Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARIS, di pengujung musim panas. Kawasan mentereng di Avenue Charles de Gaulle seperti baru saja terjaga dari tidur malam ketika seorang perempuan setengah baya bergegas membukakan pintu apartemen. ”Tuan Salim ada di lantai enam,” begitu kira-kira dia berujar seraya menunjuk ke atas. Sebuah lift tua yang hanya bisa dinaiki dua orang bertubuh langsing bergerak ke atas, dengan suara gemeretak seperti mesin giling pabrik.
Di lantai pemuncak apartemen, semua pintu kamar bercat warna abu-abu itu tertutup. Di manakah Salim, maestro pelukis berusia 100 tahun yang lebih kondang di Eropa ketimbang di negerinya sendiri itu? Tak ada jawaban di setiap pintu yang kuketuk. Dari pintu terakhir di sudut ruangan, seorang perempuan dengan rambut penuh uban melambai-lambaikan tangannya yang keriput, lalu menyapa dalam bahasa Prancis yang tak kumengerti.
Lamat-lamat terdengar suara lelaki. ”Silakan masuk,” suaranya parau. Seorang pria duduk tepekur di sebuah kursi kusam, dengan tongkat rotan berkepala melengkung. Hanya selangkah di depannya, di atas dingklik plastik, tergeletak pesawat telepon dengan kertas putih berjudul ”The Other Salim” karya Francois Raillon, Indonesianis asal Prancis. ”Silakan duduk,” katanya seraya memperkenalkan Héléna, yang berumur 90 tahun.
Héléna? Inikah perempuan berambut perak yang begitu ia kagumi? Seorang bekas juru rawat di sebuah rumah sakit kelas atas Prancis yang setia mendampinginya selama 60 tahun, lalu mengilhami salah satu lukisannya, Héléna dan Emas? Ia menyiapkan keripik kentang dan kacang. Ia bersorai ketika kubawakan cokelat dari kota tua Trier, Jerman. Salim ikut mengunyah, ia tersenyum melihat Héléna bak bocah mendapat mainan baru.
Salim menyimak keriangan Héléna sambil bicara perlahan dengan muka tertunduk dan punggung setengah membungkuk. Bicaranya mulai tak jelas. Ia berjalan tertatih-tatih di antara kamar tidur dan ruangan tempat kami bicara yang cuma berjarak empat langkah. Ketika hendak dipotret, ia minta waktu untuk meluruskan rambut peraknya, menaruh peci hitam, dan membenahi blus kelabu serta celana hitamnya yang ditutupi selimut hijau muda. Ketika dipotret, ia minta berpose aneka gaya, sendiri ataupun bersama Héléna, sambil sesekali menari-nari, mendendangkan lagu patriotisme menirukan suara trompet... tetetetetetettt.
Di usia yang sangat uzur ini, Salim memang terganggu saluran kencingnya. Ia terus membawa urine bag. Kedua kakinya sedikit bengkak. Penglihatannya mulai kabur. Tapi ia masih suka makan apa saja. Sesekali terdengar bunyi aliran air seni dalam kantong di balik celananya itu. Waktu Tempo ke sana, pada pertengahan September lalu, dua sejoli ini tak ada yang menemani. Kamarnya berantakan, botol, kardus, air dalam kemasan tampak berserakan di bawah lantai berlapis kayu. ”Saya sudah berkali-kali berupaya membersihkan, tapi Pak Salim menolak. Dia bilang, emangnya ini tak sehat? Buktinya aku bisa hidup 100 tahun!” ujar Ali Jullah Hasan Yusuf, 57 tahun, anak angkatnya.
Salim dan Héléna menghuni apartemen yang menjadi salah satu sisi akses lokasi bersejarah di Paris dari Louvre, lalu lewat Champs-Elysées, sampai ke La Defense. Ia bertetangga dengan flat yang dihuni ibunda Presiden Prancis Nicolas Sarkozy—dan Sarkozy kecil pernah tinggal di situ. Tapi jangan bayangkan apartemen yang dihuni Salim dengan kemewahan itu. Flatnya sesak, pengap, berukuran 30 meter persegi, ada kamar mandi, toilet, sebuah kamar tidur, ruang tamu seluas 6 meter persegi, dan dapur. Tapi di sinilah Sjahrir, Soebandrio, dan para tokoh Republik pernah mampir.
SALIM lahir di dekat Medan, Sumatera Utara, 3 September 1908. Ayahnya bernama Salaochmin, asli Tapanuli, tapi berdarah Parsi, dan ibundanya, Nuraini, dari suku Batak Mandailing. ”Saat umur tiga tahun aku sudah bisa membaca atlas. Ayah wafat ketika aku masih sangat muda,” katanya. Ia lalu diajak orang tua angkatnya berangkat ke Amsterdam dan Hamburg pada usia sebelas tahun. Ia belajar di Gymnasium di Belanda.
Tapi Salim lebih tertarik untuk melukis. Ia pun tinggal sendirian di pusaran seni rupa dunia, di Paris, pada 1928, ketika berumur 20 tahun. Dengan uang cekak dan tanpa kenalan, ia menyewa kamar di Vincennes, timur Paris, dan belajar di l’Academie de la Grande Chaumiere. Nasib baik baginya ketika diterima belajar di sanggar lukis Fernand Leger (1881-1955), seorang maestro kubisme, seraya bekerja sebagai tukang bersih-bersih sanggar. Nama-nama besar, seperti Pablo Picasso (Spanyol), Diego Rivera (Meksiko), dan Marc Chaggal (Rusia), waktu itu sedang ”bergemuruh”.
Salim lalu mengenang kisah silamnya di Batavia, ketika masih bergairah di masa muda. ”Dulu saban Sabtu, di Gang Kenari, saya suka berkumpul dengan Sjahrir dan Hatta,” begitu kenangnya. ”Mereka berdua cerdas, intelek, tapi masyarakat tak tahu jalan pikiran mereka.” Mereka sama-sama aktif di Partai Nasional Indonesia Pendidikan. Ia puji antusiasme Soekarno, yang ”bicaranya bagus dan berbakat menyentuh hati rakyat, tapi tidak (bagus) ketika menjadi presiden”. Ketika Hatta dan Sjahrir diasingkan di Boven Digul, Salim sudah melanglang ke Eropa.
Kubiarkan saja dia menuturkan nostalgia itu. Seraya menyimak kalimat demi kalimatnya yang meluncur pelan, perlahan kusapu suasana di kamarnya. Di dinding kamar tamunya terpajang dua lukisan tentang Aceh, yang dilukis di atas kanvas dengan sapuan kuas dengan dominasi warna hitam dan merah—tanda kemarahan, kepedihan, dan nestapa. ”Aku sedih, tentara bikin rusak Aceh,” katanya. Lukisan itu menggambarkan pergolakan Aceh, dengan bendera Merah-Putih yang bersimbah darah. Penghormatan kepada Rakyat Aceh dilukis Salim pada 2003. Ada Bangsa Aceh yang Kepahlawanan (1873-1903), dengan sisipan kaligrafi Arab Melayu. Di insert, ada figur pahlawan Aceh yang tak jelas wajahnya.
Di ruang tamunya yang sesak oleh buku-buku, botol minuman beralkohol, air dalam kemasan, radio tua, dan dua pot kembang, terpampang pula lukisan yang diambil dari foto kenangan bersama teman-teman lama. Di rak bukunya berjejer tiga jilid buku Tan Malaka karya Harry Poeze, katalog dan repro lukisan, sejumlah buku seni pelukis top yang dikaguminya, seperti Monet, Picasso, Van Gogh, Rembrandt, serta si jenius Leonardo da Vinci. Di kamar tidurnya yang persis di dekat pintu masuk, ada sketsa lukisan yang menempel di dinding, sebuah poster Salim muda, dan poster berisi sederet ucapan selamat ulang tahun. Kabarnya, ia khusus dikunjungi Wakil Wali Kota Paris ketika berulang tahun seabad.
Soal lukisannya, ia mengaku tak peduli berapa banyak terjual. ”Ada pembeli tetap lukisan saya. Tapi saya tak pernah bertanya dan menyentuh uang itu, karena saya ingin independen, bisa berbicara apa adanya. Ini adalah hal yang paling penting.” Tercatat Toeti Heraty Noerhadi, Pia Alisjahbana, dan sedikit orang berduit di Ibu Kota yang menjadi kolektor lukisan Salim. ”Mereka akan membiayai sakit saya dan saya juga butuh uang untuk membayar pajak.”
Toh, Salim tak peduli pada nilai lukisannya. Padahal, bagi Ali Jullah, Salim cukup dikenal di kalangan seni di Paris, terutama pada era 1940 hingga 1970. Salim pernah memperoleh penghargaan International Festival de Paris Peinture Sud dan National Prix dari International Festival de la Peinture a Cagnes-sur-Mer. Ia banyak berbilang melakukan pameran tunggal di Paris, Amsterdam, Brussel, hingga Bandung dan Jakarta.
Salim lebih tertarik bicara soal politik Tanah Air pada masa kini. Ia rupanya mengikuti perkembangan kepemimpinan dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati (”Dulu waktu kecil, dia pernah duduk di rumah ini,” katanya), hingga Presiden Yudhoyono. Dari mana Salim tahu situasi mutakhir? Untuk sepak bola, jangan kaget, dia tak pernah melewatkan saban sore dan malam memonitor dari layar televisi. ”Nama-nama pemain top dunia dia hafal,” kata Ali Jullah. Untuk berita, Héléna kerap membacakan berita dari Tanah Air dari koran setempat.
Namun, di antara semua kesibukan itu, Salim tak lupa menengok Soledad, seekor kura-kura pendamping setianya, yang disimpan di bak berisi air. Saat kami berpamitan, dia memintaku memotret Soledad, mengabadikan dengan handycam, menyampaikan salam perpisahan. Setelah ”prosesi” singkat tersebut, dia, bersama Héléna, lalu mengantar pulang hingga di depan lift yang cuma bisa menampung dua manusia kurus itu.
Salim dan Héléna berdiri, berjalan tertatih-tatih, pelan-pelan berjoget, dengan tongkat rotan diarahkan ke atas....
Wahyu Muryadi (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo