Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Wijaya*
Para pengamat politik sudah lama mengatakan bahwa di dalam bahasa ada politik kekuasaan. Cara berbahasa yang menunjukkan tinggi-rendah derajat pengguna bahasa adalah penerapan dari penetrasi kekuasaan. Cara tersebut masih bisa dibuktikan sampai sekarang.
Seorang pejabat dianggap layak dihormati dengan bahasa halus oleh bawahannya. Kendati pejabat bersangkutan berasal dari kasta yang lebih rendah (seperti dikenal di Bali), jalan yang paling mudah bagi bawahan untuk menjilat adalah memakai bahasa halus. Pejabat yang berkasta lebih rendah kemudian menyelesaikan persoalan itu dengan bahasa Indonesia yang tak mengenal bahasa halus dan kasar.
Namun dampak tak langsung dari peta yang dibuat oleh kelayakan bahasa itu adalah jalan lebih licin buat kasta tinggi untuk menduduki kursi. Sebab, bahasanya sudah cocok. Persoalan ini menyebabkan usaha pemburuan "trah" untuk mengesahkan peringkat bahasa yang memberi kelayakan disapa dengan bahasa halus menjadi bagian dari komoditas kekuasaan.
Walhasil, yang kita temukan dalam gejala ini adalah bahwa bahasa bukan hanya alat untuk berkomunikasi, tapi juga pemetaan sosial strata masyarakat. Lebih jauh ke dalam, bahasa juga mencerminkan watak dan kepribadian bangsa yang kini diuber-uber oleh para pejabat dengan nama "karakter bangsa".
Benarkah di dalam bahasa ada simpanan rahasia tentang karakter bangsa? Hal ini belum pernah dibahas secara terperinci karena bahasa hanya dipelajari sebagai alat komunikasi. Pelajaran bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah lebih keranjingan pada tata bahasa agar pelajar lolos ujian nasional, sehingga ujung tertingginya adalah cita-cita mendidik manusia Indonesia berbahasa Indonesia yang "baik dan benar".
Sementara itu, kita tahu, bahasa semakin bergegas lompatannya. Tidak membaca koran sehari saja bisa ketinggalan satu istilah baru. Setiap saat bisa lahir kata atau idiom yang tepat untuk melukiskan "fenomena" yang juga baru. Di lapangan, kita akan capek mendengar kalau ada yang ngotot berbicara dengan bahasa "baik dan benar". Bahasa "gaul" yang cepat dengan idiom-idiom "liar" telah hidup menjadi perangkat berekspresi yang efektif. Fanatisme terhadap bahasa yang "baik dan benar" sering malah menyesatkan. Apalagi yang disebut "baik dan benar" itu sering kali "lamban", "kuno". Bahkan bisa terbalik pengertiannya, seperti kata "bergeming" yang kini membikin pusing.
Dalam praktek pergaulan, kamus tidak bisa lagi menjadi buku suci. Sebuah kata memberontak dan mengubah artinya dari kesepakatan, tanpa terlebih dulu meminta izin dari pembuat kamus. Sastra menjadi pelopor gerakan ini, yang malangnya tidak pernah dipelajari khusus. Sastra hanya alat bantu untuk mendongengkan tata bahasa.
Kita jadi terpaksa harus berpikir, mengapa orang berhenti menyebut dirinya dengan kata "saya" dan memilih "aku" tak peduli siapa dia dan dengan siapa ia bicara. Anak kecil bahkan menggantikannya dengan "gue" kendati berbicara dengan orang tuanya. Begitu juga para selebritas di layar kaca, tak peduli yang mendengarnya adalah pemirsa terhormat. Juga para pembantu rumah tangga lebih afdal membahasakan dirinya aku ketimbang saya, walau dengan tamu yang tak dikenal—apalagi majikannya sendiri yang sudah lama menyerah menerima sebutan itu sebagai semacam rasa akrab.
Kenapa kata "kita" sering dikacaukan dengan kata "kami". Padahal yang berbicara hanya satu orang. Yang bersangkutan juga tahu betul bahwa kita dan kami itu berbeda, tapi dia tetap memakainya dengan satu tujuan khusus, yakni menolak konfrontasi satu lawan satu. Ia memaksa lawan bicaranya untuk memperlakukan dia sebagai anggota kelompok—sekaligus memaksa kelompoknya menerima persoalannya bukan persoalan pribadi, melainkan masalah bersama.
Agaknya gejala dalam bahasa Indonesia itu bukan kesalahkaprahan, melainkan usaha untuk mengingatkan kepada kebersamaan. Bahwa di negeri ini tidak ada yang benar-benar tindakan individu. Sebab, manusia individu sudah disedot oleh kelompoknya di dalam masyarakat. Apakah ini pancaran dari jiwa "gotong-royong" yang merupakan perasan Pancasila seperti kata Bung Karno? Atau kesalahan penafsiran tentang kebersamaan?
Bahasa Indonesia yang "baik dan benar" tidak semestinya membuat pergaulan kaku. Barangkali itu akan dimungkinkan kalau pelajaran bahasa Indonesia tidak hanya "mabuk" pada soal tata bahasa. Namun bagaimana menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat untuk berekspresi (pelajaran teater). Berekspresi menurut cara orang Indonesia yang suka gotong-royong dan kebersamaan. Dan bagaimana menggunakan bahasa Indonesia untuk mengungkapkan pikiran dalam tulisan (pelajaran mengarang).
*) Sastrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo