RUMAH Ibrahim Syahrozi di perumahan guru SD Negeri Hadimulyo, Metro, Kabupaten Lampung Tengah, bak kantor notaris kondang. Tiap hari orang antre di ruang tamu. Keluar dari ruang tersebut, klien lelaki berusia 50 tahun itu berseri-seri sambil menenteng sehelai surat akta cerai yang bisa membuyarkan suatu ikatan perkawinan tanpa berurusan dengan Pengadilan Agama. Ternyata, pensiunan pegawai Pengadilan Agama itu memang punya bisnis gelap: menjual akta cerai palsu. Polisi mengendus praktek gelap ini sejak Februari lalu. Tapi ia baru diciduk akhir Juni. Sejumlah barang bukti berupa blangko-blangko akta itu telah disita. Kamis pekan lalu, Jaksa Ismanto menuntut Ibrahim 3 tahun penjara. "Akibat perbuatan terdakwa, nama baik Pengadilan Agama tercemar, dan banyak pasangan suami-istri yang cerai tidak sah atau menikah lagi," ujar Imanto. Meski ia sudah pensiun, tetapi ayah dua anak ini masih bekerja sebagai petugas piket di kantor Kepala PA Metro. Maka tidak heran bila petugas piket yang bertubuh kecil ini populer di sana. Hampir semua pasangan suami istri yang berperkara mengenalnya Ibrahim. "Mereka yang mau menghadap Bapak Ketua kan harus melapor dulu kepada piket," kata lulusan PGA itu kepada Kolam Pandia dari TEMPO. Ia hafal liku-liku permainan di Pengadilan Agama itu. "Dalam urusan cerai, di sini banyak juga biaya silumannya," kata Ibrahim. Peluang itulah yang ia manfaatkan. Menyadari orang berperkara cuma butuh sehelai surat akta cerai, ia punya ide: membuat surat akta cerai palsu. Bermodal sekitar Rp 30 ribu, ia berhasil mencetak 500 helai blanko akta cerai dan membuat stempel PA Metro di kaki lima. Untuk membuat tanda tangan palsu hakim dan panitera, bagi Syahrozi tidak sulit. Toh, menurut dia, orang tak akan begitu teliti memeriksa tanda tangan. Sepintas akta itu kelihatan memang seperti asli. Tapi, bila diamati, tampak ada perbedaan mencolok. Blankonya cuma satu warna (hitam), padahal blanko asli di Pengadilan Agama terdiri dari tiga warna. Blangko untuk istri, suami dan arsip punya warna berbeda. Demikian pula garis-garis tanda tangan jelas palsu. Tetapi tidak banyak yang tahu surat itu yang asli dan palsu. "Seumur hidup baru sekali saya bercerai mana tahu akta itu asli atau palsu," ujar Sulami, seorang janda yang jadi korban akta cerai palsu. Adalah Karsinah, yang mula-mula melaporkan proses perceraian dengan suaminya kepada PA. Ibu muda yang tengah hamil tua itu tiba-tiba dicerai. "Rumah tangga saya memang sudah kurang harmonis. Suami saya sudah lama ingin menikah lagi dengan perempuan lain," katanya. Tapi ia tak menduga proses perceraian bisa berlangsung begitu cepat. Suatu hari, Purwanto, 30 tahun, suaminya, memanggilnya dan menyatakan sejak hari itu ia resmi dicerai. "Sekarang kamu boleh pulang ke rumah orang tuamu. Kita sudah resmi bercerai," katanya sambil menyodorkan akta surat cerai yang sudah dicap dan ditandatangani. "Kepala saya mendadak pusing. Tapi apa boleh buat, saya pasrah," katanya. Setelah berada di rumah orang tuanya, Karsinah mulai sadar, perceraian itu harus melalui sidang pengadilan agama. Apalagi suaminya pegawai negeri, seorang guru sekolah dasar negeri. "Tanpa menghadiri sidang, kok, saya menerima surat cerai," pikirnya. Ia pun segera mendatangi Ketua PA Metro, Asmuni. Ternyata, perceraiannya tersebut tidak terdaftar. Lagi pula, akta surat cerainya palsu. Polisi segera dilapori. Purwanto ditangkap dan pemalsuan akta cerai palsu itu pun terbongkar. Kepada polisi, Ibrahim Syahrozi mengaku, usaha yang dirintis sejak setahun lalu itu telah berhasil menjual sekitar 100 lembar akta cerai palsu. Harganya Rp 75 ribu sampai Rp 100 ribu per lembar. Tapi Asmuni menduga, jumlah yang diakui itu hanya sebagian kecil. Buktinya, angka perceraian di Pengadilan Aagama Metro menurun tajam. Tahun 1990, misalnya, tercatat 239. Setahun kemudian anjlok menjadi 155. "Penurunan itu diduga karena sebagian besar perceraian dilayani Syahrozi," katanya. Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini