INDIANA JONES Peran Utama: Harrison Ford, Kate Capshaq Produksi: Paramount Picture Sutradara: Steven Spielberg KITA selalu mencoba menyembunyikan anak-anak yang tersisa di hati kita kecuali kalau kita sedang ketemu Steen Spielberg. Sutradara ini, belum lagi 40 tahun umurnya, tampaknya tahu betul: banyak sekali di antara kita yang terlalu cepat didera untuk menghadapi apa yang sering disebut sebagai "kenyataan hidup", lalu menyimpan masa kanak dalam bentuk mimpi, di bawah bantal. Dan mungkin itulah sebabnya E.T.-nya (yang tak masuk ke lndonesia karena mahal dan diduga tak akan laku) jadi semacam tonggak sejarah tentang bagaimana film kembali jadi kesibukan impian - meskipun kali ini agak khas: bukan si bocah berangan-angan jadi pahlawan, tapi para pahlawan bagi Spielberg adalah bocah. Orang-orang dewasa, seperti dilukiskan Antoine de St. Exupery dalam Pangeran Kecil yang termasyhur itu, justru makhluk yang menjengkelkan. Demikianlah dalam salah satu episode Twilight Zone, yakni bagian yang merupakan karya Spielberg, Kick the Can, kebahagiaan orang-orang tua di sebuah rumah jompo ialah ketika mereka - oleh suatu mukjizat - bisa bermain kembali, bahkan berwujud kembali, sebagai kanak-kanak. Dan khas Spielberg: hanya yang percaya akan hal itu yang bisa mengalaminya. Meyakini berarti mengalami. Itu pula salah satu pokok cerita pokok cerita Close Encounters of the Third Kind, ketika hanya beberapa orang saja yang bisa kontak dengan penghuni angkasa luar, karena merekalah yang dirundung impian yang juga keyakinan tentang keajaiban itu. Impian, keyakinan, atau apa saja yang hanya nyata dalam kepala dan dalam dunia subyektif kita -- kiranya itulah yang selalu ingin disampaikan Spielberg dalam bentuk film. Kecuali dalam Jaws, barangkali. Bahkan dalam filmnya yang pernah menarik perhatian 10 tahun yang lalu (meskipun tak laris), yakni Duel, kita tak kunjung tahu siapakah gerangan pengemudi truk seram yang tak putus-putusnya mengejar mobil lelaki penggugup yang ketakutan itu. Maut? Atau wujud yang lahir dari ketakutan? Bagaimana pula dengan segala gerak misterius dalam Poltergeist, yang menyebabkan satu keluarga kena teror? Film Indiana Jones and the Temple of Doom juga rupanya suatu ajakan ke dunia kanak, ke dunia fantasi, ke dunia subyektif. Tapi "lanjutan" film Raiders of the Lost Ark ini memang tak bisa disejajarkan dengan E T. Yang kita temukan adalah khayal gila-gilaan yang riang, bukan garis-garis mimpi yang puitis. Indiana Jones (Harrison Ford) terlibat dalam petualangan yang akhirnya tak penting lagi untuk apa dan tentang apa, sejak dari Cina sampai dengan India. Dia tentu saja selalu jago dan selalu selamat. Ia luput dari pembunuhan seorang bos Mafia Cina, ia tak tewas biarpun jatuh dari pesawat terbang tanpa parasut (hanya dengan perahu plastik), ia memasuki kerajaan ajaib seorang maharaja kecil yang disihir Mola Ram, pendeta agung pemuja Kali, dan ia menolong rakyat melarat yang batu keramatnya dicuri dan anak-anaknya diculik. Tak pelak lagi, sebuah komedi yang tak malu-malu bercanda dengan ketegangan. Ada dalam tokoh Indiana Jones kali ini yang mengingatkan kita kepada James Bond (apalagi ketika ia muncul bertempur dengan pakaian resepsi putih dan dasi hitam di awal film). Seperti Roger Moore, Ford juga nyengir dengan kesadaran penuh bahwa dia sedang membadut buat penonton yang tahu bahwa semua ketegangan di dalam film itu omong kosong. Hanya, Moore selalu necis, sedangkan Ford selalu kumal. Jika di akhir film (setelah ketawa dan asyik) kita kemudian menggerutu, "gombal", maka gerutu itu tepat sekali. Hampir-hampir secara harfiah. Bahwa film ini bisa laris sekali, setidaknya di Barat, mungkin menunjukkan bahwa lebih banyak anak-anak yang berada di kepala para penonton daripada yang dicatat sensus. Tentu saja kita tak usah takut jadi salah satu di antaranya, dan berada di sisi si bocah Ke Huy Quan, yang dalam film ini memerankan "Short Round". Toh bagi saya Jaws lebih tegang dan E.T. lebih terkenang-kenang, biarpun kita kadang perlu gombal. G. Susatiyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini