Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film bertema holocaust terbaru, The Zone of Interest, sukses mendulang dua Piala Oscar.
Suara mengerikan nan natural menjadi senjata andalan sutradara Jonathan Glazer.
Desainer suara Johnnie Burn menyusun kengerian dalam film The Zone of Interest dengan cara unik.
Seperti orang linglung, Lisdiana Rahmawati tampak kebingungan setelah keluar dari bioskop di salah satu pusat belanja di Jakarta Pusat, Rabu, 13 Maret 2024. Ia dan temannya, Ratih, baru saja selesai menonton film berjudul The Zone of Interest.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lisdiana lantas memilih duduk sejenak sembari mengatur napasnya. Selama beberapa menit, perempuan 39 tahun itu memejamkan mata. "Saya butuh waktu sebentar untuk menghapus ingatan buruk," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lisdiana mengaku pikirannya buncah setelah menonton film berdurasi 105 menit tersebut. Di tengah perasaan depresi, ia sempat tertawa bersama Ratih. Mereka seperti mengingat kembali ucapan kawan yang merekomendasikan film The Zone of Interest.
"Padahal sudah dibilangin, kalau enggak kuat, enggak usah diteruskan menonton filmnya. Kami malah lanjut sampai selesai," tutur Lisdiana sambil tertawa.
Ya, Lisdiana mengaku sempat ingin keluar dari studio bioskop sebelum film tersebut selesai. Namun namanya rasa penasaran pasti menantang untuk diikuti. Terlebih embel-embel film ini, yang memenangi dua penghargaan Academy Awards atau Piala Oscar untuk kategori Best International Feature Film dan Best Sound, membuat Lisdiana ingin membuktikan sendiri kualitasnya.
"Memang layak film ini memenangi Piala Oscar, apalagi kategori Best Sound, ya. Memang di situ kekuatannya."
Adegan film The Zone of Interest. a24films.com
Film The Zone of Interest menceritakan kehidupan komandan kamp konsentrasi Auschwitz bernama Rudolf Hoss, yang diperankan oleh aktor Christian Friedel. Ia bersama sang istri, Hedwig Hoss, yang diperankan oleh Sandra Huller, membangun rumah impian mereka tepat di samping kamp konsentrasi.
Film ini hanya menyajikan cerita sederhana tentang kehidupan sehari-hari pasangan Hoss bersama lima anaknya. Kehidupan mereka bak di surga lantaran nyaman dan terjamin. Rumah indah itu punya kolam renang yang menjadi tempat favorit anak-anak serta taman bunga yang luas sebagai lokasi kesukaan Hedwig.
Kehidupan nyaman itu berbeda 180 derajat dengan kondisi di dalam kamp konsentrasi tempat jutaan orang keturunan Yahudi disiksa, dibantai, hingga dikremasi jasadnya. Sutradara The Zone of Interest, Jonathan Glazer, memang tidak menyuguhkan gambar penyiksaan ataupun pembantaian orang-orang Yahudi itu sedikit pun.
Sebagai gantinya, sutradara 58 tahun itu memberikan kengerian berupa suara jeritan dan teriakan orang-orang Yahudi dari balik tembok kamp konsentrasi Auschwitz. Ada pula suara teriakan tentara Nazi Jerman hingga rentetan tembakan. Suara-suara mengerikan itu terkadang terdengar keras dan beberapa kali sayup di telinga penonton.
Gilanya, suara-suara mengerikan itu menjadi latar kegiatan keluarga Hoss yang menyenangkan. Belum lagi ada gambaran asap hitam yang berdesakan ke luar cerobong bangunan kamp konsentrasi. Meski tidak diceritakan secara detail, penonton tahu dari mana asap itu berasal. Ya, asap itu hasil pembakaran mayat-mayat orang Yahudi yang sebelumnya tewas di kamar gas beracun.
Pujian memang sangat layak diberikan kepada sutradara Glazer, yang membuka ruang bagi penonton berimajinasi tentang kejahatan holocaust yang dilakukan Nazi Jerman hanya dengan berbekal suara teriakan dan asap hitam. Walhasil, tak sedikit penonton yang pulang dengan membawa sensasi depresi yang cukup intensif.
Seperti penonton lain bernama Naldi Hasan, yang mengaku stres setelah menonton The Zone of Interest. Menurut dia, suara jeritan dan gambaran abu kremasi jenazah yang dibuang ke sungai menjadi titik tertinggi kengerian yang ia rasakan.
Namun ada hal lain yang juga mengusik batin Hasan, yakni reaksi tak acuh keluarga Hoss terhadap pembantaian manusia yang terjadi hanya beberapa meter dari rumah mereka. Menurut pria berambut cepak itu, keluarga Hoss menampilkan sisi kejam manusia yang luar biasa.
"Sisi kemanusiaan mereka seperti sudah mati. Enteng saja bagi mereka melihat kepulan asap, bahkan ada yang dengan tanpa dosa memilah-milah pakaian-pakaian orang Yahudi yang sudah mati itu," kata pria 37 tahun tersebut.
Adegan film The Zone of Interest. a24films.com
Hasan mengatakan The Zone of Interest memang memberikan kaca mata baru dalam film bertema holocaust. Hasan mengaku sudah menonton tiga film tentang holocaust, yakni Schindler's List garapan Steven Spielberg (1993), The Pianist (2002), dan The Boy in the Striped Pyjamas (2008).
Hasan mengatakan ketiga film tersebut menyuguhkan gambaran tentara Nazi yang kejam bak monster atau iblis. Adapun The Zone of Interest menggambarkan tentara Nazi Jerman dari sudut berbeda, sebut saja Rudolf Hoss dan anak buahnya yang tampak seperti orang biasa. "Mereka terlihat seperti orang biasa, tak tampak seperti pelaku kejahatan perang," tuturnya.
Sutradara Glazer mengakui efek suara menjadi kekuatan dalam film terbarunya. Ia mengatakan tak selamanya visual menjadi titik terkuat dalam karya film. "Memang ada film yang Anda lihat, tapi ada juga film yang bisa dinikmati dengan Anda dengar," kata sutradara asal Inggris itu.
Glazer menggandeng kawan lamanya, Mica Levi, untuk menggarap musik dalam film The Zone of Interest. Sebelumnya, Levi pula yang mengerjakan musik dalam film Glazer berjudul Under the Skin pada 2014. Namun Glazer seperti mengurangi beban pekerjaan Levi. Sebab, tak banyak musik yang dimasukkan ke film ini.
Justru suara-suara nonmusik yang mengisi latar film. Untuk urusan ini, Glazer mengajak desainer suara Johnnie Burn. Dialah yang bertanggung jawab atas suara jeritan, teriakan, umpatan kasar, sampai suara tembakan sepanjang film. Rupanya Burn sejak awal mendapat arahan dari Glazer untuk menyiapkan sesuatu yang tak biasa buat film bertema holocaust ini.
Burn pun setuju dengan ide Glazer. Mereka sepakat tak ada gunanya mempertontonkan gambar penyiksaan holocaust. Toh, itu sudah banyak diketahui orang lewat gambaran film-film sebelumnya. Karena itu, rentetan suara mencekam menjadi pilihan yang cerdas untuk merefleksikan kekejaman kamp konsentrasi Auschwitz di kepala penonton.
Hal menarik diceritakan Burn saat sejumlah kru film mempertanyakan adegan penyiksaan saat proses produksi The Zone of Interest. Menurut Burn, mereka penasaran dengan tema film holocaust, tapi tak ada satu pun adegan penyiksaan yang mereka kerjakan.
"Saya merasakan tanggung jawab besar di satu sisi untuk secara akurat mewakili para korban dan penyintas holocaust, juga di sisi lain untuk benar-benar memastikan film tersebut berhasil," ujar Burn.
Burn memulai pekerjaannya dengan mencari suara-suara autentik di lokasi dan pada masa peristiwa holocaust di Auschwitz. Burn menggali informasi di Museum Negara Auschwitz-Birkenau di lokasi kamp di Polandia, yang juga merupakan tempat pembuatan film tersebut. Rupanya ia menemukan banyak referensi suara, dari suara pagar listrik, bakiak kayu, sampai orkestra musik.
Selain itu, Burn menemukan pengakuan para saksi yang mengandung banyak gambaran jelas tentang pembunuhan dan penyiksaan di Auschwitz. Dari situlah Burn membayangkan suara-suara dalam peristiwa tersebut, dari teriakan penjaga, suara cambuk, hingga suara senjata.
Adegan film The Zone of Interest. a24films.com
Sebagai bagian dari "perpustakaan suara" yang ia garap untuk The Zone of Interest, menurut Burn, perlu dibuat rekaman lapangan yang substansial agar dapat memberikan kesan kredibel tentang kengerian yang perlu disampaikan. Sebab, menurut dia, suara yang diambil dari aktor yang diminta berpura-pura seperti sedang sekarat atau mengerang tertembak akan terdengar palsu. Burn ingin membuat suara-suara seautentik mungkin.
Walhasil, ia dan timnya sampai harus pergi ke berbagai negara untuk merekam suara-suara yang dibutuhkan. Sebagai contoh, orang-orang Yahudi yang dikumpulkan di kamp konsentrasi Auschwitz berasal dari Prancis. Burn harus mencari orang-orang Prancis sebagai subyek suara. Entah bisa disebut beruntung atau tidak, satu setengah tahun lalu terjadi kerusuhan di Paris.
Itulah saatnya Burn dan tim berbaur dengan demonstran serta menaruh mikrofon tersembunyi di beberapa lokasi untuk merekam orang-orang Prancis berteriak. Adapun untuk menggambarkan pesta pora para penjaga Auschwitz yang mabuk pada malam hari, Burn pergi ke Reeperbahn di Hamburg, Jerman, untuk merekam suara orang-orang yang mabuk dan berteriak.
Setelah bahan suara terkumpul, Burn mengerjakan pengeditan suara selama 1 tahun 6 bulan. Dia bekerja mencocokkan suara dengan gambar. Saat itu muncul kekhawatiran bahwa suara yang ia suguhkan bakal terlalu mengerikan. Walhasil, dia butuh waktu berminggu-minggu untuk mengecek kembali suara dengan menonton berkali-kali film yang dikerjakan.
Agar tak melampaui kengerian yang ia maksudkan, terkadang Burn sengaja menyamarkan suara teriakan dan rintihan dari balik dinding kamp konsentrasi Auschwitz. "Kami sengaja membuat ambiguitas. Apakah itu suara jeritan, peluit kereta api, atau suara tangisan bayi, semua tergantung suasana hati Anda," kata Burn.
Bagi Burn, suara jauh lebih mujarab untuk memberikan efek ketakutan atau rasa risih bagi manusia. Sebab, sejatinya cara otak memproses suara saat masuk ke batang otak jauh lebih cepat ketimbang saat otak memproses gambar melalui mata. "Anda dapat bereaksi secara instan terhadap suatu suara yang jauh sebelum Anda punya waktu memprosesnya secara rasional, dan itu benar-benar bisa membuat Anda takut."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo