KHILAFAH DAN KERAJAAN Oleh: Abul A'la al-Maududi Penerbit: Mizan, Bandung, 1984, 456 halaman NABI Muhammad, seperti diriwayatkan Ibnu Katsir, pernah bersabda, "Masa khalifah sepeninggalku tiga puluh tahun, setelah itu akan datang masa kerajaan." Sabda itu memang terbukti dan tercatat dalam sejarah Islam. Sejak Khalifah Ali digantikan Muawiyah, tak lagi ada cerminan demokrasi dalam pemerintahan Islam. Rona kerajaan menggantinya dengan warna lain yang, menurut pemikir Abu Musa Al-Asy'ari, dianggap sebagai perampasan hak. Pemikir Pakistan al-Maududi -- yang sebaya dan setara dengan Iqbal, hanya saja bidangnya lain -- memandang kerajaan tak sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu, beberapa percikan pemikirannya, yang dianggap murni dan metodologis, banyak ditentang dan dianggap haram di beberapa negara yang menyatakan diri sebagai negara Islam. Menurut al-Maududi, rakyat sama sekali tak memiliki kedaulatan. Kedaulatan sepenuhnya di tangan Allah. Rakyat adalah "khalifah" yang mengemban amanat Allah untuk membuat peri kehidupan sendiri berdasarkan ajaran Allah. Dalam konsep ini, baik rakyat maupun pemimpin adalah "amanat" yang tak bisa disalahgunakan. Karena negara sepenuhnya harus berjalan di atas ketentuan Allah, maka, tentu saja, tak dikenal oposisi. Sebenarnya, Maududi bukan pemikir baru soal kenegaraan dalam Islam. Pikirannya cenderung pada bentuk fiqih yang dikutipnya dari fiqih mazhab Hanafi dan Abu Yusuf. Maududi tak pernah mengutip Farabi, yang memandang kenegaraan dari sudut falsafah, atau Ibnu Khaldun yang memandangnya dari sudut sosiologis. Seperti yang ditulis Dr. M. Amien Rais dalam Kata Pengantar, Maududi tak mungkin dipisahkan dari cita-cita kebangkitan Islam pada abad ke-15 Hijri. "Tidak berlebihan kiranya jika kita katakan bahwa al-Maududi termasuk dalam barisan paling depan tokoh-tokoh pembaharu pemikiran Islam yang gagasan dan cita-citanya telah berpengaruh besar pada fenomena kebangunan Islam dewasa ini." Musthafa Helmy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini