Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bau asap kawat timah (tenol) tercium dari kamar yang mirip laboratorium mini di sebuah rumah di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sumbernya dari papan sirkuit cetak elektronik dengan berbagai komponen yang tidak lebih besar dari seekor semut. Dengan keringat di dahi, malam itu Adiatmo Rahardi menyolder papan tersebut. Dia sedang memperbaiki sensor ultrasonik robot beroda.
Adi, 23 tahun, adalah roboticist, artinya perajin robot. Dia adalah pendiri Grup Robot Indonesia (gruprobot.com), yang anggotanya lebih dari 2.500. Grup itu baru diluncurkan pada 24 Desember lalu di Bandung. Tidak semua anggotanya memiliki disiplin ilmu di bidang robotika atau elektronika. Adi, misalnya, adalah mahasiswa Jurusan Sistem Komputer Universitas Multimedia Nusantara.
Menurut dia, penggemar robot mulai bermunculan di berbagai daerah di seluruh Tanah Air. Usia mereka beragam. Demikian juga latar belakang pendidikannya, mulai sarjana elektronika hingga siswa sekolah dasar. Hal tersebut dapat dilihat dengan menjamurnya komunitas penggemar dan sekolah robot, seperti Robotics Education Centre, ROBOKidz, dan World Robotic Explorer.
Keranjingan itu juga melanda Jayanto, 15 tahun. Mulai kelas VI sekolah dasar, dia memang sudah mengenal robokit (robot yang dirakit dengan manual). Ia kemudian berguru kepada Yohanes Kurnia, perintis S.A.R.I Robot Creator.
Kini hampir setiap hari siswa Sekolah Menengah Atas Harapan Bangsa, Tangerang, ini bergelut dengan sketsa robot di bengkel produksi kaki mesin diesel milik pamannya di Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. "Merakit robot sudah lebih dari hobi," ujar Jayanto.
Ahlan Zulfakhri juga punya keranjingan yang sama. Ia memilih bergaul dengan robot ketimbang pacar. "Robot makin rewel makin meningkatkan kemampuan. Kalau pacar rewel? Capek, deh," kata dia, lalu tertawa. Berkat kegilaannya ini, Ahlan meraih penghargaan desain terbaik keenam di perlombaan Roboboat International AUVSI (Association for Unmanneda Vehicle System International) 2011 di Virginia, Amerika Serikat.
Menurut Wimmy Hartawan, roboticist dari Universitas Gadjah Mada, asyiknya merakit robot seperti mengalami orgasme berulang kali. Kepuasan menghidupkan benda mati sesuai dengan imajinasi dinilainya "sesuatu banget". Mungkin seperti Geppetto yang menghidupkan Pinokio. "Saya menyebutnya roboholic," kata sarjana elektronika dan instrumentasi itu. Wimmy pernah menghabiskan Rp 30 juta untuk merakit robot humanoid (wujudnya seperti manusia).
Orgasme berulang itulah yang membuat Ahlan seperti orang gila kalau sudah bermain dengan robot. Ia kerap tersenyum sendiri saat robot tidak sesuai dengan aplikasinya. Jika satu uji coba menemui kebuntuan, Ahlan mencari jalan lain. Demikian berulang kali hingga berhasil. Untuk mencari solusi, pria 22 tahun kelahiran Damaskus, Suriah, ini rajin memantau diskusi komunitas robot di ruang maya.
Dunia maya memang menjadi "guru" pertama mereka. Dari sanalah mereka mendapatkan ilmu dasar cara merakit robot. Kemampuan itu biasanya semakin diasah dengan bergabung dalam komunitas di Internet. Di komunitas itu mereka berbagi ilmu dan informasi soal bagaimana mendapatkan pernakpernik robot. Maklum, komponen robot yang dijual di toko barang elektronik di Glodok, Jakarta Barat, amat terbatas.
Mereka biasanya membeli lewat Internet. Ada banyak situs yang menyediakannya, di antaranya robotrus.com. "Saya biasa membeli motor untuk robot seharga US$ 15 lewat situs itu," ujar Jayanto. Situs lain yang direkomendasikan Jayanto adalah electronicrobot.co.uk dan leaflab.com. Sementara itu, situs Indonesia yang aktif menjual komponen robot adalah jogjarobotika.com dan tokorobot.com. Di situssitus itu tersedia berbagai suku cadang, seperti prosesor, sensor, gearbox, dan baterai khusus robot.
Bahkan, jika ingin lebih murah, para roboticist kreatif bisa memanfaatkan barang bekas. Hampir semua robot yang didesain Jayanto, misalnya, dikonstruksi dari bahan bekas. Misalnya pelat nomor, tetikus, loyang kue, atau mobilmobilan yang sudah tak terpakai. "Ambil motornya dari mobilmobilan atau ambil bodi tetikus," ujar Jayanto, yang memakai uang jajannya sendiri untuk hobinya ini. Total, untuk merakit robot dari nol, Jayanto cuma perlu Rp 200 ribu.
Membuat robot tidak hanya membangun tubuhnya. Seperti manusia, robot juga perlu otak. Para roboticist harus membuat program komputer untuk pergerakan yang diinginkan. Namun terkadang antara "otak" dan tubuh tidak sinkron. Di sinilah letak keasyikan lainnya. Para penggemar rela menghabiskan waktu untuk mengoprek algoritma robot sembari mencocokkan maket dengan komputer.
Keasyikan itu memang tidak ada habisnya. Itulah mengapa Adi optimistis dunia robot di Indonesia semakin maju di masa mendatang. Apalagi banyak pesohor yang bergabung menjadi anggota di Grup Robot Indonesia, seperti fisikawan Yohanes Surya dan pengusaha Anindya Bakrie.
Sayangnya, gairah membangun robot ini dimanfaatkan oleh sejumlah pihak. Wimmy mengkritik hilangnya kejujuran di kejuaraan robot berskala junior di Indonesia. Pemenangnya, kata dia, biasanya peserta yang memakai produk distributor penyelenggara kejuaraan. "Ini monopoli. Padahal robot buatan anak negeri banyak yang bagus, tapi kalah," ujar pria kelahiran Indramayu 29 tahun silam tersebut.
Karena itu, Adi dan temantemannya berniat menggelar kejuaraan skala nasional dan internasional yang sehat. Gebrakan yang sudah dilakukannya adalah menggelar Seminar Nasional UAV (Unmanned Aerial Vehicle) di Institut Teknologi Telkom, Bandung, akhir pekan lalu. Peserta mendapat materi teknologi UAV, yang dikenal sebagai sistem pesawat tak berawak, tanpa dipungut bayaran. "Itu bentuk idealisme kami. Yang penting berbagi ilmu," ujar Adi.
Heru Triyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo