Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kliping koran tentang pembunuhan buruh pabrik arloji dan gambar itu menempel pada pagar berbentuk seng yang mengelilingi pendapa sebesar aula. Obyek menyerupai tubuh perempuan tanpa kepala berbungkus kertas semen dan karung dikaitkan pada seng. Di tengah-tengah pagar seng itu terdapat tumpukan batu bata tinggi dan bambu. Benda menyerupai televisi diletakkan pada dinding batu bata.
Karya seni instalasi berjudul Pembangunan Taman Monumen Marsinah garapan Moelyono, seniman asal Tulungagung, Jawa Timur, ini paling mencolok dan terasa perlawanannya. Karya ini berbicara tentang Marsinah, simbol perjuangan buruh. Dia dibunuh dengan kejam, jasadnya dibuang di hutan pada 1993. Saat itu, rezim militer Orde Baru berkuasa dan sangat represif. “Karya ini menghidupkan Marsinah dan perjuangannya yang tak pernah selesai,” kata Moelyono.
Eksploitasi terhadap buruh perempuan di wilayah domestik tergambar dalam karya Dian Suci Rahmawati. Dia membuat video tentang ibu-ibu rumah tangga yang menjadi buruh rumahan. Mereka menempelkan stiker, memasang kemasan produk pesanan dari perusahaan tertentu, dan diupah murah. Dia melakukan simulasi dan hasilnya jumlah jam kerja mereka bisa melebihi jumlah jam kerja buruh pabrik.
Yennu Ariendra, seniman muda dari Banyuwangi, Jawa Timur, meletakkan pacul, tanah, beliung berlatar video laki-laki sepuh menari dengan setelan merah menyala, kupluk, dan kacamata hitam. Proyek seni ini berjudul Gruduk Merapi, yang menggambarkan ekspresi kesenian warga Ndeles, Klaten, Jawa Tengah, yang menentang penambangan pasir Merapi.
Protes terhadap perusak lingkungan juga muncul dalam karya seniman asal Vietnam, Nguyen Trinh Thi. Dia membuat video tentang pemerintah Vietnam yang membangun pusat pembangkit tenaga nuklir pertama di negara tersebut. Proyek itu dibangun di kawasan spiritual masyarakat pedalaman Cham sehingga mengancam keberlangsungan budaya Hindu matriakal kuno yang usianya hampir mencapai 2.000 tahun.
Karya-karya yang kental dengan kritik sosial-politik itu muncul dari proses kurasi dua kurator dari Indonesia, Akiq A.W. dan Arham Rahman, serta kurator asal Thailand, Penwadee Nophaket Manont. “Karya-karya yang tampil di Biennale politis sebagai bagian dari dinamika kebudayaan,” ujar Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Alia Swastika.
Seperti Biennale sebelumnya, kali ini mereka menggelar program residensi seniman dengan membawa semangat pinggiran. Sebagian seniman mendatangi wilayah pinggiran atau perbatasan. Misalnya perupa Suvi Wahyudianto, yang datang ke Sambas, Pontianak, Kalimantan Barat. Suvi yang berasal dari Madura memberanikan diri datang ke wilayah terkena dampak konflik etnis yang pernah terjadi di Kalimantan. Karyanya mengingatkan publik bahwa perang hanya menyisakan kesedihan, kehilangan, luka, dan duka.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo