Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana angker merundung Teater Arena Taman Budaya Surakarta pada Kamis dua pekan lalu. Daging cincang basah bertebaran di sebuah meja panjang di tengah panggung. Bau anyirnya merebak hingga ke kursi penonton. Besi pengait yang biasa ditemui di rumah jagal bergelantungan di atasnya.
Pemimpin Padepokan Lemah Putih, Suprapto Suryodarmo, dan penari Fitri Setyaningsih terbaring di atas meja. Lembaran-lembaran daging yang berlumur darah segar melilit tubuh mereka. Sesekali tubuh keduanya menggelepar seperti binatang yang dikuliti hidup-hidup. Potongan daging berjatuhan dari atas mereka.
Tak lama kemudian, Suprapto turun dari meja dengan membawa selembar daging segar. Dia menari sambil memeluk, mencium, dan menyembah daging tadi dengan takzim. Di atas meja, Fitri mulai bergerak perlahan memunguti potongan daging segar yang bertebaran dan mencucinya di wadah yang terbuat dari logam sembari melantunkan sebuah tembang berbahasa Jawa.
Lalu suasana mendadak berubah ketika musik monoton dari petikan dawai yang mengiringi tarian Suprapto dan Fitri itu berganti dengan musik hip-hop yang mengentak. Dua penari lain, Maharani Ayu dan Danang Ramadhan, masuk sembari menari seirama dengan entakan musik. Sesekali Suprapto ikut berjoget dan melompat kecil, tapi tak lama kemudian dia menghilang ke balik panggung.
Adegan itu bagian dari pementasan tari Manusia Pemakan Bangkai oleh Padepokan Lemah Putih asuhan Suprapto. Pentas di ruang teater ini terjadi di luar kebiasaan padepokan itu, yang biasa menggelar pentas di ruang terbuka. Setiap pengujung tahun, misalnya, mereka selalu menggelar Srawung Seni Segara Gunung di Candi Sukuh. Hamparan batu di pelataran candi menjadi panggung mereka.
Tapi pada akhirnya mereka tetap kembali ke ruang terbuka. Tiga penari yang tersisa lalu bergerak keluar dari gedung teater sambil membopong potongan-potongan daging. Mereka melambai mengajak penonton untuk mengikuti langkah mereka. Di luar gedung, hidangan sate yang masih hangat mengepul telah tersaji. Para penari pun berbaur dengan penonton berpesta sate.
Pertunjukan ini hendak menggambarkan perubahan budaya manusia dalam menikmati hidangan yang bersumber dari ternak. Karya itu mengingatkan bagaimana dulu hewan ternak dipotong untuk upacara adat atau wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta. Penyembelihannya juga melalui serangkaian ritual.
Namun, "Saat ini daging ternak hanya menjadi komoditas konsumsi belaka," kata Suprapto di akhir pementasan. Teknologi modern telah menghilangkan ruang bagi pemotong hewan untuk memberikan penghormatan terakhir bagi ternak yang disembelih. Mesin-mesin modern pemotong ternak yang berjalan otomatis menjadi mesin pembunuh massal. Hasil yang keluar dari mesin bisa jadi berupa kornet yang telah dikalengkan. "Manusia tidak sadar bahwa yang mereka makan sebenarnya tak ubahnya seperti bangkai."
Perubahan budaya itu dilambangkan dalam perbandingan gerak ritual-meditatif dari Suprapto dengan tarian hip-hop dua penari yang masuk belakangan. Meja jagal beroda di depan panggung seolah-olah menjadi barang mainan bagi dua penari tersebut. Meja itu diputar dan didorong menjelajahi panggung. Dalam koreografi ini, Suprapto harus meninggalkan kebiasaan berimprovisasi, karena harus melakukan gerakan yang lebih teratur dan serius.
Penggarapan tari ini dilakukan selama dua bulan. Untuk pertama kalinya Suprapto berkolaborasi dengan Fitri Setyaningsih, koreografer muda yang cukup banyak menelurkan karya tari kontemporer yang fenomenal. Beberapa bulan lalu Fitri diundang sebagai seniman tamu di Arizona ÂState University. Adapun Maharani adalah koreografer dan penari yang pernah terlibat dalam Festival Mundial di Tilburg, Belanda, tahun lalu.
Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo