Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Paket Lembur Enam Hari

Pemerintah mengeluarkan empat paket kebijakan untuk membendung jebolnya rupiah dan indeks. Defisit transaksi berjalan sulit berkurang selama konsumsi bahan bakar minyak tak bisa ditekan.

26 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEJOLAK keuangan sepekan terakhir membuat para menteri dan sejumlah pengusaha harus begadang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang mengungkapkan kerja keras mereka untuk merumuskan kebijakan ekonomi guna menangkal gejolak keuangan yang melanda Indonesia dan bagian dunia yang lain. "Mereka bekerja maraton enam hari enam malam," kata Presiden, Jumat pekan lalu, di Istana Negara.

Hasilnya adalah empat paket ekonomi yang diharapkan bisa mencegah penurunan nilai tukar rupiah dan indeks harga saham lebih dalam. Sepanjang pekan lalu, indeks sempat merosot 96 poin lebih pada sesi pertama perdagangan Kamis pekan lalu, ke level 4.122,369. Nilai tukar rupiah juga menembus angka psikologis, 11 ribu per dolar Amerika Serikat. Nilai tukar dan indeks tersebut yang terendah sejak April 2009.

Gonjang-ganjing keuangan ini bermula dari pernyataan Ben Bernanke pada Juni lalu. Gubernur The Fed ini menyatakan bank sentral Amerika mungkin akan menarik kebijakan pelonggaran moneter (quantitative easing) jika perekonomian negara itu menunjukkan tren perbaikan. Keputusan soal ini akan diambil pertengahan September. Situasi tak menentu inilah yang membuat sektor finansial dan nilai tukar banyak negara ambrol.

Di dalam negeri, kondisi perekonomian Indonesia juga tak terlalu bagus. Neraca perdagangan Indonesia terus mencatat defisit sepanjang enam bulan pertama tahun ini. Pada periode Januari-Juni, ekspor nonmigas sesungguhnya naik dibanding posisi yang sama tahun lalu. Namun lonjakan konsumsi bahan bakar minyak mengakibatkan defisit yang besar di sektor migas, sehingga secara keseluruhan neraca perdagangan Indonesia negatif.

Secara perlahan, nilai tukar rupiah tergerus akibat pasokan dolar seret. Upaya intervensi Bank Indonesia rupanya tak mempan menghambat pelemahan rupiah. Cadangan devisa pun amblas. Pada Desember 2012, cadangan devisa Indonesia masih US$ 112,8 miliar, tapi akhir Juli lalu tinggal US$ 92,7 miliar. "Meskipun turun, cadangan devisa masih aman," ujar Departemen Komunikasi Bank Indonesia Peter Jacobs. Cadangan devisa sebesar itu masih cukup untuk lima bulan impor.

Presiden Yudhoyono kemudian meminta tim ekonominya membahas kebijakan untuk menahan laju pelemahan rupiah dan penurunan indeks saham. Ia meminta para menteri mengajak asosiasi pengusaha indonesia serta kamar dagang dan industri indonesia untuk mencari solusi. "Solusinya haruslah menyentuh kedua sebab utama, baik yang global/regional maupun yang domestik," katanya.

Lahirlah kemudian empat paket ekonomi. Paket pertama merupakan langkah untuk mengurangi defisit neraca berjalan dan menjaga stabilitas rupiah serta indeks. Defisit neraca berjalan indonesia memang merisaukan karena jumlahnya terus membesar. Pada triwulan pertama, defisit itu masih us$ 5,8 miliar (2,6 persen dari produk domestik bruto). Angkanya melonjak pada triwulan kedua, yakni us$ 9,8 miliar atau 4,4 persen dari pdb.

Paket berikutnya berisi upaya menjaga pertumbuhan ekonomi melalui percepatan berbagai proyek investasi, sambil menjaga daya beli masyarakat. Yang ketiga adalah usaha memastikan stabilitas harga, terutama bahan kebutuhan pokok. Terakhir, paket ini diarahkan untuk membangun sinergi antara pemerintah dan dunia usaha agar mereka tidak gampang melakukan pemutusan hubungan kerja, antara lain dengan berbagai insentif dan kemudahan birokrasi.

Para pelaku pasar cenderung skeptis menanggapinya. "Pasar lebih menunggu aksi nyata dan implementasi yang jelas," ucap Kepala Riset PT Batavia Prosperindo Sekuritas Andy Ferdinand. Ia, misalnya, mempertanyakan bagaimana caranya pemerintah menekan impor bahan bakar minyak sebagai penyumbang utama defisit perdagangan, sementara kebutuhan tetap tinggi dan tak ada sumber energi pengganti. Hal lain yang dinilai meragukan adalah masalah klasik, seperti birokrasi.

MT, Y. Tomi Aryanto, Praga Utama, Prihandoko, M. Azhar (PDAT)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus