BUKAN kepalang senang hati atase dari negeri sahabat itu, duduk
di lobi hotel seraya mengganyang biji jambu monyet. Ia
mengunjungi Bandung seminggu menjelang sidang umum MPR, dan
tidak melihat apa-apa di kampus. Di kampus ia hanya menjumpai
pergunjingan perkara gantole, bunyi diktat, dan model sepatu.
Tempo hari memang riuh senandung konsep alternatif strategi
pembangunan dengan redistribusi pendapatan seraya melecehkan
orientasi pada GNP. Tapi itu tempo hari. Sekarang tidak. Bisa
jadi karena sudah terpecahkan, dan bisa jadi pokok persoalan
sudah beralih. Atase kita melipat lagi buku catatannya, naik ke
tempat tidur, dan esoknya pulang ke kantor dengan kereta api
paling pagi membawa oleh-oleh oncom.
Sementara itu seorang dosen yang sedang perawakannya tengah
menikmati uraian Dewi Motik dan Tuti Alawiyah ketika diskusi
Hari Kartini di Unpad, sehingga matanya berkaca-kaca. Saya sikut
lengannya. Sambil berbisik saya tanya, apa gerangan yang
diharapkan dari Menteri Nugroho Notosusanto. Juga berbisik, ia
minta supaya kampus yang sudah normal ini dinormalisasi, dan
hambatan yang menimpa bekas aktivis supaya dimasukkan dalam
lemari. Cuma itu? tanyaku. Ya, cuma itu. Kalau diperbolehkan
tambah, masalah kemudahan ke luar negeri akan sangat membantu.
Akan halnya ke luar negeri, ini bermacam ragam coraknya. Ada
yang tidak mau keluar karena tidak melihat faedahnya. Ada yang
tidak keluar hanya disebabkan tidak punya ongkos. Sebagian lagi
karena halangan-halangan tertentu, misalnya terserang encok.
Sedang yang menimpa Charlie Chaplin justru bukan semata
kesulitan kalau ia meninggalkan Amerika, tapi juga kalau ia mau
masuk lagi ke sana. Negeri yang katanya bebas itu pada
musim-musim tertentu bisa juga menampakkan akhlak yang
menyimpang.
Begitu menyelesaikan film Limelight, Charlie Chaplin berniat
berlayar ke Eropa. Tambah lagi istrinya Oona kepingin membawa
anak-anak sekolah di sana, karena Hollywood busuk baunya.
Sedikit rewel dengan pihak pajak, lebih rewel lagi pihak
imigrasi untuk peroleh izin -- sehingga Charlie harus menunggu
berminggu-minggu dan menulis surat ke Washington. Akhirnya
telepon berdering, pihak berwajib minta permisi menjumpainya di
rumah. Dipersilakan dengan senang hati, kata Charlie Chaplin.
Tiga pria dan seorang wanita datang, membawa mesin ketik dan
alat perekam. Pertanyaan pertama, apakah nama Charlie Chaplin
betul-betul Charlie Chaplin. Yang ditanya menjawab, sejak dahulu
kala memang namanya Charlie Chaplin dan seingatnya tak pernah
pakai nama lain, lagi pula tidak melihat apa perlunya. Ketika
aku dilahirkan 16 April 1889 pukul 8 malam di Walworth -- begitu
kata Charlie -- dan ketika aku jadi bocah main-main di Jalan
Kennington, namaku sudah begitu. Paling-paling kalau dulu namaku
Charles Chaplin, belakangan jadi Charlie Chaplin, apa pula
bedanya?
- Lho, ada yang bilang nama Tuan bukan Charlie Chaplin, dan Tuan
katanya berasal dari Galicia.
+ Masya Allah! Namaku betul-betul Charlie Chaplin, kok. Berani
sumpah! Dan aku ini dilahirkan di London, negeri Inggris sana.
Mengapa pula aku harus dilahirkan di Galicia? Dan di mana
Galicia? Dengar saja baru sekarang.
- Apa betul Tuan tidak pernah jadi komunis?
+ Jadi apa? Komunis? Mengapa mesti jadi komunis? Jadi anggota
partai politik apa pun tidak pernah.
- Tapi, dalam salah satu pidato Tuan ada memakai istilah
"kamerad".
+ Memangnya kenapa? Istimewanya apa? Tolong tengok kamus,
istilah itu bukan melulu diperuntukkan buat komunis. Siapa saja
boleh pakai, asal suka.
Pertanyaan kedua, apakah Charlie Chaplin pernah main dengan bini
orang. Ini membuat Charlie terlompat tiga elo dari tempat
duduknya. Bapak bertanya apa saya pernah main dengan bini orang?
Bapak ini bagaimana sih, interogasinya bikin kaget saya saja.
Sesudah mengingat-ingat agak satu dua menit Charlie Chaplin
menjawab "Astaga! Amit-amit jabang bayi. Itu pamali." Hanya
beberapa hari sesudah itu Charlie Chaplin diizinkan berangkat ke
Eropa, naik kapal Queen Elizabeth dan boleh kembali kapan saja
dia mau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini