LEWAT radio swasta, para profesional muda dan kawula muda tak hanya mendengarkan suara Madonna dan petunjuk memilih dasi. Mereka mendengar pula harga beras, cabe keriting, dan wortel tanpa daun. Putar Radio Trijaya atau Prambors atau Mustang pukul 8 malam. Para profesional muda (sebutan bagi pendengar Radio Trijaya) dan kawula muda (ini pendengar Radio Prambors) akan disuguhi Berita Ekonomi RRI yang melaporkan harga cabe keriting, bawang putih, dan sebangsanya. Siang hari, ketika ingin mendengarkan lagu-lagu penenang di tengah kemacetan lalu lintas, para pendengar juga harus bersabar. Dengar dulu acara gunting pita peresmian proyek dalam programa Warta Berita. Mau belajar tata negara lewat radio? Nantikan acara ini setiap Senin sore lewat program Forum Negara Pancasila. "Pokoknya, anak-anak muda kenyang dengan acara relai berita RRI," kata seorang penyelenggara radio swasta dengan sinis, tentang acara-acara di atas. "Para pendengar lebih suka mematikan radio begitu relai RRI dimulai. Siaran relai yang penyiarannya dianggap mengganggu siaran radio swasta itu menjadi pokok pembicaraan ramai pada Musyawarah Nasional PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) VII, yang berlangsung di Hotel Indonesia, pekan silam. "Bukannya ide penyiaran itu yang membuat orang bosan," kata Sys N.S., direktur Radio DMC. "Yang menjadi soal, cara penyajiannya membosankan." Agus Mardianto, direktur utama Radio Pesona, mengemukakan hasil penelitian yang dilakukan Departemen Penerangan sendiri. "Hasil angket ini menunjukkan hanya lima persen yang mendengarkan Berita Ekonomi dan harga sayur-mayur," katanya. "Ini penelitian yang diadakan untuk mengetahui pendengar RRI. Entah bagaimana jika penelitian itu diadakan bagi pendengar radio swasta," kata Sys N.S." Semua itu keluhan klasik para pemilik radio swasta seantero Indonesia. Soalnya, dalam masa penyiaran 18 jam, ada 13 kali wajib relai programa RRI yang masing-masing 15 menit. Radio swasta daerah malah harus menambahnya dengan tiga kali relai RRI daerah. Programa Warta Berita biasanya juga diikuti siaran-siaran khusus yang tak bisa ditentukan masa penyiarannya. "Bisa satu jam, terkadang malah lebih," kata Malik Sjafei, direktur utama Radio Prambors. Semua ini berawal pada SK Menteri Penerangan No. 226/1984, yang mewajibkan semua radio swasta Indonesia, yang jumlahnya hampir mencapai 600 stasiun, merelai programa RRI. Ini menunjukkan, radio swasta, seperti halnya TV swasta, belum dipercaya Pemerintah membuat warta berita sendiri. "Membuat warta berita memerlukan profesionalisme," kata Menteri Penerangan Harmoko. "Seperti halnya media cetak, radio tidak bisa seenaknya membuat news." Tapi Menteri Harmoko memperkirakan, dalam Pelita VI, radio swasta sudah akan mencapai tingkat profesional, dan bisa membuat warta berita sendiri. Namun, yang dipersoalkan Munas PRSSNI bukan boleh tidaknya menyiarkan berita. Keberatan mereka juga bukan merelai berita RRI. Persoalannya, tidak tetapnya durasi relai berita RRI tersebut. Selain warta berita, banyak programa baru yang harus direlai. Lamanya juga tidak dapat ditentukan. "Dalam SK itu sudah dirinci secara detail bahwa warta berita maksimal harus 15 menit, tapi kenyataannya bisa bisa melenceng menjadi setengah jam," kata Harmoko. Ia mengakui, ini punya dampak pada pemasangan iklan di radio swasta. Menanggapi keluhan PRSSNI, Harmoko mengutarakan, "Saya sudah meminta agar masa putar relai sesuai dengan waktu yang sudah diatur." Tanpa kejelasan panjangnya jam relai, radio swasta merasa sulit mengatur siarannya, terutama iklan. Padahal, dengan munculnya televisi swasta, menurut Ketua Pengurus PRSSNI DKI, Agus Mardianto, jumlah iklan turun sampai 20 persen. Jika berita-berita wajib tadi berpanjang-panjang, iklan bisa kabur semua ke televisi swasta. "Apalagi gaya penyiaran RRI yang monoton, dari tahun nol sampai sekarang gayanya sama saja, tidak ada kemajuan," kata Sys N.S. "Harusnya dibikin menarik seperti gaya pemberitaan BBC." Sys N.S. juga menganggap siaran RRI diselenggarakan sembarangan. "Lagu Padamu Negeri-nya sudah kresek-kresek, tapi tidak pernah diganti, bagaimana orang mau mendengarkannya?" katanya. Budi Handaka, manajer umum Radio Top FM -- radio milik Puspen ABRI -- berpendapat, "Alangkah baiknya kalau relai yang terlalu panjang ditinjau lagi. Tidak semua upacara perlu direlai," katanya. Ia menegaskan, pada dasarnya para pengelola radio swasta tidak menentang kewajiban merelai RRI. Malik Syafei malah melemparkan ide menyelenggarakan kerja sama untuk penyiaran berita-berita itu. "Beritanya dari RRI, tapi radio swasta diperbolehkan mengemasnya dengan gaya sendiri-sendiri," katanya. Siti Hardiyanti Rukmana, yang pada munas pekan lalu terpilih lagi sebagai Ketua Umum PRSSNI, setuju bila dikatakan jam relai RRI memang terlalu panjang. Ia berpendapat, "Warta berita daerah yang kurang penting sebaiknya dihapus atau dikurangi." Namun, putri sulung Presiden Soeharto itu menegaskan, "Kalau warta berita, itu memang wajib." Leila S. Chudori dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini