Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI pemakai bahasa Melayu-asal, bingung nian saya ketika—pada sekitar 1980-an akhir—membaca berita tentang sebuah perkumpulan pemuda muslim yang memprotes panggung musik dangdut di perayaan Sekatenan di alun-alun utara Yogyakarta karena… para biduannya berpakaian seronok! Alamak, pikir saya, kalau sudah tak boleh berpakaian seronok, apa lagi yang mau dipertahankan di republik ini?
Beberapa hari kemudian, setelah berhasil menemukan foto-foto biduan dangdut yang diprotes itu, makin bingung saya. Betapa tidak: perempuan-perempuan muda dengan rias ndak karu-karuan itu ternyata cuma memakai rok sangat ketat sehingga mirip-mirip—maaf—cawat, dan di dadanya hanya tersampir sesuatu yang bersifat kutang tersengal-sengal. Lalu mana yang berpakaian seronok itu?
Perjalanan bahasa memang luar biasa. Apalagi bahasa yang sangat berambisi untuk menjadi bahasa persatuan, seperti halnya bahasa Indonesia. Seronok ini, misalnya. Semua pemakai bahasa Melayu-asal mafhumlah sangat bahwa kata itu, seperti yang diterangkan berulang-ulang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tiada lain daripada berarti ”menyenangkan hati”; ”sedap dilihat (didengar dsb)”. Keterangan seperti ini sudah tercantum nian bahkan sejak Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta, 1985.
Bagaimana ”seronok” kemudian berubah makna menjadi sesuatu yang kecabul-cabulan, nah, di sinilah (bukan disinilah!) masalahnya. Pada tingkat pertama tentu ada kesembronoan—atau mungkin lebih tepat disebut keabaian—dalam mengambil sikap kebahasaan yang tepat. Karena merasa diri ”orang Indonesia” sejak dari sononya, tipis sekali perasaan tanggung jawab untuk mencari rujukan ketika harus berurusan dengan bahasa Indonesia, yang adalah ”memang bahasa kita”.
Pendekatan diakronis berkali-kali menunjukkan betapa, sepanjang perjalanan waktu, sebuah kata—atau istilah—mengalami pergeseran makna. Contohnya ”canggih”. Sejak Kamus Umum Bahasa Indonesia sampai Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”canggih” selalu dimaknakan sebagai ”suka mengganggu (ribut, bawel dsb.)”, ”banyak cakap”—atau yang seperti itulah. Hanya Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Drs Peter Salim dan Yenny Salim, 1991, yang mencantumkan tambahan makna ”modern dan rumit”.
Kini ”canggih” sudah tak terselamatkan. Ia sudah telanjur menjadi padanan ”sophisticated” seraya, dalam bentuk kata kerja, para pemakai umumnya lebih menyukai ”sofistikasi” ketimbang ”pencanggihan”. Tak pernah jelas mengapa, pada awalnya, para pemakai memilih ”canggih”—yang artinya ”ribut”, ”bawel”, ”suka mengganggu”, ”banyak cakap”—itu sebagai padanan ”sophisticated”, yang semula diangkat dari ”sophist”, istilah Yunani Purba untuk ”guru filsafat yang dibayar”.
Di antara perangkat aktif yang bermain ketika manusia mempertukarkan informasi lewat bahasa, terdapatlah daya ilokusi (illocutionary force), yaitu akibat yang diinginkan oleh pembicara agar ujarannya mencapai efek maksimal bagi lawan bicara. Dengan asosiasi tekanan tertentu yang diambil dari kata—maaf—”…nok” yang lain, barangkali, lalu terangkatlah kata ”seronok” untuk menggambarkan hal yang sebetulnya tidak senonoh—jauh sekali dari makna asalnya.
Berbeda dengan ”canggih”, yang sudah sangat telanjur bercanggih-canggih, ”seronok” tampaknya masih bisa diselamatkan. Dalam upaya penyelamatan ini, seyogianyalah media massa, dan terutama para pekerjanya, berada di barisan terdepan, mendudukkan kembali ”seronok” pada maknanya yang benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo