ROMULUS AGUNG
Lakon: F. Durrenmatt
Sutradara: Abdi Wijono
Produksi: Teater Ibukota
***
PEMENTASAN Teater Ibukota dengan naskah terjemahan yang berjudul
Arwah Binal beberapa waktu yang lalu amat tidak memuaskan.
Hasilnya jauh di bawah ketrampilan yang pernah mereka capai
waktu mementaskan naskah Aduh yang mengantarkan mereka sebagai
pemenang ke II dalam Festival Teater Remaja yang ke II. Soalnya
keluguan yang hendak mereka kejar dengan mengambil gaya santai
Panggung Srimulat, rupa-rupanya hanya berhasil menyentuh
bagian-bagian remeh dari naskah. Sementara para pemain sendiri
kelihatannya tidak siap untuk bermain secara realitas.
Grup tersebut mencoba lagi keluguannya di Teater Arena TIM 21-23
September dengan menampilkan naskah Rolus Agung karya Friedrich
Durrenmatt terjemahan Jirn Adilimas. Naskah yang memuat peluang
untuk melancarkan kritik sosial serta sindiran lucu yang pedih
ini, ditampilkan dengan sutradara dan aktor Abdi Wiyono sebagai
tokoh sentralnya. Ia memainkan tokoh Romulus -- itu Kaisar
Romawi terakhir yang dengan sukarela menyerahkan kerajaannya
pada odoaker dari Jerman, yang kemudian memberikannya uang
pensiun yang lumayan. Naskah ini seharusnya menjadi tontonan
yang kocak karena Romulus yang sadar dirinya tidak becus
dilukiskan sebagai peternak ayam yang getol dan sebagai
negarawan yang konyol. Diseling oleh bumbu masuknya peradaban
celana yang menggantikan busana "toga" yang seaka-nakan menjadi
simbol dari ketidak-praktisan. Lalu diakhiri dengan adegan yang
tragis, tatkala Romulus berjalan memeluk patungnya sendiri,
melewati barisan pengawal Jerman yang memberi hormat atas
pensiunan yang direlakannya.
Kompetisi
Tetapi dimulai dengan gaya Abdi Wiyono yang sedemikian
santainya, dengan ke"Jawa"an yang tidak ketulungan, pertunjukan
berlangsung dengan malas. Ada usaha untuk memanfaatkan
kekurangan-kekurangan teknis elementer dari pemain dengan
membuat pertunjukan sesederhana mungkin. Tetapi naskah semacam
ini dengan struktur yang cukup membosankan, di mana para pemain
bergantian masuk dalam rangka kebutuhan plot cerita, memerlukan
variasi. Ini yang tidak digali, sehingga suasana tidak sempat
terbentuk, sementara klimaks cerita tidak mampu untuk memikat.
Ditambah lagi dengan perencanaan setting yang maunya spektakuler
tapi murah, tidak berhasil memilih sudut incaran yang dimaui --
paling tidak yang disorot oleh naskah. Busanapun kelihatannya
tanggung. Sementara tidak ada yang dilakukan dengan lampu,
kecuali mati-hidup dalam pergantian adegan. Bagian terakhir ada
terasa tanjakan, tetapi tiba-tiba buyar, sebab ada pemain (malam
kedua) lepas sebelah kumisnya -- sehingga ia terlalu sibuk untuk
menyelamatkan pertunjukan daripada bermain dengan baik.
Namun demikian, dibandingkan dengan Arwah Biral, penampilan
Teater Ibukota kali ini terasa lebih serius. Mereka berusaha
untuk lebih hadir lagi dari pementasan sebelumnya, kendati
ternyata naskah yang mereka pilih tidak banyak membantu. Lebih
jelas lagi masalahnya adalah soal kesalahan pemilihan naskah.
Teater Ibukota yang sesungguhnya trampil dalam kerja gruping,
untuk sandiwara-sandiwara yang memerlukan tempo yang ketat,
sudah memaksakan diri untuk membawakan naskah-naskah yang
terlalu verbal, yang banyak memerlukan kemampuan bermain
individu. Ini seharusnya masih bisa terpecahkan, seandainya
sutradara masih memiliki kepercayaan untuk menyerap isi naskah
tersebut lalu memuntahkannya kembali dalam bentuk yang sesuai
dengan apa yang tersedia. Tetapi untuk ini di samping memang
diperlukan keberanian juga sangat besar kaitannya dengan iklim
"kompetisi". Iklim mana sudah terlepas dari dalam diri Teater
Ibukota. Hal yang sama juga terjadi pada grup Lisendra yang
pernah mementaskan Setahun di Bedahulu dan Menunggu Codot.
Rupa-rupanya iklim kompetisilah yang membuat
pementasan-pementasan mereka pernah menonjol dalam festival
dahulu.
Gendeng
Kesengajaan Abdi Wiyono untuk menjadikan Romulus seorang Romawi
Jawa, barangkali dibarengi juga dengan hasrat untuk melancarkan
sindiran. Dari segi ini maka kritik yang mau dicapainya adalah
sebuah ironi yang lembut dan sopan. Hal ini sesungguhnya bisa
merupakan ciri khas, yang bisa membuat seluruh pertunjukan
mempunyai warna yang tersendiri. Sayang sekali tidak ada
keseragaman, untuk sekedar membuktikan bahwa hal tersebut
merupakan proyek sengaja, bukan proyek "Apa Boleh Buat". Karena
separuh pemain masih tetap bermain dengan ngotot dan heroik,
separuhnya lagi memakai standar vokal yang artifisial dan
gestur yang serba klise. Saliban Sastra yang memainkan tokoh
Cesar Krupff barangkali boleh dipakai sebagai contoh pemain
yang muncul dengan sederhana tetapi konstan. Sementara Abud yang
sekaligus memegang peranan Apollyon dan Emilius, tampak
berpengalaman serta juga ada usaha untuk menghidupkan tokohnya,
tidak hanya sekedar menyelusuri urutan cerita.
Kalau Teater Remaja Jakarta dengan pementasan Semuanya Anakku
dan Nyanyian Air Hujan sudah menunjukkan bakatnya untuk
menampilkan pertunjukan yang realistis -- seharusnya Teater
Ibukota tidak melupakan di mana kekuatan grupnya sendiri. Mereka
lebih cocok dengan naskah-naskah "gendeng" yang memanfaatkan
keluguan, daripada naskah-naskah yang penuh analisa jiwa,
karakter dan telaah-telaah yang verbal. Untuk ini tentunya
mereka lebih baik menoleh ke buah tangan Beckett atau lonesco.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini