Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Biennale dan Seni Advokasi dari Kampung

Perhelatan seni rupa dua tahunan, Biennale Yogyakarta, kali ini mengangkat persoalan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan di Asia Tenggara. Karya-karya politis dan perlawanan kaum pinggiran.

26 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPUNG pecinan Ketandan seperti berhantu. Di ruangan aus dengan sorot cahaya kekuningan, manekin potongan tubuh manusia berserakan secara terpisah. Potongan kayu bercabang menembus hidung boneka perempuan dengan bola mata melotot menghadap ke langit. Rambut putih panjang menjuntai pada tubuhnya yang telentang, dikubur bebatuan. Potongan tangan dengan kuku-kuku panjang dan tajam menyelip di antara kuburan. Manekin kepala perempuan berambut hitam panjang diletakkan di jendela. Gaun lusuh berwarna putih berbordir dengan banyak kancing dan lengan bergelantungan. Enam tangan keluar dari baju terusan ini.

Karya seni instalasi berjudul Beyond the Queendom Case... Episode ciptaan Wora-phan Intaraworapad itu bagian dari proyek seniman kolektif asal Thailand bertajuk “Khon Kaen Manifesto” dalam Biennale Jogja XV Equator #5 2019. Kemuraman dan kegelapan terasa di rumah kuno itu.

Perhelatan seni rupa dua tahunan ini memusatkan perhatiannya pada persoalan Asia Tenggara, terutama yang beririsan dengan identitas gender, ras, agama, konflik sosial-politik, perburuhan, lingkungan, dan praktik kesenian. Biennale bertema “Do We Live in the Same Playground?” ini berlangsung pada 20 Oktober-30 November 2019. “Melihat Asia Tenggara dari pertemuan kebudayaan di pinggiran, kota-kota di perbatasan,” kata Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Alia Swastika, Selasa, 22 Oktober lalu.

Selain di Kampung Ketandan, karya seni dipajang di Kampung Jogoyudan, Jogja National Museum, Taman Budaya Yogyakarta, dan Pusat Kebudayaan Koesnadi -Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada. Sebanyak 52 seniman dari Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Singapura terlibat dalam Biennale.

Woraphan Intaraworapad satu dari lima seniman kolektif Negeri Gajah Putih yang berpameran di Kampung Ketandan. Khon Kaen Manifesto merupakan festival seni dari Khon Kaen, kota di bagian utara Thailand. Penyanyi jalanan dari kalangan aktivis, petani, dan akademikus membawakan lagu-lagu dengan dialek lokal Thailand. Festival ini melibatkan direktur artistik Thanom Chapakdee. Thanom seorang seniman dan kritikus terkemuka Thailand. “Kami berbicara tentang identitas lokal dan pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim junta militer,” ujar Thanom kepada Tempo, Ahad, 20 Oktober lalu.

Kelompok seniman ini dikenal selalu menggunakan bangunan tak berpenghuni dan telantar di Khon Kaen sejak krisis ekonomi 1997 sebagai ruang pameran. Pemerintah Thailand menyensor sebagian karya seni mereka yang bernada protes politik dan anti-kediktatoran. Thanom menyebutkan, pada 2018, pemerintah mengangkut salah satu karya seniman yang ikut pameran. Otoritas setempat juga memperingatkan para aktivis agar bungkam alias tidak kritis.

Bangunan tua berukuran 6 x 16 meter di kampung pusat wisata Malioboro ini cocok dengan konsep yang mereka usung. Rumah reyot dengan cat mengelupas di sana-sini ini dulu berfungsi sebagai Toko Emas Kendil. Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kini memanfaatkannya untuk kegiatan kebudayaan. Seniman-seniman Khon Kaen menempatkan karya mereka di bekas kamar mandi, dapur, bilik sempit, lorong, dan kamar di gedung berlantai dua. Di ruangan paling depan yang gelap terdapat 112 batako ditumpuk melingkar nyaris menyentuh langit-langit.

Karya itu menggambarkan Menara Babel, bangunan tinggi yang dibuat manusia untuk mencapai surga. Di atas susunan batu itu, goni diikat menggelembung, dikaitkan di langit-langit. Nutdanai Jitbunjong menamainya Pillars Babel. Dia menceritakan karya itu menggambarkan aktivis prodemokrasi Thailand yang dibunuh secara brutal. Dada hingga lambung aktivis dibedah. Isi perut dikeluarkan. “Tubuh mereka dikarungi kantong beras, dibuang di Sungai Mekong,” ucap Nutdanai.

Seniman kelahiran Bangkok, 28 tahun lalu, ini menjelaskan protesnya terhadap Pasal 112 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Thailand. Pasal tersebut memenjarakan siapa saja yang menghina raja, ratu, dan ahli waris kerajaan. Hukuman 15 tahun bagi siapa pun yang melanggar. Di bawah rezim militer, pasal tersebut membungkam banyak orang di Thailand dan memaksa sebagian aktivis menjadi eksil.

Masuklah ke lantai dua lewat tangga curam dan sempit. Komunitas seniman itu memasang garis polisi di lorong-lorong. Melalui lubang mini di kamar, pengunjung bisa mengintip video yang isinya tentang orang-orang yang melarikan diri dari kejaran tentara, foto perempuan telanjang dililit ular, serta potret penduduk minoritas di perbatasan Thailand-Laos yang dimasukkan ke gelas. Ada juga video tentang televisi yang menayangkan burung dalam sangkar yang menonton siaran berita hasil sensor junta militer, pekerja migran yang hidup serba kekurangan, dan gambar keluarga kecil di bawah moncong meriam.

Seniman juga menyediakan ratusan krayasart dengan bungkusnya bergambar senjata laras panjang, kudapan ringan berbahan kacang, wijen, dan gula yang dipersembahkan untuk lebih dari 100 korban tewas dalam Thammasat Massacre, salah satu fragmen paling gelap dalam sejarah Thailand. Ribuan mahasiswa Thammasat University dihabisi serdadu dan kelompok paramiliter sayap kanan pada Oktober 1976. Situasi banyak tempat di Asia Tenggara hampir mirip. Begitu juga Thailand dan Indonesia, ada banyak kesamaan pengalaman pelanggaran HAM. “Situasi kami mirip-mirip dengan tragedi 1965 di Indonesia,” kata Thanom.

Karya seniman kolektif asal Thailand bertajuk “Khon Kaen Manifesto” di kampung pecinan Ketandan dipamerkan di Biennale Jogja 2019. TEMPO/Shinta Maharani

Di tengah Kampung Jogoyudan, Kecamatan Jetis, arsitek Yoshi Fajar Kresno Murti membangun hotel berbentuk panggung dari bambu dan beratap fiber semen. Untuk masuk ke kampung itu, orang harus melewati tangga-tangga curam. Kampung ini menjadi penyangga kota dan berada di pinggir Sungai Code.

Bangunan setinggi 7,5 meter ditempatkan di lahan milik warga Jogoyudan setelah dibahas melalui rapat rukun tetangga. Hotel ini disewakan melalui sistem online dengan harga yang murah, yakni Rp 50 ribu per malam hingga Biennale berakhir. Warga kampung tersebut menjadi pengelola hotel. Dari panggung tersebut, orang bisa melihat lanskap Kota Yogyakarta yang dikepung hotel, gedung pemerintah, gedung swasta, dan pertokoan.

Lewat karyanya itu, Yoshi ingin me-nyampaikan bahwa setiap orang bisa membangun hotel dengan harga yang murah dan menggunakan bahan ramah lingkungan. Bambu bisa dibongkar kapan saja. Hotel kreasi Yoshi berukuran 5 x 3 meter ini hanya memerlukan ongkos Rp 10 juta. Membangun hotel tidak harus menggunakan beton, yang memakan biaya tinggi, baik secara ekonomi maupun sosial. “Ini sebagai alternatif atau tandingan hotel-hotel mewah bermodal besar,” kata Yoshi.

Yoshi memberi nama karyanya Hotel Purgatorio, yang dalam bahasa Latin berarti tempat penyucian. Ia terinspirasi dari eks tahanan politik Hersri Setiawan yang menulis buku Memoar Pulau Buru, yang berisi catatan pribadi tentang kehidupannya sebagai tahanan politik Orde Baru. Pulau Buru menjadi konsekuensi atas pilihan politik Hersri dan dia bisa berdamai dengan pilihannya itu.

Yoshi adalah aktivis yang banyak terlibat dalam advokasi warga yang terkena dampak pembangunan hotel. Di Jogoyudan, dia juga memberikan pelatihan membuat lampion untuk bocah-bocah kampung. Sebanyak 100 lampion buatan anak-anak itu dipasang untuk menghiasi hotel dan kampung. Hotel itu juga akan dipakai untuk diskusi dan pentas musik selama Biennale berlangsung.

Semula Yoshi berkeinginan membangun hotel serupa di pinggir jalan besar yang ramai, misalnya di kawasan Malioboro yang penuh hotel. Tapi rencananya gagal. “Ada resistansi karena akan menjadi protes yang sangat telanjang,” ujarnya.

Kurator pameran Akiq A.W. mengatakan Biennale membawa kesenian ke kampung untuk menghindari jebakan white cube—istilah dalam seni kontemporer yang merujuk pada ruang khusus untuk menampilkan karya seni. Kadang-kadang ketidakadilan yang diekspresikan dalam kesenian ditampilkan dalam ruang khusus. “Sementara yang menonton justru pelaku-pelaku ketidakadilan, misalnya kolektor seni,” kata Akiq.

SHINTA MAHARANI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Tempo

Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus