Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sisi lain alias perca-perca

Tempo hari seminggu menjelang sidang umum mpr, di kampus bandung ramai membicarakan konsep alternatif strategi pembangunan dengan redistribusi pendapatan. kini tidak lagi dengan adanya normalisasi kampus.

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN kepalang senang hati atase dari negeri sahabat itu, duduk di lobi hotel seraya mengganyang biji jambu monyet. Ia mengunjungi Bandung seminggu menjelang sidang umum MPR, dan tidak melihat apa-apa di kampus. Di kampus ia hanya menjumpai pergunjingan perkara gantole, bunyi diktat, dan model sepatu. Tempo hari memang riuh senandung konsep alternatif strategi pembangunan dengan redistribusi pendapatan seraya melecehkan orientasi pada GNP. Tapi itu tempo hari. Sekarang tidak. Bisa jadi karena sudah terpecahkan, dan bisa jadi pokok persoalan sudah beralih. Atase kita melipat lagi buku catatannya, naik ke tempat tidur, dan esoknya pulang ke kantor dengan kereta api paling pagi membawa oleh-oleh oncom. Sementara itu seorang dosen yang sedang perawakannya tengah menikmati uraian Dewi Motik dan Tuti Alawiyah ketika diskusi Hari Kartini di Unpad, sehingga matanya berkaca-kaca. Saya sikut lengannya. Sambil berbisik saya tanya, apa gerangan yang diharapkan dari Menteri Nugroho Notosusanto. Juga berbisik, ia minta supaya kampus yang sudah normal ini dinormalisasi, dan hambatan yang menimpa bekas aktivis supaya dimasukkan dalam lemari. Cuma itu? tanyaku. Ya, cuma itu. Kalau diperbolehkan tambah, masalah kemudahan ke luar negeri akan sangat membantu. Akan halnya ke luar negeri, ini bermacam ragam coraknya. Ada yang tidak mau keluar karena tidak melihat faedahnya. Ada yang tidak keluar hanya disebabkan tidak punya ongkos. Sebagian lagi karena halangan-halangan tertentu, misalnya terserang encok. Sedang yang menimpa Charlie Chaplin justru bukan semata kesulitan kalau ia meninggalkan Amerika, tapi juga kalau ia mau masuk lagi ke sana. Negeri yang katanya bebas itu pada musim-musim tertentu bisa juga menampakkan akhlak yang menyimpang. Begitu menyelesaikan film Limelight, Charlie Chaplin berniat berlayar ke Eropa. Tambah lagi istrinya Oona kepingin membawa anak-anak sekolah di sana, karena Hollywood busuk baunya. Sedikit rewel dengan pihak pajak, lebih rewel lagi pihak imigrasi untuk peroleh izin -- sehingga Charlie harus menunggu berminggu-minggu dan menulis surat ke Washington. Akhirnya telepon berdering, pihak berwajib minta permisi menjumpainya di rumah. Dipersilakan dengan senang hati, kata Charlie Chaplin. Tiga pria dan seorang wanita datang, membawa mesin ketik dan alat perekam. Pertanyaan pertama, apakah nama Charlie Chaplin betul-betul Charlie Chaplin. Yang ditanya menjawab, sejak dahulu kala memang namanya Charlie Chaplin dan seingatnya tak pernah pakai nama lain, lagi pula tidak melihat apa perlunya. Ketika aku dilahirkan 16 April 1889 pukul 8 malam di Walworth -- begitu kata Charlie -- dan ketika aku jadi bocah main-main di Jalan Kennington, namaku sudah begitu. Paling-paling kalau dulu namaku Charles Chaplin, belakangan jadi Charlie Chaplin, apa pula bedanya? - Lho, ada yang bilang nama Tuan bukan Charlie Chaplin, dan Tuan katanya berasal dari Galicia. + Masya Allah! Namaku betul-betul Charlie Chaplin, kok. Berani sumpah! Dan aku ini dilahirkan di London, negeri Inggris sana. Mengapa pula aku harus dilahirkan di Galicia? Dan di mana Galicia? Dengar saja baru sekarang. - Apa betul Tuan tidak pernah jadi komunis? + Jadi apa? Komunis? Mengapa mesti jadi komunis? Jadi anggota partai politik apa pun tidak pernah. - Tapi, dalam salah satu pidato Tuan ada memakai istilah "kamerad". + Memangnya kenapa? Istimewanya apa? Tolong tengok kamus, istilah itu bukan melulu diperuntukkan buat komunis. Siapa saja boleh pakai, asal suka. Pertanyaan kedua, apakah Charlie Chaplin pernah main dengan bini orang. Ini membuat Charlie terlompat tiga elo dari tempat duduknya. Bapak bertanya apa saya pernah main dengan bini orang? Bapak ini bagaimana sih, interogasinya bikin kaget saya saja. Sesudah mengingat-ingat agak satu dua menit Charlie Chaplin menjawab "Astaga! Amit-amit jabang bayi. Itu pamali." Hanya beberapa hari sesudah itu Charlie Chaplin diizinkan berangkat ke Eropa, naik kapal Queen Elizabeth dan boleh kembali kapan saja dia mau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus