Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia berkebaya hitam kembang-kembang. Ia bersanggul dan rambutnya sedikit beruban. Ia berkata:
"Saya belajar bahwa yang namanya mencintai dan menyayangi seseÂorang adalah menerima rasa sakit itu."
Entah kenapa Happy Salma sanggup menghanyutkan penonton selama 93 menit saat menjelma menjadi Inggit Garnasih di Gedung Kesenian Dewi Asri, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, 22 Desember lalu.
Aktris 31 tahun itu berkisah dari ruang tamu yang terisi sepasang kursi kayu dan sebuah meja bundar, dengan foto Sukarno muda dan Inggit di atas bufet. Empat pilar simetris di rumah tersebut berbungkus kain putih. Ada ranjang berkelambu di kamar tidur. Di awal, "Inggit" bercerita, Sukarno akan menikahi seorang wanita muda yang mereka tampung di rumah.
"Bolehkah saya menikahi Fatma atas izinmu, Inggit?" kata Happy menirukan suara Sukarno di rumah pembuangannya di Bengkulu.
Selanjutnya, mengalir kisah hidup Inggit selama periode 1922-1944 dengan alur mundur. Dimulai dengan perjumpaan Inggit, 33 tahun, dan Sukarno, 20 tahun, pada 1921 di Bandung. Sukarno, yang ketika itu mahasiswa baru Technische Hoogeschool te Bandoeng, datang bersama istrinya, Siti Oetari. Mereka kemudian kos di rumah pasangan Inggit dan H Sanusi, seorang saudagar kaya.
Api cinta berkobar di dada Inggit dan Sukarno. Keduanya lantas menikah setelah menceraikan pasangan masing-masing. Happy, yang melakonkan Inggit, berkisah bagaimana "dirinya" berjualan bedak dan sabun untuk makan sehari-hari. Ketika Sukarno ditangkap dan dijebloskan ke penjara Sukamiskin, lalu Banceuy, ia tiap hari datang walau tak diizinkan bersua oleh sipir. Untuk menghemat ongkos, ia pun rela berjalan kaki hingga 10 kilometer.
Ia juga nekat menyelundupkan buku-buku politik di balik bajunya. Bahan bacaan itu dibutuhkan Sukarno untuk menyusun pleidoi berjudul Indonesia Menggugat yang dahsyat saat disidangkan di gedung Landraad, Bandung, pada 1930.
"Hebatnya suami saya, dia membuat semuanya menjadi terbalik. Bukan dia yang digugat, tapi dia yang menggugat pemerintah Hindia Belanda."
Sutradara Wawan Sofwan mengatakan penokohan Inggit berdasarkan penafsiran ulang dari buku Kuantar ke Gerbang karangan Ramadhan K.H., foto-foto Inggit, dan kisah dari keluarga keturunan anak angkat Inggit, yaitu Ratna Djuami alias Omi, yang kini berusia 89 tahun. Penulis naskah Ahda Imran mengatakan sempat kelimpungan karena biografi Inggit ternyata langka.
Tengoklah adegan saat Inggit merelakan Sukarno melirik Fatmawati.
Perpisahan Inggit itu dilakukan Happy Salma dengan cara membuka gulungan rambutnya. "Selesai tugas saya menjadi seorang istri. Sebagai seorang perempuan, saya sudah mengambil hak saya untuk berkata tidak dari seorang laki-laki yang bernama Sukarno. Saya akan kembali ke Bandung, membawa seluruh harga diri saya."
Beberapa penonton perempuan terlihat menahan tangis di akhir pertunjukan.
Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo