NELAYAN DAN KEMISKINAN Oleh: Mubyarto dan Kawan-kawan Penerbit: CV Rajawali, Jakarta, 1984, 195 halaman BUKU ini bukan laporan penelitian yang hanya mengetengahkan angka dan data tentang nelayan dua desa pantai di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Tapi ada enam profil nelayan yang disuguhkan -- yang disusun dari wawancara intensif dengan responden yang semua namanya dirahasiakan. Dari profil -- itu ada nelayan sukses dan kaya, ada yang jatuh miskin, ada yang berganti pekerjaan menjadi tukang reparasi jaring -- tergambar satu kehidupan kaum nelayan dari dalam. Dari cerita kehidupan nelayan itu ada contoh nyata betapa pukat harimau memang benar-bcnar menghantam nasib mereka. Mainah, 50, misalnya, pada pertengahan 1970-an terpaksa mencari nafkah tambahan dengan membuka warung. Padahal, keluarganya termasuk nelayan sukses sebelum pukat harimau beroperasi, 1972. Malangnya lagi, warungnya itu tak bisa hidup lama -- disaingi pendatang dari Semarang yang bermodal lebih kuat. Beberapa nelayan, ketika penghasilan ikan berkurang akibat pukat harimau, menjual senjata pokok mereka: perahu. Lalu, mereka ganti haluan jadi pandega (buruh nelayan). Celakanya, bila sang juragan terpaksa tak melaut, karena ombak besar misalnya, para pandega pun tak mendapat bayaran. Dalam soal ini, Kandar, 26 (usia pada saat diadakan penelitian, 1980), meski termasuk nelayan bernasib buruk, adalah contoh mereka yang berpikir jauh. Ia tak menjual jukung (perahu kecil) miliknya. Di saat juragan tak melaut, ia bisa membawa jukungnya sendiri. Yang cukup penting juga agaknya, dari keenam profil tersirat sikap hidup para nelayan itu. Misalnya, Muin, 50, yang termasuk sukses jadi juragan, adalah memang orang yang disiplin dan banyak akal. Ia bersaksi, kehidupan nelayan di tahun 1960-an lebih baik daripada sekarang. Dan sebabnya, bukan cuma pukat harimau, tapi juga karena munculnya budaya baru: minuman keras dan pelacuran. Tapi Muin tak sepenuhnya menyalahkan rekan-rekannya. Ia bahkan ingin menolong mereka. Muin (tak sekadar nelayan, tapi juga pedagang ikan), misalnya, selalu membeli ikan-ikan dari para pedagang kecil dengan harga di atas harga pelelangan. Muin merupakan perkecualian, sebab biasanya tolong-menolong hanya terjadi di antara sesama nelayan miskin. Pendekatan penelitian dari sudut sosiologi dan antropologi ini tak hanya menampilkan potret nelayan lewat penggambaran harga ikan dan perahu, tapi juga impian, cita-cita, sikap hidup, dan keyakinan mereka. Potret yang manusiawi ini tentu bisa sangat bermanfaat, bila upaya meningkatkan hidup nelayan didasarkan atas penelitian serupa. Sebab, kenyataannya, baik KUD maupun kredit investasi kecil di dua desa ini tak jalan. Ada faktor lain yang selalu dilupakan dalam pembangunan, agaknya, yakni faktor manusianya . Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini