Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Lukisan Cahaya Guido Contini

Sebuah film musikal yang menampilkan sederet nama besar. Berhasilkah Rob Marshall menciptakan keajaiban panggung seperti Chicago?

25 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NINE
Sutradara: Rob Marshall
Skenario: Michael Tolkin, Anthony Minghella, Arthur Kopit, Mauri Yeston, dan Mario Fratti
Pemain: Daniel Day-Lewis, Nicole Kidman, Marion Cotillard, Penelope Cruz, Sophia Loren, Katie Hudson, Fergie

Sebuah panggung hitam. Selajur cahaya mengusap wajah seorang lelaki paruh baya yang tampan. Guido Contini. Dia tampan, dia seksi, dia magnet bagi segala besi; dia lelaki bagi semua peri. Guido Contini—seperti juga Federico ­Fellini—adalah yang meletakkan Italia di peta sinema dunia.

Italia, 1965, menggambarkan seorang Federico Fellini, yang akbar, yang penuh pesona, yang gelisah karena merasa idenya buntu. Maka lahirlah film 8½ (Otto e Mezzo, 1963) karya yang merupakan sebuah kisah semi-otobiografi Fellini yang bukan saja mendapatkan puluhan penghargaan internasional pada masanya; tapi juga menjadi satu film klasik yang kemudian melahirkan serangkaian epigon (atau mereka menyebutnya tribute) yang diinspirasi oleh film 8½.

Film Nine karya Rob Marshall bukanlah sebuah epigon. Ini adalah sebuah adaptasi dari pertunjukan musikal Broadway berjudul sama yang lahir pada 1980-an. Dan pertunjukan musikal inilah yang dibuat berdasarkan film 8½ karya Federico Fellini. Dari film kembali ke film. Di antara itu, Guido menguasai panggung dan hati perempuan.

Berhasilkah Marshall menangkap jiwa Fellini ke dalam tubuh aktor Da­niel Day-Lewis yang, oh, sungguh tampan bahkan di usia senja itu? Guido Anselmi dalam film 8½ yang lazim dipe­rankan oleh Marcello Mastroianni, kini menjelma menjadi Guido Contini dalam tubuh Daniel Day-Lewis. Di tangan Marshall, tanpa mengkhianati plot cerita, kita melihat Guido yang ”tersiksa” karena merasa buntu, sedangkan produser sudah menggedor-gedor skena­rio yang belum kunjung ditulis satu ­huruf pun. Sementara itu, para perempuan dalam hidupnya terasa begitu mengisap perhatiannya: ­Luisa, sang istri yang terluka dan pasrah (Marion Cotillard yang lembut); Carla, sang pacar simpanan (penampilan Penelope Cruz yang bersinar); Claudia, sang diva yang menjadi inspirasi film-filmnya (Nicole Kidman dengan kulitnya bak kain sutra); Mamma, sang ibu (Sophia Loren yang anggun) yang selalu berkelebat dalam bayangan; Stephanie, wartawan majalah Vogue yang sungguh gatal ingin tidur dengan sang sutradara (Kate Hudson yang ternyata bisa menyanyi); Lili, desainer kostum sekaligus tempat Guido mencurahkan hati (Judi Dench yang senantiasa kuat seperti baja); dan Saraghina, sang pelacur yang pernah disewa oleh Guido dkk pada masa kecilnya (Stacy Ferguson a.k.a. Fergie).

Semua perempuan silih ­berganti menuntut, menggugat, merayu, merengek, menggoda sekaligus mengisap hidup Guido. Dan Guido, seperti para maestro lainnya, begitu jenius sekali­gus begitu lemah ketika sang inspirasi ngambeg dan tak kunjung mengetuk pintu rumah kreasi. Sesekali dia berbicara dan berdansa dengan sang ibu dalam imajinasi, tapi tetap saja segala nasihat, saran, dan cinta itu tak kunjung membuhulkan semangat Guido untuk menghasilkan satu huruf pun di atas kertas skenario. Sang produ­ser, Dante (Ricky Tognazzi), akhirnya memutuskan, ”Kaulakukan apa yang biasa kaulakukan dengan baik: menulis dengan kamera!”

Rob Marshall jelas ingin ­mengulang sukses film Chicago yang ­berhasil menggabungkan kelebihan panggung dan layar perak menjadi perkawinan yang mewah. Setiap aktris besar, Nicole Kidman, Marion Cotillard, Penelope Cruz, Kate Hudson, dan bahkan Judi Dench, masing-masing diberi satu porsi lagu yang dipentaskan di atas panggung sebagai bagian dari imajinasi Guido. Kecuali Fergie yang memang berprofesi sebagai penyanyi dan tampil begitu sinting sebagai pelacur bersuara menggelegar, para aktris lain menyanyi dengan baik. Ini bukan sudah kejutan lagi, setelah kita melihat bagaimana para aktris Hollywood dan Eropa ternyata juga bisa menyanyi dalam film Moulin Rouge, Edith Piaf, Chicago, Mamma Mia.

Tapi keajaiban yang terjadi pada film Chicago tak terjadi dalam film Nine. Film Nine berasal dari sebuah problem pergulatan jiwa seorang sutradara. Marshall berhasil melukis dengan cahaya panggung, Daniel Day-Lewis dengan keriput di matanya; dan kalimat beraksen Italia yang lezat itu memang berhasil menghidupkan film ini. Tapi nomor-nomor yang belum berhasil melekat di benak penonton—kecuali ”Be Italian”—dan problem ”kemanjaan” seorang sutradara yang terus-menerus ditarik-tarik sepanjang dua jam itu ternyata jauh lebih menarik dalam format serius seperti film asli. Versi pop Marshall seharusnya bisa lebih diberi bumbu pelezat dan liku dramatik yang tidak repetitif.

Tapi, inilah kembalinya aktor Da­niel Day-Lewis yang perlu disambut.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus