Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tentang Memahami 'Yang Lain'

Ketika sutradara lain membuat video instruksional dengan cara didaktik, bahkan mungkin propagandis, Garin justru mengungkapkan pedalaman batin.

2 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata Tertutup
Produksi: SET dan Maarif Foundation
Sutradara: Garin Nugroho
Pemain: Jajang C. Noer, Eka Nusa Pertiwi, M. Dinu Imansyah

Para tokoh dalam film Mata Tertutup, karya terbaru Garin Nugroho, adalah orang yang menutup mata ketika mengambil keputusan terbesar dalam hidup mereka. Bukan sekadar mengabaikan kemungkinan pilihan lain, para tokoh dalam film ini sengaja menghindar dari melihat kenyataan lain itu. Cuma ada satu kenyataan; karena itulah mereka yakin akan langkah yang mereka ambil.

Mereka adalah para pengikut Negara Islam Indonesia dan seorang calon pengebom bunuh diri. Mungkin keberadaan mereka mengejutkan kita sebagai bangsa: ternyata ada manusia Indonesia yang mengambil langkah sedemikian sulit dipahami oleh rata-rata manusia Indonesia.

Maka, dalam hal ini, film Mata Tertutup jadi istimewa. Film ini tidak menjadikan tokoh-tokoh itu sebagai orang lain, melainkan sebagai anggota keluarga yang hilang, sebagai diri kita yang tak menemukan tempat mengaktualisasi diri, dan sebagai anak yang terdesak kemiskinan dan rasa cinta mendalam kepada ibunya.

Film ini mengambil tiga kisah. Pertama tentang Ibu Asimah (Jajang C. Noer) yang kehilangan anaknya yang konon bergabung dengan Negara Islam Indonesia atau NII. Kedua tentang Rima (Eka Nusa Pertiwi), seorang mahasiswi yang mencari aktualisasi diri sebagai anggota NII. Ketiga tentang Jabir (M. Dinu Imansyah), murid pesantren yang terdesak kemiskinan dan mengharap syafaat—pengampunan di hari kiamat—bagi ibunya sehingga rela menjadi pengebom bunuh diri.

Kisah ketiga orang ini disajikan selapis demi selapis, dengan tempo yang tak terlalu cepat, mirip film Garin sebelumnya, Rindu Kami pada-Mu (2005). Bedanya, pada film ini, perubahan karakter ketiga orang itu lebih terasa ketimbang Rindu Kami, yang lebih mirip mosaik. Dapat saya simpulkan bahwa film ini bisa jadi merupakan film Garin paling mudah diikuti, mengingat perubahan karakter tokoh merupakan model kekisahan yang paling kerap ditemukan dalam film Hollywood yang lazimnya kita tonton.

Namun ada hal penting dalam cara Garin bercerita. Ia tak menulis skenario secara terperinci, dan para tokoh dalam film ini berperan tak jauh dari karakter asal mereka. Mereka diberi garis besar jalan cerita, dan dialog berkembang dengan sendirinya, mirip dengan gaya penyutradaraan teater rakyat, misalnya ketoprak. Akibatnya, plot berjalan amat alamiah; mirip dengan gaya bercerita film dokumenter.

Sekalipun demikian, Garin tetap sadar akan kekuatan sinema. Akting semua pemain berjalan amat baik. Bahkan ia kembali menemukan ”bakat alam” Kukuh Riyadi, yang menyanyikan lagu-lagu pop Indonesia dalam bahasa Banyumasan. Ini hiburan yang istimewa. Garin juga amat pandai membangun konstruksi adegan. Perhatikan adegan hening yang dialami Rima sebelum ia tiba-tiba mendengar sayup-sayup lirik lagu: ”…tanah airku, yang tidak kulupakan. Kau terkenang sepanjang hidupku….” Bagi saya, adegan ini amat efektif dalam membuat simpulan seluruh film: ketidakmampuan memahami sebagian dari diri ”kita” sendiri seakan berasal dari kealpaan dalam menghargai tanah air kita sendiri.

Sesampai di pengujung film, saya tertegun melihat beberapa tokoh masyarakat muncul dan berbicara kepada penonton dalam bentuk wawancara. Film ini memang didanai oleh sebuah lembaga nirlaba, Maarif Institute, buat dibawa ke sekolah-sekolah guna membantu pengajaran untuk meningkatkan pemahaman manusia Indonesia dalam kehidupan bersama.

Ketika sutradara lain membuat video instruksional dengan cara didaktik, bahkan mungkin propagandis, Garin justru mengungkapkan pedalaman batin: mencoba memahami aspirasi, menggambarkan kecemasan dan rasa cinta, yang juga kita miliki. Maka film ini tak berhenti pada pengkategorian orang lain atau penghakiman terhadap yang tak kita kenal, tapi berlanjut pada pemahaman orang-orang yang berada di tempat yang tak terbayangkan sama sekali. Maka, jika orang-orang itu telah mengambil keputusan penting dalam hidup mereka dengan mata tertutup, kita tak bisa ikut menutup mata terhadap keberadaan mereka sebagai bagian dari kita.

Eric Sasono, editor dan kritikus film pada www.rumahfilm.org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus