TERNYATA azab ada di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Biaro. Itulah yang dialami Zaini, Fitra Efendi, Dodi Agusril, Baharuddin, Armen, dan Agusmawi. Mengetahui gelagat tidak sehat itu Kepala Kejaksaan Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat, Nyonya Andrieza Tahar, lalu memindahkan mereka ke tahanan polisi 17 November lalu. "Jika tidak dipindahkan kami bisa mati," kata seorang di antara mereka. Meski keenam anak muda itu dituduh membunuh, mereka dianggap perkasa karena menghabisi Darmayuda alias Yod, Oktober lalu. Yod yang berstatus narapidana itu berkeliaran di luar LP, bebas memeras pedagang di Bukittinggi. Tetapi di mata oknum petugas LP, keenam tersangka adalah pembuka aib. Karena itu tiga petugas LP, yang dianggap menyelundupkan Yod ke luar, diusulkan atasannya agar dikenai hukuman. Afrizal, misalnya, diusulkan dipecat, dan dua rekannya diturunkan pangkatnya. Gampang ditebak, kemudian dendam mereka tertuju kepada Zaini dan kawan-kawan. Hari itu, 12 November lalu, berkas perkara keenam anak muda itu dilimpahkan polisi ke kejaksaan. Sorenya mereka dipindahkan ke LP, maka aksi pun menyalak, "Kalian rupanya pembunuh Yod itu, ya?" Bentakan petugas LP itu lalu disusul gebukan dan tendangan. Sebelum makan malam mereka dihajar lagi. Dua petugas, Aseptajuddin dan Sudirman, menyepak mereka dengan ujung sepatu. Tengah malam mereka disuruh mendekat ke terali sel. Rambutnya dijambak. Kepalanya dibenturkan ke besi. Herman Jeger, sipir, membakar rokok kreteknya dan menyundutkannya ke tubuh korban. Malam berikutnya Agusmawi pingsan karena digebuki. Rahang Armen luka berdarah. Punggung Zaini luka memar. Sidi Mahyudin, ketika mengunjungi Fitra, 14 November lalu, kaget melihat wajah anaknya lembam. Tapi petugas di situ enteng berkata, "Jika Bapak tak senang, silakan mengadu." Tengah malam hujan deras, mereka bertelanjang dada disuruh berlari-lari sembari ditendangi hingga dini hari. Rahmat Watira, pengacara Fitra, yang menerima laporan Mahyudin, segera menghadap Andrieza. Sore itu juga Andrieza meminta polisi menjemput tahanan itu untuk dipindahkan ke tahanan polisi. Tapi gagal karena belum ada surat resmi. Barulah esok harinya mereka dijemput. Tapi semalam sebelumnya mereka kembali didera. Darah berlelehan ke baju mereka. Lalu para tersangka ini tidur sembari menahan sakit. Dini hari mereka dibangunkan lagi untuk kembali dihajar. Bahkan Selasa pagi 17 November, ketika polisi menjemput mereka, petugas LP itu masih main gampar. "Ingat, ke mana pun kalian dititipkan, tetap kami kejar," petugas itu mengancam. Andrieza menilai ucapan petugas LP itu keterlaluan dan hanya gertak-sambal. Jadi, jika mereka nanti divonis hakim, Andrieza berusaha tak akan ditempatkan di LP Biaro. Sebaliknya, ketiga pegawai LP itu (Asep, Sudirman, dan Herman) diperiksa polisi sejak awal Desember lalu. Oleh polisi, delapan sipir yang bertugas di hari-hari penyiksaan itu akan dihadapkan dengan korbannya. "Penganiayaan itu cukup jelas," kata Wakil Kepala Kepolisian Resor Bukittinggi, Mayor Rustam Efendi. Sementara itu J. Nabanan, seorang dari sipir itu, mengaku mengurus surat kelakuan baik. Bukan diperiksa polisi. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Sumatera Barat, Atjeng Zakaria, sangat menyesalkan tindakan anak buahnya itu. "Tersangka mestinya disadarkan, bukan dianiaya," ujar Atjeng kepada TEMPO. Bersihar dan Fachrul Rasyid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini