Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Romulus jawa

Pementasan romulus agung oleh teater arena di tim, nampak lebih serius dibanding arwah binal. naskah kurang sesuai dengan ketrampilan grup. mereka lebih cocok memainkan naskah-naskah "gendeng". (ter)

9 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROMULUS AGUNG Lakon: F. Durrenmatt Sutradara: Abdi Wijono Produksi: Teater Ibukota *** PEMENTASAN Teater Ibukota dengan naskah terjemahan yang berjudul Arwah Binal beberapa waktu yang lalu amat tidak memuaskan. Hasilnya jauh di bawah ketrampilan yang pernah mereka capai waktu mementaskan naskah Aduh yang mengantarkan mereka sebagai pemenang ke II dalam Festival Teater Remaja yang ke II. Soalnya keluguan yang hendak mereka kejar dengan mengambil gaya santai Panggung Srimulat, rupa-rupanya hanya berhasil menyentuh bagian-bagian remeh dari naskah. Sementara para pemain sendiri kelihatannya tidak siap untuk bermain secara realitas. Grup tersebut mencoba lagi keluguannya di Teater Arena TIM 21-23 September dengan menampilkan naskah Rolus Agung karya Friedrich Durrenmatt terjemahan Jirn Adilimas. Naskah yang memuat peluang untuk melancarkan kritik sosial serta sindiran lucu yang pedih ini, ditampilkan dengan sutradara dan aktor Abdi Wiyono sebagai tokoh sentralnya. Ia memainkan tokoh Romulus -- itu Kaisar Romawi terakhir yang dengan sukarela menyerahkan kerajaannya pada odoaker dari Jerman, yang kemudian memberikannya uang pensiun yang lumayan. Naskah ini seharusnya menjadi tontonan yang kocak karena Romulus yang sadar dirinya tidak becus dilukiskan sebagai peternak ayam yang getol dan sebagai negarawan yang konyol. Diseling oleh bumbu masuknya peradaban celana yang menggantikan busana "toga" yang seaka-nakan menjadi simbol dari ketidak-praktisan. Lalu diakhiri dengan adegan yang tragis, tatkala Romulus berjalan memeluk patungnya sendiri, melewati barisan pengawal Jerman yang memberi hormat atas pensiunan yang direlakannya. Kompetisi Tetapi dimulai dengan gaya Abdi Wiyono yang sedemikian santainya, dengan ke"Jawa"an yang tidak ketulungan, pertunjukan berlangsung dengan malas. Ada usaha untuk memanfaatkan kekurangan-kekurangan teknis elementer dari pemain dengan membuat pertunjukan sesederhana mungkin. Tetapi naskah semacam ini dengan struktur yang cukup membosankan, di mana para pemain bergantian masuk dalam rangka kebutuhan plot cerita, memerlukan variasi. Ini yang tidak digali, sehingga suasana tidak sempat terbentuk, sementara klimaks cerita tidak mampu untuk memikat. Ditambah lagi dengan perencanaan setting yang maunya spektakuler tapi murah, tidak berhasil memilih sudut incaran yang dimaui -- paling tidak yang disorot oleh naskah. Busanapun kelihatannya tanggung. Sementara tidak ada yang dilakukan dengan lampu, kecuali mati-hidup dalam pergantian adegan. Bagian terakhir ada terasa tanjakan, tetapi tiba-tiba buyar, sebab ada pemain (malam kedua) lepas sebelah kumisnya -- sehingga ia terlalu sibuk untuk menyelamatkan pertunjukan daripada bermain dengan baik. Namun demikian, dibandingkan dengan Arwah Biral, penampilan Teater Ibukota kali ini terasa lebih serius. Mereka berusaha untuk lebih hadir lagi dari pementasan sebelumnya, kendati ternyata naskah yang mereka pilih tidak banyak membantu. Lebih jelas lagi masalahnya adalah soal kesalahan pemilihan naskah. Teater Ibukota yang sesungguhnya trampil dalam kerja gruping, untuk sandiwara-sandiwara yang memerlukan tempo yang ketat, sudah memaksakan diri untuk membawakan naskah-naskah yang terlalu verbal, yang banyak memerlukan kemampuan bermain individu. Ini seharusnya masih bisa terpecahkan, seandainya sutradara masih memiliki kepercayaan untuk menyerap isi naskah tersebut lalu memuntahkannya kembali dalam bentuk yang sesuai dengan apa yang tersedia. Tetapi untuk ini di samping memang diperlukan keberanian juga sangat besar kaitannya dengan iklim "kompetisi". Iklim mana sudah terlepas dari dalam diri Teater Ibukota. Hal yang sama juga terjadi pada grup Lisendra yang pernah mementaskan Setahun di Bedahulu dan Menunggu Codot. Rupa-rupanya iklim kompetisilah yang membuat pementasan-pementasan mereka pernah menonjol dalam festival dahulu. Gendeng Kesengajaan Abdi Wiyono untuk menjadikan Romulus seorang Romawi Jawa, barangkali dibarengi juga dengan hasrat untuk melancarkan sindiran. Dari segi ini maka kritik yang mau dicapainya adalah sebuah ironi yang lembut dan sopan. Hal ini sesungguhnya bisa merupakan ciri khas, yang bisa membuat seluruh pertunjukan mempunyai warna yang tersendiri. Sayang sekali tidak ada keseragaman, untuk sekedar membuktikan bahwa hal tersebut merupakan proyek sengaja, bukan proyek "Apa Boleh Buat". Karena separuh pemain masih tetap bermain dengan ngotot dan heroik, separuhnya lagi memakai standar vokal yang artifisial dan gestur yang serba klise. Saliban Sastra yang memainkan tokoh Cesar Krupff barangkali boleh dipakai sebagai contoh pemain yang muncul dengan sederhana tetapi konstan. Sementara Abud yang sekaligus memegang peranan Apollyon dan Emilius, tampak berpengalaman serta juga ada usaha untuk menghidupkan tokohnya, tidak hanya sekedar menyelusuri urutan cerita. Kalau Teater Remaja Jakarta dengan pementasan Semuanya Anakku dan Nyanyian Air Hujan sudah menunjukkan bakatnya untuk menampilkan pertunjukan yang realistis -- seharusnya Teater Ibukota tidak melupakan di mana kekuatan grupnya sendiri. Mereka lebih cocok dengan naskah-naskah "gendeng" yang memanfaatkan keluguan, daripada naskah-naskah yang penuh analisa jiwa, karakter dan telaah-telaah yang verbal. Untuk ini tentunya mereka lebih baik menoleh ke buah tangan Beckett atau lonesco.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus