Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENONG gamelan ditabuh. Seorang perempuan muda berbalut kain berdiri agak membungkuk ke arah pemain musik. Sambil diiringi pula oleh suara gendang dan gong, penari ronggeng gunung bernama Pijar itu kemudian menembangkan kidung Kudup Turi yang singkat. Menjelang lagu selanjutnya hingga tuntas, tubuhnya bergerak menari sambil membentangkan selendang merah yang melekat di leher belakang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosok penari yang diperankan oleh aktor dan model Ariel Tatum itu kemudian berkisah secara monolog. Baginya, menjadi penari bukan hasil pilihan atau ditunjuk seseorang, melainkan jalan keluar dari lubang hitam kemiskinan. “Padi yang akan dikirim ke lumbung oleh nyanyianku, dulu hanya mimpi bagiku,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, dari kecil hingga remaja, ia terbiasa makan apa saja demi mengisi perut. Walau ikut menumbuk padi milik orang untuk menyambung hidup, Pijar lebih sering makan singkong dan ubi ketimbang nasi.
Kondisinya diperburuk oleh perceraian orang tuanya. Hingga suatu hari, seorang perempuan tua menyuruhnya menjadi penari ronggeng. Dia lalu belajar menyanyi, menari, juga berpuasa, hingga dikenal sebagai Nyi Pijar, penari ronggeng gunung yang tampil dari kampung ke kampung di dataran tinggi. Pamornya melesat dibanding penari lain hingga membuat para lelaki terpincut.
Walau begitu, Pijar lebih bertekad menjadi penari ronggeng gunung sejati daripada memikirkan untuk berkeluarga. Dia sanggup mengembara bertahun-tahun mencari guru demi guru untuk mendapat pengetahuan baru tentang kesenian tradisional tersebut.
“Jauh sekalipun aku tempuh agar tubuh perempuanku yang katanya rapuh itu menjadi tangguh dan ampuh. Tentu saja ini jalan nekat bagi seorang perempuan,” tuturnya.
Lakon teater berjudul Sang Kembang Bale garapan Titimangsa itu berkisah tentang perjalanan hidup penari ronggeng gunung. Cerita utamanya yang berbalut fiksi juga berasal dari penuturan dua penari ronggeng gunung sepuh yang masih hidup, yaitu Bi Pejoh dan Bi Raspi. Pementasannya selama satu jam lebih di ruang terbuka NuArt Sculpture Park, Bandung, pada 10 dan 11 Agustus 2024, menyuguhkan kidung, tari, dan drama.
Menurut produser Pradetya Novitri alias Tya, pertunjukan tersebut untuk mengangkat kembali kesenian rakyat yang berkembang di Priangan Timur, khususnya Ciamis dan Pangandaran. Alasan utamanya karena tarian itu kini hampir punah sehingga perlu dikonservasi.
Tim produksi mendatangi lokasi sekaligus menemui para pelaku seninya yang telah berusia 70-an tahun untuk menggali soal ronggeng gunung. “Yang menarik bukan mitos-mitosnya, melainkan perjalanan hidup senimannya,” kata Tya, Senin, 12 Agustus 2024.
Dia sendiri mulai berkenalan dengan kesenian ronggeng gunung sejak 2010 ketika pulang ke Ciamis. Kemudian pada 2013 pemerintah memasukkannya dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda.
Dari cerita yang berkembang di masyarakat, ronggeng gunung berhubungan dengan kisah Dewi Siti Semboja. Ia seorang permaisuri kerajaan yang harus pergi menjauh dari buruan perompak. Memakai nama samaran Rengganis, suatu saat ia ikut pertunjukan ronggeng sebagai penari berkerudung sarung untuk menyerang perompak yang membunuh suaminya, Raden Anggalarang.
Tya mengatakan ada beberapa mitos yang berkembang dan riwayat yang kurang valid. Versi lain ronggeng gunung muncul pada zaman kerajaan Prabu Kian Santang. Nyanyian ronggengnya berasal dari ratapan ibu-ibu yang anaknya meninggal setelah dikhitan.
Hingga kini belum diketahui jelas sejak kapan kesenian itu lahir. Namun biasanya kelompok kesenian yang terdiri atas seorang pesinden sekaligus penari bersama pemain gendang, gong, dan gamelan itu tampil di upacara adat menjelang tanam hingga panen padi, serta acara hajatan warga lain.
Suara pesinden pada bagian lagu ada yang sengaja dilantangkan sebagai penanda kehadiran mereka di suatu tempat sekaligus mengundang warga untuk datang menonton.
Tidak seperti peronggeng di daerah lain, menurut Tya, penari ronggeng gunung lebih dominan menyanyi seperti pesinden. Kadang dia turun menari sebentar di tengah penari lelaki yang berkerudung sarung atau warga yang ikut ngibing.
Jumlah lagu yang disiapkan bisa mencapai belasan hingga sekitar 20 tembang. ”Karena itu gerakan tarinya tampak sederhana,” ujarnya.
Ariel Tatum, yang berlatih selama lima pekan untuk menghafal naskah, belajar bahasa Sunda, dan tariannya, mengaku tantangan beratnya adalah ketika bernyanyi. Dia berlatih tiga hari setiap pekan, yang per harinya berlangsung enam-delapan jam.
“Kesulitannya adalah semua tembang yang dinyanyikan, terutama dengan cengkok Sunda, dan aku baru mempelajarinya semua,” katanya seusai pementasan hari pertama, Jumat malam, 9 Agustus 2024.
Lebih dari sekadar penghibur, penari ronggeng gunung juga ada yang disegani masyarakat hingga dianggap sebagai dukun. Dari kursi kayu panjang di teras rumahnya, penari ronggeng memantau situasi lingkungan sekitar. “Karena itu peronggeng juga disebut Kembang Bale,” tutur Tya. "Masalah keseharian yang terjadi, seperti pertengkaran suami-istri, menjadi bahan untuk syair kidungnya."
Kini, selain regenerasinya tersendat, ronggeng gunung mengalami pengembangan, yaitu ronggeng amen pada 1970-an. Sama-sama berada di daerah Ciamis dan Pangandaran, ronggeng baru itu terpengaruh oleh jaipongan yang gerak dan musiknya lebih rancak hingga digemari masyarakat sampai saat ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo