PENTAS dengan latar belakang putih itu tampak begitu luas. Kedua sisinya terbuka lebar. Di lantai, dalam jarak berjauhan, tergeletak sebongkah batu, sebuah kompor, sebuah wajan, dan dua botol. Di langit-langit, tali-tali putih terentang membujur, dan ada sehelai sapu tangan merah tergantung di salah satunya. Dalam cahaya temaram dan musik yang tenang, para pemain muncul satu-satu dari kedua sisi panggung. Setiap orang bergerak khusyuk dan hening, seakan keluasan itu milik masing-masing. Lalu keheningan itu pecah: dalam siraman cahaya terang, seseorang bergerak ke depan, dan menyanyi dengan suara keras dan parau. Semua pemain itu -- lima lelaki dan dua perempuan -- diberi nama Yanti. Kita pun tahu bahwa pentas Teater Sae di Teater Tertutup TIM Jakarta akhir pekan lalu itu "mengkhianati" judulnya: ia bukanlah memaparkan riwayat hidup seseorang bernama Yanti. Di sana Yanti bukanlah seseorang, melainkan hanya sebuah nama, mungkin sebuah kemasan untuk "cinta yang sederhana dari tokoh-tokoh tak dikenal, yang terkadang bisa bersinggungan dengan persoalan-persoalan besar dari sebuah zaman yang fenomenal" Di antara ketujuh Yanti itu ada tiga orang yang "terpilih" untuk membawakan dialog. Kata dialog di sini sesungguhnya tidak tepat. Sebab pada dasarnya masing-masing membawakan monolog, bergantian. Itu pun dengan suara yang rusak, tegang, dan marah. Dan hanya sesekali saja mereka tampak kebetulan berkomunikasi, yakni jika yang satu terangsang oleh yang lain. Mereka tampak tertekan oleh kata-kata yang mereka ucapkan, yakni kata-kata yang mengandung kegilaan dan kepintaran sekaligus. Apa yang mereka katakan? Berbagai komentar tentang perempuan, seks, cinta, dan perkawinan. Juga pendidikan, industri, ledakan penduduk, pencemaran lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan soal-soal besar lainnya. Ada juga wawancara, dalam bahasa Jerman yang fasih, tentang kebangsaan, pilihan hidup, dan neo-Nazi. Komentar-komentar bernada perih itu tak dapat kita rangkaikan menjadi makna yang utuh. Kita merasakan banyak sensasi, tapi bukan logika. Kita seperti melihat dunia melalui sudut pandang penderita skizofrenia atau paranoia. Untaian komentar itu meluncur dalam tempo tinggi sepanjang pertunjukan, dengan beberapa jeda singkat di bagian tertentu. Sementara itu gerak mengisi keluasan panggung berlangsung terus. Para pemain yang tidak menyandang dialog leluasa bergerak ke seluruh panggung, seakan menggoreskan kontur. Masing-masing membina dan mengganti geraknya sendiri, tanpa bloking yang lazim. Gerak-gerak itu boleh jadi adalah upaya untuk menonjolkan fokus bagi tiga pemain yang berdialog. Yakni para pemain yang dipancangkan pada posisi tertentu. Mereka berpindah ke posisi lain hanya pada saat jeda. Nah, pada posisi-posisi itulah, seraya memuntahkan kata-kata, mereka meregang otot-otot tubuh yang mengesankan histeria. Menyertai gerak-gerak itu adalah "aliran" properti yang berupa benda sehari-hari: tong, ukulele, wajan, bangku, ember, baskom, cermin, gergaji, piring, kompor, televisi, dan sebagainya. Benda-benda itu diangkut oleh para pemain sendiri dari kedua sisi panggung pada saat-saat jeda yang singkat itu. Hadir kontras di tengah rentetan gerak dan monolog yang ganjil, benda-benda itu seperti menghubungkan dunia imajiner dengan dunia sehari-hari. Selama 80 menit pertunjukan kita memang menyaksikan rangkaian kolase gerak, imaji, dan komentar yang terlalu gemuruh. Terseret ke dalam keperihan dan kegilaan, kita memerlukan peluang untuk memulihkan diri: saat-saat lirih atau hening yang cukup lapang di mana kita dapat mengutuhkan kembali pengalaman kita di ruang pertunjukan. Dan itu jarang sekali terjadi. Kolase pentas ini, dalam keragaman dan keramaian unsur-unsurnya, tampak enggan menyetimbangkan dan meringkaskan diri. Terlalu banyak tegangan tubuh dan teriakan dari para pemain yang berkata-kata. Dan boleh jadi terlalu banyak kata-kata. Sehingga histeria mereka, pada beberapa bagian, sudah menjadi prosais dan rutin. Bukankah kita boleh berharap bahwa kesan puitis yang sudah diberikan oleh skenografi arahan Roedjito terus meningkat intensitasnya? Ada gambaran yang terbentuk perlahan oleh rias dan kostum, yakni gambaran androgini -- percampuran bentuk antara lelaki dan perempuan. Gambaran itu makin kuat menjelang akhir pertunjukan, ketika semua pemain melepas pakaian dan mengenakan kutang. Hemat saya, gambaran itu tidak tereksplorasi secara maksimal. Baru terasa sebagai permainan bentuk: selubung yang dikenakan pada sosok yang tetap saja lelaki dan perempuan. Kalau saja segenap gerak dan suara pemain bertolak dari ide androgini ini -- juga dengan naskah, musik, dan pencahayaan yang lebih efisien -- bukan tidak mungkin kita mendapatkan sebuah keutuhan, sebuah puisi. Yakni sebuah puisi tentang sebuah kultur yang menindas kaum perempuan dan karena itu menggerogoti pula kaum lelaki. Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini