Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bidikan seorang juru ukur

Pengalaman para petugas ukur, mereka merintis berbagai proyek pembangunan, ada yang berbulan-bulan tugas di hutan. (sd)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBENTUKAN Departemen Transmigrasi secara tersendiri dalam Kabinet Pembangunan IV ini berarti peranan para petugas ukur semakin penting. Mulai dari merencanakan lokasi transmigrasi, membuka lahan, membangun perkampungan dan jalan, petugas ukur tak bisa dikesampingkan. "Semua pekerjaan itu membutuhkan peta teknis. Untuk itu dibutuhkan pengukuran," kata Hendro Tjahjono. "Sulit dibayangkan suatu rencana pemukiman tanpa adanya peta teknis." Hendro Tjahjono, 31 tahun, sarjana geodesi lulusan Fakultas Teknik UGM tahun 1978, sekarang bertugas di Direktorat Tata Kota & Tata Daerah Ditjen Cipta Karya. Direktorat yang akan pindah induk dari Departemen PU ke Departemen Transmigrasi ini adalah tempat ngumpulnya para petugas ukur bergelar sarjana geodesi. Sebagai juru ukur Hendro sendiri punya pengalaman menarik. Waktu itu, 1974 Hendro dan kawan-kawannya harus menyiapkan rencana pemukiman transmigrasi di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Ketika itu Hendro masih tercatat sebagai mahasiswa UGM. Selama 6 bulan ia berada di tengah hutan lebat, dibantu oleh 70 tenaga pelaksana yang sebagian dari penduduk sekitarnya. Ia harus membikin peta untuk areal seluas 600 ha, melewati beberapa sungai dan bukit. Bekalnya sebuah peta topografi dengan skala 1:100.000. Tugas Hendro mengecilkan peta itu menjadi 1:500. Dengan kata lain keadaan alam dalam areal 600 hektar itu harus digambarkan secara terperinci. Tinggi rendah dataran, liku-liku sungai, perbedaan temperatur, keadaan tanah. Termasuk pula sifat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang menghuni hutan itu. Berhari-hari ia naik turun bukit terjal dan curam. Di beberapa bagian peta yang dipakai sebagai pegangan itu (peta lewat pemotretan udara) tak cocok dengan keadaan di lapangan. Ini berarti para petugas itu harus mengubah detil, sekaligus mengubah peta pegangan itu. Kenapa pemotretan udara bisa salah? "Bisa saja, lekuk sungai di tengah hutan lebat bisa kabur dipotret dari udara," katanya. Kemah-kemah para petugas ukur itu pindah tempat tiap 2 hari sekali. Ini berarti tempat mereka semakin masuk ke pelosok hutan. Karena itu tak heran bila rombongan mereka pernah kehabisan makanan -- hingga selama dua hari hanya makan dedaunan. "Kami makan pakis dan pucuk enau, droping terlambat karena lokasi semakin masuk ke hutan," kata Hendro. Mengatasi kesepian di hutan, Hendro tak lupa membawa radio dan buku-buku. Tapi buku tak banyak berguna, karena ternyata tak sempat dibaca. "Seharian penuh mengadakan pengukuran dan malam hari dengan sinar lampu petromak saya harus mengolah data. Cukup rumit," katanya. Tugas mengolah data harus selesai malam itu, sebab malam berikutnya data baru harus dikerjakan pula. Bagi Hendro ada juga enaknya tinggal di hutan sedemikian lama. "Pikiran saya benar-benar jernih. Saya merasa dekat dengan Tuhan, saya seperti selalu berdialog dengan Tuhan," kata Hendro. Keluar dari hutan setelah 6 bulan tak menghirup udara kota, badannya jadi kurus. Tapi uangnya banyak, uang saku sehari Rp 5.000. "Uang itu habis saya belikan buku dan biaya kuliah," ujarnya. Setahun kemudian Hendro bertugas di Irian Jaya -- juga ketika ia masih berstatus mahasiswa. Ia menerima proyek dari perusahaan minyak Amerika, Petromer Trend untuk merencanakan lokasi tangki minyak di pantai Jeff Kasim Sele, 40 mil di selatan Sorong. Pekerjaan itu diselesaikan 20 hari. Ia makan mewah, tidur pakai AC, jika perlu rekreasi, ada helikopter. Pekerjaannya pun tak sulit. Ia harus menentukan lokasi tangki yang didukung kemudahan sumber alam. Dan uang sakunya Rp 6.000 sehari. "Pulangnya, saya bisa membeli sepeda motor," katanya. Pengalaman berkali-kali mengikuti proyek pengukuran, memudahkan Hendro mendapat pekerjaan setelah lulus dari UGM. Selama setahun (1978-1979) ia bekerja di PT Geo Jaya Teknik Jakarta, perusahaan pemotretan dari udara. Maret 1979 ia kawin, lantas bekerja di Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah. Sekarang ia menjadi pimpinan juru ukur di instansi itu dengan status golongan III A. Syarat menjadi petugas ukur, "sehat mental kuat, dan tahan menderita," kata Ir. Suharsono, 43 tahun, dosen photogrametry (pengukuran dengan media photo udara) Fakultas Teknik UGM. Ia pernah memimpin pemetaan untuk rencana jalan pemukiman transmigrasi di Kalimantan Barat, tahun 1975, sepanjang hampir 25 km. Ia memerlukan waktu 2 minggu untuk tugas itu, dengan 15 pembantu. Berkali-kali pemetaannya gagal karena rencana jalan yang dihasilkannya ternyata lebih dari 25 km. Pemetaan harus diulang. "Terlalu banyak rawa di sekitar itu jadi hambatan," katanya. Pengukuran juga bisa terhambat jika hutannya cukup rimbun. Patok-patok ukur tak bisa direntangkan lebih panjang. Dengan pengalaman sebagai juru ukur sejak 1964, Suharsono menyebut tugasnya mirip pasukan Kopasandha. "Kami petugas terdepan yang merintis sebuah proyek pembangunan. Tanpa pemetaan lokasi proyek bisa fatal," kata dosen yang sudah lupa berapa kali menangani proyek itu. Ia pernah mempersiapkan pemukiman transmigrasi di Sulawesi dan berkali-kali menangani proyek-proyek jalan Departemen PU. Ia menolak menyebutkan "harga proyek", namun honor mahasiswa yang jadi pembantunya antara Rp 100.000 sampai Rp 300.000 di luar uang saku. "Senangnya kalau proyek berhasil dan terima uang. Susahnya di hutan itu," kata dosen yang sudah dikaruniai empat anak itu. Pengukuran tanah untuk lokasi proyek, tentu saja tak cuma merencanakan lahan transmigrasi. Juga untuk mendirikan bangunan gedung, jembatan, jalan, di kota maupun di desa. Soeprapto, 40 tahun, petugas ukur di Kantor Agraria Sidoarjo, Jawa Timur, sering berkeliling ke desa-desa. "Kerja kami bukan hanya mengukur tanah saja, tapi sekaligus menggambar peta dan membikin sertifikat," kata ayah dari dua anak yang memulai karirnya sebagai juru ukur sejak 1962. Pernah tiga minggu terus menerus Soeprapto berkeliling dari satu desa ke desa lain. Lebih-lebih ketika pemerintah mengumumkan pelaksanaan Prona (Proyek Nasional Agraria) tahun 1982. Soeprapto yang dikenal sebagai juru ukur senior di kantornya digelari pimpinannya "juru ukur teladan". Jika tanah yang diukur sedang disengketakan, bisa menyulitkan petugas ukur. Sebab, menurut Soeprapto, kedua pihak yang bersengketa sama-sama menghalangi pengukuran ltu. Begitu pula jika ada perselisihan batas antara dua bidang tanah. "Untuk mengukur tanah satunya, saya tak diberi izin masuk ke tanah sebelahnya," kata Soeprapto. Padahal untuk pengukuran diperlukan tempat dari luar lokasi itu. Tetapi kesulitan serupa itu segera lenyap dari pikirannya jika telah menerima uang saku Rp 2.000 sehari. "Uang saku itu cukup menggairahkan, walau kecil," katanya. Ia maklum, karena pendidikannya "cuma jebolan Kursus Petugas Ukur tahun 1962 di Kediri. Di kalangan petugas ukur memang dikenal uang saku yang jumlahnya berdasarkan pendidikan dan pengalaman kerja. Kusnadi, 27 tahun, lulusan STM di Surabaya, 1976, yang kini berkantor di PU Ja-Bar, kalau bertugas mendapat uang saku Rp 2.500. Ia pernah bertugas di daerah transmigrasi Sumatera Selatan, memetakan rencana jalan tembus Surolangun. Banyak rumah dan tanah penduduk yang terkena proyek, sementara ganti rugi hampir tak ada. "Tetapi penduduk menghargai petugas. Ketika haus mereka memberi minum," kenang Kusnadi. Berbeda sekali ketika dua tahun lalu ia mengukur pelebaran Jalan Pasirkaliki Bandung. "Jangankan diberi minum, malah diomeli. Pagi patok dipasang, sore dicabuti penduduk. Para pengukur ngeri, takut ditimpuk," katanya. Penduduk yang terkena pelebaran mempermasalahkan ganti rugi, dan juru ukur yang tak tahu soal itu kena getah. Karena itu Kusnadi merasa lebih senang bekerja di pedalaman. Selain aman, ia merasa ditantang. Dengan theodolid (alat pengukur sudut dan jarak) berkaki tiga itu, ia selalu asyik menghitung berapa kemiringan suatu tanah. Lekuk liku sungai diukur dengan bantuan mistar yang selalu dibopong pembantunya. "Jelimet dan mengasyikkan seperti mengukur tubuh gadis," kata Kusnadi yang istrinya tinggal di Surabaya sebagai guru. Kusnadi memang benar. Mengukur tanah di kota, apalagi seperti di Jakarta yang sering ada penggusuran, lebih banyak dukanya. "Kami pernah dikejar orang kampung, diteriaki maling. Alat-alat dirusak, kami dituduh tukang gusur, kerja sama dengan calo dan macam-macam," tutur Soepar, 45 tahun, yang sudah 27 tahun menjadi juru ukur di kantor PU DKI Jakarta. Selain itu, di Jakarta banyak tembok tinggi yang menghalangi pemandangan. Izin memasuki halaman rumah orang sulit didapat -- meskipun proyek yang diukur di luar halaman rumah itu. Sakitnya lagi, "kami kurang dihargai, padahal yang menentukan posisi bangunan, tinggi rendahnya jalan yang dibangun dan rata-tidaknya lapangan, tugas juru ukur," lanjut Soepar yang ikut menangani pengukuran proyek Gelora Senayan. Pegawai negeri golongan II A dengan tiga anak ini berpendidikan SD, tapi pernah mengikuti kursus Alokasi Pengukuran, tahun 1957. Seorang juru ukur swasta dari PT Hutama Karya, Suharno, 46 tahun juga mengakui agak sulit bertugas di Jakarta. Ia ikut membantu merencanakan jalan layang yang menembus Cawang, dan hari-hari terakhir ini ia mengukur kemiringan rencana jalan itu. "Saat patok merah di ujung sana mau dibidik lewat pesawat theodolid, ada mobil nyelonong, wah sulit," katanya. Bekerja malam tak mungkin dilakukan seorang juru ukur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus