CERPEN INDONESIA MUTAKHIR
Antologi Esei dan Kritik
Editor: Pamusuk Eneste
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1983, 284 halaman.
APA beda cerpen Indonesia di tahun 1950-an, dengan masa kini?
Pamusuk Eneste menjawab tantangan itu dengan menghimpun
sejumlah esei dan kritik yang membicarakan cerpen Indonesia.
Esei pertama punya H.B. Jassin. Dari uraian Jassin ini sedikit
terbayang bagaimana kira-kira cerpen kita di tahun 1950-an itu.
Tapi yang menarik adalah uraian Jakob Sumardjo. Ia mengatakan
bahwa cerpen Indonesia pada awalnya merupakan bentuk tertulis
dari sastra lisan yang hidup di masyarakat. Buktinya, menurut
Jakob, penulis cerpen yang pertama, antara lain, Muhammad Kasim
dan Suman HS, bercerita dan menceritakan kisah-kisah yang masih
dekat dengan cerita-cerita rakyat -- yang dikisahkan orang dalam
perjamuan-perjamuan tempo dulu. Tapi, entah mengapa, tak ada
penulis cerpen kemudian yang meneruskan atau mengembangkan
"gaya" Suman atau Muhammad Kasim, yang berorientasi pada cerita
rakyat. Yang kemudian berkembang hingga sekarang ialah,
orientasi pada ide kedalaman sastranya itu sendiri, dan
orientasi pada sosial-budaya zamannya.
Tulisan-tulisan lain lebih banyak membahas cerpen-cerpen
mutakhir -- dari awal terbitnya majalah Horison, Juli 1966,
hingga sekarang. Ada tulisan Arief Budiman yang membahas
cerpen-cerpen Umar Kayam yang disebut Arief sebagai cerpen yang
"membawa cinta kemanusiaan." Ada tulisan Harry Aveling, pengamat
sastra dari Australia, tentang cerpen-cerpen Budi Darma yang
"absurd."
Tapi itulah demikian singkatnya pengantar penyunting, hingga
bisa membuat bingung orang yang ingin mengetahui sejarah
perkembangan cerpen kita. Apalagi bagi yang ingin memperoleh
semacam apresiasi cerpen Indonesia, bisa geleng-geleng kepala.
Tidak semua esei yang dihimpun menguraikan perkembangan cerpen
secara jelas. Bahkan beberapa tulisan seperti mengandung
pertentangan pendapat.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini