Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reality TV: Audiences and Popular Factual Television Penulis: Annette Hill Penerbit: London & New York: Routledge, 2005 Tebal: viii + 238 halaman
Tiba-tiba kita merasa dikepung. Di layar televisi, seperti dikomando muncul seabrek tayangan realitas: Joe The Millionaire, Fear Factor (versi luar dan dalam negeri), Lunas, Pulang Kampung, Tolong, Bedah Rumah, Katakan Cinta, Harap-harap Cemas, Spontan, dan lain-lain. Sebagian telah mengalami ”pribumisasi”, sebagian lagi masih terasa asing.
Menghadapi ”invasi” ini, tampaknya buku Reality TV: Audiences and Popular Factual Television bisa memberi sedikit panduan. Annette Hill, penulis buku ini, adalah Direktur Lembaga Riset di School of Media, Arts and Design, Universitas Westminster, Inggris. Ia menghabiskan dua tahun menulis riset ini sambil memelototi, mempelajari tayangan di televisi, dan berdiskusi dengan para penonton reality show.
Tayangan realitas bukan semata-mata buah pikiran para programer TV. Acara ini produk arus komersialisasi, persaingan antarstasiun, dan hitung-hitungan ekonomi. Salah satu cirinya yang mencolok ialah irit tapi menguntungkan. Tanpa bintang besar, mudah diproduksi, tapi menghasilkan banyak iklan alias fulus. Annette Hill mencatat, ongkos produksi satu jam film drama di televisi Eropa US$ 1,5 juta. Bandingkan dengan biaya pembuatan tayangan realitas yang cuma US$ 200—tanpa bintang besar, tanpa penulis skenario, tanpa ini-itu.
Annette Hill membahas aspek bisnis, juga historisitas. Terutama di Inggris, tayangan realitas adalah salah satu hasil sumbangan dari perkembangan film dokumenter. Perkembangan ini lantas berpadu dengan tabloid journalism dan popular entertainment (lihat hlm. 1527). Sebaliknya di Amerika, gejala ini dimulai Rupert Murdoch, kaisar media Australia. FCC (Federal Communication Commission) membuka kesempatan terhadap industri media (industrial friendly), tak lama kemudian News Corporation, perusahaan Murdoch, menjadi salah satu produsen utama tayangan realitas.
Situasi yang melahirkan tayangan realitas di dua negara itu memang berbeda. Di Inggris, karena berkaitan dengan film dokumenter dan penyiaran publik, tema-tema tayangan realitas akrab dengan pelayanan publik. Itulah yang membuat produk Amerika, Joe The Millionaire, jeblok di Inggris.
Satu hal yang membuat Reality TV: Audiences and Popular Factual Television penting adalah perhatiannya terhadap audiens. All American Girl atau The Beverly Hillbillies terpaksa ditarik kembali sebelum kontraknya berakhir. Annette Hill menunjukkan, audiens memiliki cara pandang sendiri dan memiliki kekuatan untuk menilai tayangan realitas tertentu.
Studi tentang pemirsa TV jarang dilakukan di Indonesia. Mungkin sekali para peneliti media, yang sedikit itu, menganggap diskursus dalam media lebih penting daripada resepsi penonton. Atau mungkin audiens masih dianggap misteri yang rahasianya belum perlu disibak. Sebenarnya, aspek audiens ini penting adanya. Banyak pihak yang mengklaim, mengatas-namakan, dan menyamakan pemahamannya sendiri dengan reaksi audiens, lewat rekonstruksi sepihak.
Audiens memiliki kecerdikan dalam mengonsumsi tayangan, tapi ini bukan pembenaran bagi melimpahnya produksi tayangan realitas di layar kaca. Sejauh ini, persaingan industri di antara stasiun-stasiun televisi atau efisiensi ongkos produksi kerap kali melahirkan tayangan-tayangan yang tergolong ”sampah”. Reality TV: Audiences and Popular Factual Television berbicara tentang banyak hal dalam dunia tayangan realitas. Dan salah satu yang paling kontekstual dengan kondisi kita sekarang adalah pentingnya penelitian audiens.
Ignatius Haryanto adalah pemerhati media di LSPP, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo