Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erotis. Sebuah kesan yang sewajarnya muncul ketika kita melihat sepasang manusia berbeda jenis, saling mencelupkan tubuh mereka yang berimpitan ke dalam air. Lebih-lebih ketika cipratan air yang meloncat dari ujung rambut membasah, di saat kepala mereka mendongak.
Pemunculan suasana sensual erotis itu merupakan unsur pembuka yang cerdas sekaligus mudah merangsang perhatian penonton. Apalagi diimbuh suara-suara yang diciptakan instrumen-instrumen tabuh dan gesek. Citra magi pun hadir. Apalagi penempatan adegan tersebut berada di sebuah kolam berbentuk bujur sangkar berkelambu transparan.
Lewat pengadegan tersebut, koreografer senior Farida Oetoyo menyuguhkan cikal bakal polemik batin yang kelak akan menimpa Dewi Kunti saat menyaksikan kedua anak kandungnya bertempur. Mengusung judul Kunti, karya terbaru Farida ini dipentaskan sebagai bagian produksi ke-20 kelompok Kreativitat Dance Indonesia, bertempat di Teater Salihara, pada Sabtu dan Minggu (16-17 Januari).
Dicuplik dari Mahabharata, kisah Kunti dituturkan Farida dalam empat babak. Babak pertama tentang pertemuan Batara Surya dan Kunti yang kemudian melahirkan Karna dari hasil hubungan gelap mereka. Babak kedua, pengakuan Kunti kepada Karna bahwa ia adalah putranya dan meminta Karna membelot ke Pandawa. Babak ketiga menyuguhkan pertempuran Karna dan Arjuna. Bagian ini secara unik mengganti atribut panah dan busur—sebagai senjata yang menjadi ciri khas keahlian Arjuna dan Karna menjadi kipas. Babak terakhir menampilkan sosok Kunti, kakak ipar Destarasta, dan istrinya, Dewi Gendari, bertapa di hutan dan api menghanguskan tubuh mereka.
Dari semua babak tersebut, unsur gerak terbilang tak sebanyak dan sevariatif karya-karya Farida di masa lampau. Misalnya dibandingkan dengan karya Burung-burung (Art Summit III, 2001). Pun tak memperlihatkan kekentalan unsur balet sebagai pendekatan kekaryaannya selama ini.
Memang, untuk Kreativitat Dance Indonesia, Farida cenderung lebih menekankan karya-karya kontemporer ketimbang jika ia menciptakan karya sebagai produksi Sumber Cipta—sekolah balet yang didirikannya sejak 1977. Alhasil, sangat wajar jika dalam Kunti, koreografer kelahiran Solo, 7 Juli 1939, ini lebih banyak memasukkan unsur teatrikal. Dalam hal ini dialog.
Banjir kata-kata ia munculkan di babak kedua. Dimulai dengan kemunculan Siko Setyanto pemeran Karna, yang meneriakkan kalimat: ”Akan kubuktikan padamu, Arjuna, siapa yang lebih sakti di antara kita berdua!” Babak yang hanya menampilkan karakter Karna dan Kunti ini penuh dengan dialog dramatis yang mencengangkan. Gerakan tari jadi terkesan seperlunya, dan acap kali lebih sebagai pendukung ekspresi dialog.
Bentuk tari-teater yang dipenuhi dialog sebenarnya lebih banyak ditemukan di karya-karya Yudistira Sjuman, putra Farida yang juga merupakan pencetus ide berdirinya Kreativitat setelah ia kembali dari sekolahnya di Folkwang Hochschule di Essen, Jerman. Hal ini masih kuat terlihat di karya Yudi yang dipentaskan di bagian awal: Cerita dari Dunia Maya tentang penderita skizofrenia, dan Bagai Sepotong Seruling Bambu yang Akan Engkau Isi dengan Musik.
Kemunculan teks yang diverbalkan pada pertunjukan tari sebenarnya bisa diibaratkan dengan dua sisi dari satu uang koin. Ini membantu penonton memahami kisah, terutama jika lakon yang diangkat bersifat naratif, sekaligus menutup peluang terbukanya penafsiran penonton terhadap sebuah pertunjukan. Apalagi ketika kata-kata tersebut ditempatkan sebagai media ekspresi tunggal. Beda halnya ketika kata-kata diolah menjadi sesuatu yang puitik dan metaforis yang memberi penonton kesempatan untuk merangkai makna.
Penggarapan Kunti dalam hal ini belum menyuguhkan sesuatu yang baru, baik dalam tema maupun bentuk pementasan. Meski dipentaskan oleh koreografer dan penari yang berlatar belakang balet, justru yang lebih kuat muncul adalah bentuk tari modern. Ketiadaan hal yang baru itu salah satunya terlihat pada kecenderungan menciptakan gerakan dan suasana yang diindah-indahkan secara estetis. Contoh terkuat ada pada adegan pertemuan Kunti dan Batara Surya.
Padahal, jika kita menilik ke belakang, balet Indonesia sebenarnya sudah cukup lama mengangkat kisah-kisah lokal Nusantara. Tak semata Nutcracker atau Swan Lake. Yulianti Parani pernah mencipta Sangkuriang (1960), Kesan Langgar, Capung Kecimprung, dan Variasi Sriwijaya (1961-1965). Farida Oetoyo juga memiliki pengalaman menggarap lakon pewayangan lewat Rama dan Sinta (1972) dan Pilihan Sinta (1989).
Setelah itu, karya-karya balet yang mengusung cerita dari negeri sendiri jarang didapati. Kunti sebenarnya bisa menjadi jawaban atas penantian tersebut. Sayangnya, penggarapan kisah klasik ini terlihat kurang maksimal. Ini karena dialog verbal terlalu dominan dan pemilihan gerak yang cenderung lebih berekspektasi pada keindahan semata.
F. Dewi Ria Utari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo