Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tidak menghambat

Undang-undang no.5/1979 tidak menghambat kelancaran roda pemerintah desa di luar jawa sebagaimana yang diungkapkan oleh p3pk ugm yogyakarta. yang penting asal ada keaktifan dari pemerintah desa.

8 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tulisan "Menggugat si Nomor Lima" (TEMPO, 3 November 1990, Nasional) menampilkan hasil penelitian Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) UGM Yogyakarta. Di situ disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 5/1979 tentang pemerintahan desa tidak efektif untuk di luar Jawa. Lokasi sampel penelitian yang dilakukan di salah satu desa di Jambi itu seolah-olah menunjukkan begitulah kondisi pemerintahan desa di luar Jawa. Sebetulnya, sebelum Undang-Undang No. 5/1979 berlaku, dipakai sistem kolonial yang membeda-bedakan wilayah. Untuk Pulau Jawa dan Madura, misalnya, berlaku ordonansi IGO. Dan di luar Jawa berlaku ordonansi IGOB. Pada sistem pemerintahan desa peninggalan kolonial itu, terdapat perbedaan antara di Jawa dan luar Jawa. Sebagai contoh, di Lampung dan Sumatera Selatan berlaku sistem pemerintahan yang berlatar belakang clan (klen) yang disebut marga atau negeri. Pasirah selaku kepala marga atau kepala negeri membawahkan beberapa kampung (desa), yang wilayah kekuasaannya tidak jelas batasnya. Batasannya diduga hanya berdasarkan latar belakang sejarah yang diperkirakan tempat kelompok klen tersebut berada atau pernah berada. Kepala marga, selaku puncak pimpinan adat, juga sekaligus memimpin pemerintahan yang berhak menarik pajak. Marga atau kenegerian ini setelah berlakunya Undang-Undang No. 5/1979 merupakan ganjalan bagi pemerintahan daerah dan kecamatan. Uniknya, pada waktu itu, ada beberapa kecamatan di bawah atau dalam wilayah satu kenegerian. Dan ada pula sebaliknya beberapa kenegerian yang wilayahnya masuk dalam satu kecamatan. Sistem dualisme inilah, antara lain, yang menyebabkan timbulnya Undang-Undang No. 5/1979 tersebut, yang tidak mengenal pemerintahan adat. Kalau di beberapa daerah dihidupkan lagi lembaga-lembaga adat, bukan berarti menghidupkan kembali pemerintah adat. Pembentukan kembali lembaga-lembaga adat seperti di Minangkabau adalah dalam rangka menghidupkan budaya nasional. Relevansi Undang-Undang No. 5/1979 dengan kondisi desa tidak dapat dikaitkan dengan tersedianya sumber keuangan desa seperti tanah bengkok. Tanah bengkok yang ada di Jawa sejak awalnya bukanlah penunjang keuangan administrasi pemerintahan desa. Ia adalah warisan budaya yang secara turun-temurun sebagai pengejawatahan masyarakat Jawa untuk menjunjung pimpinannya. Tentang mengapa dinamisme pemerintahan desa di luar Jawa dan sumber pendapatannya berbeda dengan yang di Jawa, itu disebabkan perbedaan budaya. Untuk menghindari jurang perbedaan sumber penerimaan ini, maka pemerintah -- dalam hal ini Menteri Dalam Negeri -- telah menerbitkan peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1/1982 tentang sumber penerimaan desa. Desa dalam hal ini diberi kesempatan untuk menggali sumber-sumber penerimaan desa yang masih potensial, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk pembiayaan pemerintah serta tunjangan aparat pemerintah desa. Selain itu, diterbitkan juga peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2/1982 tentang pungutan desa. Peraturan ini memberi wewenang kepada kepala desa untuk melakukan pungutan terhadap warga desa, misalnya janggolan atau bekti sumbangan. Semua itu dipergunakan untuk pembiayaan pemerintah dan tunjangan bagi aparat pemerintahan desa. Sumber-sumber penerimaan desa yang berasal dari kekayaan dan pungutan desa setiap tahun anggaran diatur dalam Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa (APPKD) yang sah berlaku setelah ditetapkan dengan keputusan desa. Kalau kita simak dari peluang-peluang yang ada, kelancaran roda pemerintahan desa tidak terhambat karena kakunya Undang-Undang No. 5/1979, tapi itu terletak pada: 1. Keaktifan dan kemauan pemerintah desa untuk menggali sumber-sumber penerimaan desa. 2. Kemauan pemerintahan desa untuk mengembalikan sumber-sumber penerimaan desa yang pernah diambil, yang semula memang milik desa. 3. Memberikan tunjangan keuangan yang memadai kepada pemerintahan desa setiap bulannya, sebagai layaknya aparatur pemerintah. AJUDDIN F. USMAN Gang Bambu Kuning Hadimulyo Metro - Lampung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus