Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Reptil-reptil Radhar

Pertentangan antara polisi dan KPK dicoba diparodikan Radhar Panca Dahana dan Teater Kosong ke dalam dunia reptil.

25 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kehebohan terjadi tatkala para pejabat reptil bersidang dalam Dewan Perularan Rakyat (DPR). Kadal, buaya, bung­lon, kobra, salamander, tokek, naga berselisih tentang siapa di antara mereka yang terlibat penyuapan. Sekitar 23 pemain tumpek bleg. Aktor tangguh Jakarta seperti Meritz Hindra, Joseph Ginting, Andi Bersama, Toto Prawoto, Arie F. Batubara terlibat. Semua mendesis. ”Jadi, Cicak B dan Cicak C kau umpankan?” Seekor reptil bertanya kepada Cicak A.

Itulah pementasan Republik Reptil karya dan arahan sutradara Radhar Panca Dahana di Graha Bhakti Budaya pekan lalu. Radhar mengangkat kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus polisi, Antasari Azhar, Rhani Juliani, Susno Duadji, dan Anggodo ke atas panggung. Terinspirasi metafora KPK sebagai cicak dan polisi sebagai buaya, ia menambah metafora: kejaksaan sebagai biawak, makelar kasus sebagai bulus, pengacara sebagai kadal, dan sebagainya.

Para aktor didandani dengan tutup kepala yang menyiratkan karakter reptil masing-masing. Mereka mengenakan­ jas namun memiliki buntut yang terjuntai. Gerak-gerik dan artikulasi mereka juga seperti hewan melata. Radhar agaknya menganggap seluruh pejabat hukum kita dihinggapi mental reptil.

Sesungguhnya pertunjukan ini bisa menjadi satire yang tajam. Drama Radhar bisa mengingatkan kita pada Ani­mal Farm karya George Orwell. Persoalan utama adalah naskah Radhar terlalu menyajikan problem dari luar panggung. Konflik yang disajikan diandaikan telah dimengerti penonton. Radhar tidak membangun ”cerita sendiri”. Tiba-tiba kita dihadapkan pada aktor-aktor dengan pakaian reptil, berbicara tentang sadapan rekaman sampai skenario rekayasa.

Adegan dimulai dari Cicak yang dipenjara. Iguana yang dimainkan secara sensual oleh Olivia Zalianty menjenguk Cicak. Iguana adalah intelijen Buaya yang dihamili Cicak. Sebenarnya menarik apabila Radhar berfokus saja ke sosok Iguana. Darinya Radhar bisa membangun cerita yang lucu. Ia, misalnya, bisa menggambarkan lika-liku Iguana mengatur dan menyuap semua institusi hukum.

Radhar memang menampilkan adegan Iguana tengah memijat Bunglon. Si Iguana tampak fasih berbahasa Cina. Kita tahu bahwa Iguana dimaksudkan Radhar sebagi paduan Ong Juliana dan Arthalyta Suryani. Namun Radhar terlalu bersemangat ingin menampilkan banyak konspirasi ke atas panggung. Dari Kadal yang memberikan suap ke jaksa sampai Belut yang bukan reptil menyelinap ke sidang dan kemudian dibunuh oleh Komodo.

Porsi terbesar pentas ini adalah debat di DPR. Namun adegan di DPR itu terasa bukan sebuah klimaks dramaturgi yang urutan masalahnya diperkenalkan, di­kaji, diuji, dan dicoba dicari solusi­nya oleh aktor-aktor di panggung. Pada adegan DPR itulah seluruh keaktoran tumpah. Di situ Eko D. Zenah sebagai Ular Kobra, Joseph Ginting sebagai Naga, dan Andi Bersama sebagai Cicak A menampilkan akting menarik.

Soal lain adalah kasus Century dan Antasari berkembang ke tingkat permasalahan makin kompleks. Dialog-dialog yang naskahnya dibuat dua bulan lalu bisa basi. Misalnya saat Andi Bersama sebagai Cicak A (KPK) bercerita bagaimana ia meloloskan tender-tender yang di-mark up besar-besaran dan Joseph Ginting sebagai Naga mencecarnya: ”Apakah itu bagian dari Rp 6,7 triliun?” Kita tahu sesungguhnya antara Century dan KPK adalah dua hal yang berbeda.

Juga banyak banyolan terlihat tak menancap di benak penonton. Ketika Komodo dan Biawak mendiskusikan ”durian montong”, misalnya, penonton tak bereaksi. Mungkin banyak penonton lupa soal durian itu muncul tatkala Ong Juliana dalam sadapan re­kaman mengatakan telah mengirim durian (yang dicurigai pers sebagai sabu-sabu) ke Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga.

Radhar berusaha mengembalikan teater ke publik. Melalui teaterlah publik dapat menyaksikan persoalan so­sial dikemas dengan nilai artistik yang tinggi. Memang, set dan tata cahaya yang digarap Aidil dan kawan-kawan cukup menohok. Di akhir cerita, saat Tynosaurus Rex, bos dari segala bos reptil, lewat, panggung bergetar keras dan sebagian set ambruk. Pertunjukan ini penting dan patut dipuji. Namun sayang tak sampai menjadi komedi hitam yang menggigit.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus