Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mei 1926. Seorang anak muda Belanda (24 tahun) yang baru setahun tinggal di Batavia mendapat pujian dari pers Batavia. Karya posternya ditahbiskan sebagai terfavorit lomba desain reklame Pesta Gambir. Namanya Jan Lavies. Posternya: Danspaar (pasangan berdansa), menggambarkan seorang lelaki bersurjan, lengkap dengan blangkon, meliuk, berhadapan dengan seorang wanita berselendang. Tradisional, tapi digambar dengan suasana sangat modern. Majalah Java Bode mengomentari demikian: "Garis-garisnya luwes, warnanya berani, mereka yang melihat pasti terpincut mendatangi acara itu."
Tak ayal, selama tinggal di Batavia pada 1925-1932, lelaki lulusan Royal Academic of Fine Arts di Hague itu cepat laris. Apalagi berbeda dengan di Belanda, persaingan di antara biro iklan di sini relatif tidak tinggi. Hampir semua perusahaan besar yang mengiklankan produknya di surat kabar Indonesia, mulai dari Soerabaiaasch Handelsblad sampai D'Orient, memakai jasa keahlian Lavies. Dan Lavies pun tak tanggung-tanggung. Mulai dari poster pertunjukan teater sampai iklan pelayaran pun digasaknya. Ia bisa disebut raja promosi dunia perhotelan. Logo Hotel Des Indes Batavia, Oranje Hotel Soerabaia, Hotel Nongkodjadjar Lawang, Grand Hotel Garoet, Hotel Toegoe Djokdja, semua dia yang garap.
Tentu saja, semua itu dikerjakannya manual. Era itu belum ada desain grafis komputer yang canggih. Kapitalisme juga tentunya tak seagresif sekarang. Masih terasa iklan tak semata-mata bisnis, sekalipun esensinya sama. Di balik poster, seorang desainer dituntut untuk "membujuk" konsumen. Maka faktor kekinian tren visual adalah hal yang penting. Dan Lavies disebut salah satu pelopor gaya Art Deco dalam dunia periklanan. Sebuah gaya yang segar di kala banyak seniman lain mengeksplorasi sisi etnik, orientalistik Mooi Indie.
Lihatlah saat 1930 ia mendesain poster untuk pasar malam di Surabaya yang berlangsung 26 September sampai 12 Oktober. Sepasang kekasih, berpantalon dan bermantel wol, dari kejauhan melihat kerlap-kerlip pasar malam. Sebuah komposisi yang menyasar kalangan kelas menengah. Demikian juga pada 1931, saat ia disewa Daishi, sebuah perusahaan Jepang di Surabaya, untuk mendesain iklan rupa-rupa produk: sepatu, kaus kaki, stocking, baterai, termos, obat-obatan insektisida, sabun, cat, bolpoin. Yang ditekankan dalam posternya adalah unsur humor masyarakat umum.
Pada 1932 Tuan Lavies balik ke Negeri Kincir Angin. Jam terbangnya yang tinggi di negeri jajahan membuat ia diperhitungkan. Ia disewa membuat poster maskapai penerbangan Belanda KNILM (Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaartmaatscgappij), terutama poster jalur penerbangan ke Asia Tenggara. Salah satu karya klasiknya, Fly to Java, menampilkan gambar dengan teknik airbrush: sebuah pesawat melayang di atas Borobudur. Langit kuning, sementara stupa-stupa Borobudur berwarna biru. Ia juga mendesain rute pelayaran Asia, Australia, Afrikaperusahaan perkapalan Vereenigde Nederlandsche Scheepvaartmaatschappij.
Lalu datanglah masa pahit bagi seniman dan jurnalis Belanda. Mei 1940 Belanda diduduki Jerman. Seluruh materi pers dan periklanan di bawah kontrol pasukan Jerman. Para seniman tidak bisa bergerak apa-apa. Tapi salah satu poster antifasis yang dibuat Lavies untuk pertunjukan kabaret Erika Mann, Die Pfeffermuhle, berhasil beredar luas.
Pada masa setelah perangtahun 50-anLavies banyak membuat iklan rokok. Tidak diketahui apakah di Indonesia ia sempat membuat poster iklan rokok. Seperti dicatat dua kolektor Leo Haks dan Guss Marris, dalam Lexicon of Foreign Artists who Visualized Indonesia 1600-1950, sebuah buku yang mendata semua seniman asing yang pernah tinggal di Hindia Belanda, banyak pelukis Belanda membuat iklan rokok lokal. Misalnya M. Van Meeteren Brouwer. Kira-kira seperti motto Star Mild sekarang: Bikin Hidup Lebih Hidup, Brouwer membuat seri promosi tembakau merk Van Nelle, dengan motto sama: Tembaco Van Nelle njang Paling Baik tapi dengan gambar beda-beda.
Pada perkembangan terakhir di Belanda, gaya Lavies terpengaruh gaya Amerika. Gambarnya realistik, banyak mengeksplorasi wanita. Dan ciri-ciri wanitanya mengikuti kecenderungan film-film noir Amerika atau stereotip komik-komik dewasa: Femme fatalle alias wanita penggoda. Lihatlah reklame rokok Caballero tahun 1950, rokok Aida 1955. Seorang wanita trendi (setengah binal), penuh percaya diri, mengepulkan asap rokok. Wanita mandiri demikian tampak juga ketika dia menggambar untuk iklan mobil Skoda dan Tatra yang diimpor dari Cekoslovakia. Ini berbeda dengan kecenderungan saat ia menggarap iklan-iklan mobil di Batavia. Pada 1928, atas order Konnkijke Vereeniging Java Motor Club, ia membuat poster mobil-mobil produk General Motors. Saat itu gambar unsur mobilnya yang ditekankan, bukan wanitanya.
Pameran ini sangat berharga. Sementara karya-karya pelukis asing di era kolonial, Walter Spies, Rudolf Bonnet, relatif dikenal di dunia seni lukis kita, dunia periklanan kita seakan abai historiografi. Belum ada studi serius, misalnya, tentang dunia iklan di era kolonial. Padahal atensi terhadap poster-poster zaman bahuela itu, terutama di Yogya, akhir-akhir ini merebak. Sampul buku terbitan Bentang, Pustaka Pelajar yang dipelopori oleh Harry Ong Wahyu, banyak mendaur ulang idiom poster era "kiblik". Hanya, karena minimnya informasi, pernah sebuah sampul untuk buku Student Hijau karya Mas Marcodikromo, misalnya, bergambar poster karya M. Van Meeteren Brouwer, yang aslinya diperuntukkan buat promosi tembako. Jadi, kesannya asal tempo doeloe.
Dan dari karya-karya Lavies, kita tahu bahwa poster periklanan di Hindia Belanda tidak berkembang satu gaya. Gaya Art Deco, dengan warna-warna cerah biru, merah, kuning yang funky untuk masanya itu ternyata pernah berjaya di sini.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo