susi kecil yang “berbeda” di antara anak-anak kampungnya. Sim F mengemas Susi remaja secara simbolis. Gadis manis ini memakai kostum balerina merah yang mencolok di antara bocah-bocah bumiputra. Dengan kostum itulah Susi “menghajar” seorang jagoan bulu tangkis dalam pertandingan di kampung. Kemenangan kecil itu menjadi awal dari serentetan prestasi Susi berikutnya yang tersuguh di film berdurasi 96 menit ini.

Namun Sim F tak berlama-lama dalam satu fragmen hidup Susi. Bahkan kadang lompatannya terasa terlalu cepat, seperti saat menyorot fase bergabungnya sang -atlet dengan klub Jaya Raya. Di klub inilah Susi mulai berlatih mati-matian dan memelihara ambisinya menjadi pebulu tangkis Indonesia pertama yang menjuarai Olimpiade. Tahap ini sebenarnya menarik untuk dieksplorasi, karena kemudian Susi mulai mengasah kemampuan dan mengoleksi medali untuk Indonesia.

Oreima Films

Alih-alih mengulik bagian ini, Sim F memilih buru-buru masuk ke dunia Susi dewasa (Laura Basuki) yang bergabung dengan pemusatan latihan nasional (pelatnas) pada 1986. Di pelatnas, konflik yang dialami Susi makin tajam. Ia mulai digelayuti kegelisahan soal status kewarganegaraannya. Persoalan etnis ini digoreng Sim F dengan bumbu dari sana-sini yang faktual. Salah satu yang menarik adalah perjuangan Liang Chiu Sia (Jenny Zhang) dan Tong Sin Fu (Chew Kin Wah), dua pelatih Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia. Keduanya adalah eksil 1965 yang malangnya, seperti halnya Susi, tak kunjung bisa membereskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

Politik identitas terhadap keturunan Cina saat Orde Baru menjadi kekuatan konflik di film ini. Tak bisa dimungkiri diskriminasi yang mereka alami ruwet dan menjengkelkan. Begitu pun di ranah olahraga bulu tangkis, problem primordial sangat kental. Padahal atlet keturunan Cina banyak berkontribusi untuk prestasi Indonesia yang bejibun. Bukan hanya Susi (yang dikenal vokal bicara ke media soal diskriminasi), tapi juga kawannya di pelatnas bulu tangkis, seperti Ardy B. Wiranata, Alan Budikusuma (diperankan Dion Wiyoko), dan Sarwendah Kusumawardhani (Kelly Tandiono).

Pernyataan Susi soal identitas dipilih Sim F sebagai klimaks film. Pada 1998, Susi diwawancarai oleh CNN di sela Piala Thomas dan Uber di Hong Kong. Dalam wawancara itu, Susi teguh menyatakan bahwa dia adalah orang Indonesia dan tak berniat mencari suaka. Pada saat yang sama, ia menepikan kekecewaannya yang mendalam kepada pemerintah yang tak juga memberinya SBKRI. Adegan ini dieksekusi dengan baik oleh Laura Basuki (Gara-gara Bola, Madre). Laura dapat menyampaikan suasana hati Susi yang kalut dan marah, baik lewat intonasi maupun tatapan mata.

Dengan memilih bagian ini sebagai gong film, Sim F sekaligus mengorbankan adegan epik yang mungkin tak bisa dilupakan rakyat Indonesia, yakni momen menangisnya Susi saat bendera Indonesia berkibar di Barcelona pada 1992 dan lagu Indonesia Raya diperdengarkan seusai kemenangannya di final. Tangisan bersejarah itu muncul di film, tapi tak lama. Ihwal ini, Sim F punya pertimbangan khusus. “Peristiwa itu sudah banyak dilihat orang di YouTube, tapi isi wawancara dengan CNN di Hong Kong itu menurut saya adalah momen emas yang menunjukkan nasionalisme seorang Susi Susanti,” ujarnya.

Sebagai biopik, Susi Susanti: Love All mampu menyeimbangkan porsi antara romansa dan kehidupan atlet yang berat (walau film ini tak begitu menunjukkan kerasnya Liang Chiu Sia dan Tong Sin Fu yang konon galak saat melatih). Kisah cinta Susi dengan Alan Budikusuma tentu menjadi daya pikat, apalagi romansa yang dijalani keduanya tak biasa. Karena saban hari sibuk latihan tepok bulu, saat pacaran, mereka kadang terlihat culun. Chemistry antara Laura dan Dion terjalin baik. Perbedaan karakter keduanya pun bisa dieksplorasi sebagai bahan lelucon yang meledakkan tawa.

Laura sendiri bermain apik. Sebelum pengambilan gambar, ia menyantap porsi latihan harian yang sama seperti atlet bulu tangkis lain. Selama enam bulan ia berguru kepada Chiu Sia, yang juga pelatih Susi. Tak mengherankan bila ia lumayan meyakinkan beraksi dengan raketnya, termasuk mela-koni gerakan sesukar split.

ISMA SAVITRI

Oreima Films

 

Susi Susanti: Love All | Sutradara: Sim F | Aktor: Laura Basuki, Dion Wiyoko, Lukman Sardi, Chew Kin Wah | Produser: Daniel Mananta, Reza Hidayat | Produksi: Damn! I Love Indonesia, Oreima Films, East West Energy | Rilis: 24 Oktober 2019

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus