Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

<font color=#FF9900>Seratus Tahun</font> Bersama Soledad

Tentu banyak yang bisa diceritakan tentang seorang seniman dalam usia satu abad. Hidup pada rentang yang panjang, dari masa sebelum Perang Dunia II sampai Perang Irak, membuatnya menjadi seorang ”saksi sejarah”. Salim, 100 tahun, lebih terkenal di Eropa ketimbang di negeri sendiri. Sejak kepergiannya ke Eropa pada usia 16 tahun, sudah empat kali Salim berkunjung ke negeri ini. Pertemuannya dengan para founding father negeri ini, juga langkah kesenimanannya yang eksploratif, kaya. Simak laporan wartawan Tempo yang menemui Salim bersama Soledad, kura-kura peliharaannya, di apartemennya di Neuilly, Paris.

13 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Burung-burung itu sudah lama saya biarkan pergi,” kata orang tua itu lirih. ”Yang tersisa hanya Soledad.”

ORANG tua itu, Salim, seorang pelukis yang sudah uzur. Dengan tangan gemetar, jari keriputnya kemudian menunjuk sebuah baskom merah tua, yang di dalamnya tertumpuk batu berlumut, di dekat jendela. Soledad seperti paham sedang jadi pembicaraan tuannya. Ia pun mengangkat kepalanya yang hitam dengan garis-garis kuning keluar dari air sambil mengangguk-angguk.

Soledad—seperti namanya yang berasal dari bahasa Spanyol berarti kesepian, kesunyian, atau kesendirian—memang terlihat sendirian hanya berteman batu-batu hitam yang juga diam. Kura-kura tua berumur 37 tahun itu adalah salah satu dari sedikit hiburan yang tersisa bagi Salim di usianya yang ke-100 tahun ini. Beberapa tahun yang lalu, rumah Salim terkenal karena riuh oleh kicau burung. ”Beberapa tahun ini saya sudah tidak sanggup mengurusnya lagi,” kata pria yang lahir di sebuah tempat di Sumatera timur, dekat Medan, 3 September 1908 ini.

Sambil mempersilakan Tempo masuk ke apartemen kecilnya, Salim tampak tertatih-tatih untuk duduk di kursi yang hanya berjarak empat langkah dari tempat tidurnya. Ia pun tak bisa lagi berdiri tegak. Di kepalanya bertengger peci hitam. Punggungnya bungkuk nyaris sembilan puluh derajat. Setiap orang harus membungkuk agar bisa menatap wajahnya yang terlihat sangat tirus dan pucat. Dengan bantuan sebuah tongkat, Salim akhirnya berhasil mencapai kursi tuanya yang tampak lapuk dan duduk dengan susah payah.

Gerakannya sangat terbatas. Sama terbatasnya dengan ruang-ruang di flat kecilnya yang berada di bawah atap bangunan apartemen berlantai 6 di salah satu sisi aksis utama dan bersejarah Paris yang memanjang dari Louvre melewati Champs-Elysées hingga ke La Defense. Terletak di kawasan mentereng dan mahal, flat yang dihuni oleh Salim jelas tidak tersentuh oleh kemewahan di luarnya.

Salim, siapa yang tak kenal dia?

Pada usianya yang keseratus tahun, Salim hanya bisa diam menghadapi berbagai pemberontakan organ di dalam tubuhnya yang tidak mau tunduk pada kehendaknya. Sebuah urine bag, kantong khusus untuk menampung air kencing, terus menyertainya. Selama berbicara, satu-dua kali terdengar air itu keluar dari tubuhnya. Selain punya masalah dengan saluran kencingnya, ia juga tak kuasa menghentikan air liurnya yang menetes. Pendengaran, apalagi penglihatannya, jauh dari sempurna. Dan mungkin satu-satunya yang tak tunduk pada gejala degenerasi fisik ini hanya alam pikirannya, memorinya, terutama tentang Indonesia.

Sejak akhir 1920-an, Salim memang perlahan-lahan terbentuk menjadi seorang Parisien. Kafe-kafe yang selalu disinggahi seniman dan cerdik pandai di Montparnasse; nama-nama besar, seperti Picasso, Verlaine, Andre Gide, Paul Valery, Rimbaud; perkampungan elite di Neuilly; dan banyak lagi yang tak bisa dijumpai di tempat lain kecuali di Paris. Lantas di mana ia meletakkan Indonesia? Kondisi ini dituturkannya dengan jernih dalam biografinya yang ditulis sastrawan Ajip Rosidi, Salim, Pelukis Indonesia di Paris. ”Aku berpikir dalam bahasa Prancis. Prancis menjadi negaraku. Tapi apakah aku masih seorang Indonesia? Ya, aku orang Indonesia, aku warga negara Indonesia dengan paspor Republik Indonesia,” katanya, seperti menyatakan suatu statement politik.

Indonesia di mata Salim adalah rapat-rapat para pemuda pergerakan di Gedung Nasional di Gang Kenari, Jakarta Pusat, yang sering dihadirinya. Ya, rapat-rapat yang tidak pernah luput dari pengawasan intelijen kolonial Belanda pada 1930-an. Bersama Hatta dan Sjahrir, dua tokoh yang akhirnya menjadi pemimpin di Indonesia yang merdeka, Salim menjalani perannya: membantu mengisi majalah organisasi bernama Daulat Ra’jat. Di sana ia banyak menulis ihwal politik di dunia internasional.

Indonesia di mata Salim adalah juga sebuah pertemuan tak terduga di suatu malam musim dingin pada 1929. Di Kalverstraat, Amsterdam, dua pemuda bergegas mengayun langkahnya guna mengusir dingin yang menusuk. Di sebuah titik, kedua pejalan kaki yang kemudian hampir bertabrakan itu lantas berkenalan. Mereka sama-sama dari ”Hindia”, bahkan sama-sama dari Medan. Salim mengaku tengah bekerja membuat desain cetak di atas kain, sedangkan kawan barunya menjelaskan bahwa ia mahasiswa fakultas hukum. Namanya Sutan Sjahrir, pemuda sosialis yang kemudian menjadi perdana menteri di negeri ini. Sjahrir aktif dalam Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda.

Dari pergaulannya di dalam organisasi itulah, Salim mengetahui istilah Indonesia—bukan Hindia yang digunakan Belanda. Dalam perbincangannya dengan Sjahrir, ia juga akhirnya tahu bahwa para pemuda pergerakan di Jakarta telah membuat maklumat bersama pada tahun sebelumnya, yaitu sumpah yang memproklamasikan jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia, dengan tanah air Indonesia dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa yang biasa ia gunakan manakala bercakap-cakap dengan ibundanya di Medan dulu.

Mendengar ini semua Salim terlonjak, dan pada 1932 ia memutuskan untuk pulang kampung: tidak ke Medan, melainkan ke Jakarta untuk melebur diri dalam aktivitas kaum pergerakan. Dan Salim, anak muda campuran ibu Melayu-ayah keturunan Persia yang telah pergi jauh dan menghabiskan 12 tahun di negeri Belanda dan Prancis, akhirnya menemukan arti sesungguhnya penjajahan dan perlawanan terhadapnya. Di Gang Kenari, ia dan kawan-kawan mengatur siasat untuk menyadarkan bangsa yang bakal merdeka.

Salim kembali lagi ke Indonesia pada 1956 dan terpesona oleh bangkitnya harga diri bangsa yang dulu terjajah. Di Marseille, dalam sebuah pelayaran di sebuah kapal yang penuh awak kapal orang Indonesia, ia tak lagi mendengar makian inlander yang begitu menyakitkan telinga. Dan mungkin satu-satunya yang merisaukan dirinya saat itu adalah sikap sebagian seniman Indonesia yang terlalu banyak berbicara tentang teori, kurang ngotot berkarya.

l l l

Campuran ibu Melayu-bapak keturunan Persia yang sering memukau para wanita di Kota Paris ini memang bukan seorang politikus. Soebandrio, saat itu masih duta besar di London, pernah bertaruh betapa Salim akan menjadi seorang menteri kabinet jika ia bersedia memasuki dunia politik. Salim menggeleng. ”Saya seorang seniman, apa yang lebih baik dari itu?” katanya. Mungkin karena itulah jejak seni rupa seorang Salim lebih mudah tercium.

Salim, yang populis prorakyat kecil, selalu meletakkan seni pada tempat sangat terhormat. Perang Dunia II, kemenangan Sekutu, dekolonisasi Indonesia, Perang Dingin, Perang Vietnam, ambruknya Uni Soviet, runtuhnya Tembok Berlin, Perang Afganistan—ia menyimak semua peristiwa besar di sepanjang abad ke-20-21 dengan ketekunan tinggi, tapi cepat menjauhkannya dari kanvas. Seni, di mata seorang Salim, tidak berakhir di dunia politik. Bunga, pemandangan, arsitektur, dan obyek-obyek figuratif menjadi sasarannya.

Karya awalnya, Kebun di Midi (1950), menampilkan figur-figur merah kecokelatan, seperti pohon, berdiri vertikal. Komposisi cukup riang dengan penyederhanaan bentuk tampak mendominasi karya-karyanya pada periode ini. Satu dasawarsa berselang, kita bisa menangkap kecenderungannya melepaskan diri dari kubisme, seraya bergerak dengan aneka pendekatan—ekspresif, dekoratif, kadang, menurut Ajip Rosidi dalam Salim, Pelukis Indonesia di Paris, tampak naif. Dalam periode ini, Salim tidak lagi membelah kanvasnya dengan garis-garis lurus vertikal ataupun horizontal. Seperti karya yang berjudul Di Luar Jendela, ia menggunakan tarikan garis yang lebih bebas, lincah—pertanda bahwa ia meninggalkan kubisme.

Pada 1970-an, Salim melangkah lebih jauh: ia menyederhanakan obyek-obyeknya menjadi lukisan dua dimensi dan agak abstrak, tapi tidak terlalu jauh meninggalkan obyeknya. Dalam Catalugna yang abstrak masih terasa atmosfer sebuah kota. Dan semua itu menunjukkan bahwa Salim tak pernah berhenti. Dua dasawarsa berselang, ia memasuki suatu masa yang lebih meditatif, surealistis, dan puitis. Gemerincing warna-warni yang pernah menjadi ciri khasnya dulu telah ditinggalkan; begitu juga garis-garis lurus, vertikal ataupun horizontal. Mungkin pada masa inilah ia mencapai titik puncak kreativitasnya.

Penggemar buah sawo dan bubur kacang hijau ini mengawali karier kesenimanannya di sanggar lukis Fernand Legger di Notre-Dame des Champs. Seminggu sekali Legger, maestro kubis-me, mengunjungi para pelukis muda yang mendatangi sanggarnya sambil berbisik: teruskan, teruskan. Dan Salim menerima dorongan semangat itu dengan serius. Ia berlatih gila-gilaan.

l l l

Flat di lantai enam gedung apartemen yang berbentuk huruf U itu kerap dikunjungi para politikus, negarawan, tokoh masyarakat dari Indonesia. Ya, tempat tinggal yang nyaris sesak, bukan hanya oleh benda-benda yang ada di dalamnya, tapi juga oleh ukurannya—tidak lebih dari 30 meter persegi. Terdiri atas sebuah kamar mandi plus toilet, sebuah kamar tidur, sebuah ruang tamu dan dapur.

Sikap antipenjajahan dan antipenindasan, aura kesenimanannya, ketegasannya memilih identitas (baca: warga negara) itu terus menebarkan rasa hormat serta daya tarik. Di kamar tidur Salim terdapat beberapa sketsa yang ditempel di dinding serta sebuah poster yang berisi sejumlah ucapan selamat ulang tahun. Di salah satu sudut kamar itu teronggok kursi roda yang tampak rapuh. Di sebelah kursi roda inilah Soledad diletakkan, persis di depan jendela.

Ruang tamu—letaknya bersebelahan dengan kamar tidur—penuh sesak oleh kardus, televisi, rak buku, sejumlah vinil, sebuah meja, dan sepasang kursi tua. Dindingnya penuh lukisan tersisa karya Salim. Meski punya rak buku, tetap saja buku-buku bertebaran di mana saja di ruang tamu, termasuk buku tiga jilid Tan Malaka karya Harry Poeze.

Di sanalah Salim dengan bersemangat bercerita tentang tamu-tamu yang berkunjung, tentang mantan-mantan Presiden Indonesia. ”Soekarno itu baik tapi gampang diakali sama perempuan, apalagi sama yang dari Jepang itu, lo,” katanya terkekeh. ”Habibie, pinter dia, lari ke Jerman. Saya suka sama Gus Dur. Yudhoyono juga, tapi dia terlalu lembek,” kata Salim terbata-bata. Kalau Soeharto? ”Wah, itu enggak usah ditanya, deh,” katanya kembali terkekeh.

Salim pun mampu mengingat semua mantan duta besar Indonesia yang pernah bertugas di Paris serta kenangannya tentang tanah Indonesia. ”Sayangnya, saya tidak mungkin pulang lagi ke Indonesia. Saya sudah terlalu tua. Mencapai umur 100 tahun ini tidak selalu enak rupanya,” kata Salim lirih. Ia menyesalkan kondisi tubuhnya yang tidak sanggup lagi duduk dan melukis. ”Dan lagi, siapa yang mau mengurus orang tua seperti saya di Indonesia?”

Sayangnya, semangat bercerita itu tidak didukung oleh kondisi tubuhnya. Setiap kali habis mengucapkan beberapa kalimat, Salim butuh waktu untuk menarik napas dalam-dalam, yang mengakibatkan lehernya terasa ngilu. Tapi, kalau soal bola, Salim tidak mempan oleh gangguan kesehatannya.

Salim masih kuat menonton bola hingga larut malam. Untuk urusan nonton bola ini, Salim termasuk yang tidak bisa diganggu gugat. Saat Tempo berkunjung, Salim sempat bergumam dalam bahasa Prancis: Tu es contente parce que tu es venue quand il n’y avait pas de football à la télé (”Kamu beruntung. Kamu datang saat tidak ada pertandingan sepak bola di TV”).

Selain Soledad, keseharian hidup Salim didampingi oleh Madame Héléna, 90 tahun, mantan suster yang dinikahi secara resmi oleh Salim kurang-lebih 10 tahun lalu. Seperti Salim, Madame Héléna mengalami gangguan pendengaran. Selain itu, ia tidak bisa berbahasa Indonesia.

Salim tidak mau berkomentar tentang Madame Héléna, tapi rasa saling sayang di antara mereka tampaknya tidak bisa ditutupi dari bahasa tubuh masing-masing. Tatapan mata kagum Madame Héléna setiap kali melihat Salim berbicara. Upaya Salim menerjemahkan nyaris apa saja yang diucapkan. Dan tentu saja sebuah lukisan potret Madame Héléna yang dipajang di salah satu dinding kamar tidur mereka.

Menurut Madame Breval Anastasie, wanita Haiti, petugas sosial yang sehari-hari mengurusi dua sejoli ini, keduanya nyaris seperti sahabat sehidup semati. Menurut Breval, sehari-hari mereka bercakap-cakap di depan jendela, menonton TV bareng, diperiksa oleh suster bersama-sama, makan berdua, lalu menghabiskan waktu di ruang tamu.

Salim kini banyak merenung. ”Satu-satunya yang saya inginkan sekarang adalah bisa melukis lagi. Seorang pelukis yang tidak melukis sama saja dengan pelukis yang sudah mati,” kata Salim, kembali menarik napas kuat-kuat tanpa sanggup mengangkat wajahnya.

Idrus F. Shahab, Asmayani Kusrini (Paris), Sita Planasari


Satu Abad Salim

1908
Salim lahir pada 3 September di dekat Medan, Sumatera Utara, Indonesia, dari pasangan ayah keturunan Persia dan ibu Batak.

1919
Karena kematian sang ayah, Salim muda diangkat anak oleh tetangga rumahnya yang berkebangsaan Jerman-Belanda. Menurut Ajip Rosidi, Salim kemudian dibawa ke Batavia untuk melanjutkan sekolah.

1928
Salim lulus Gymnasium di Belanda. Minatnya pada lukisan membawanya ke kota pusat seni dunia, Paris. Di sana ia belajar di Academie de la Grande Chaumiere.

1929-1932
Salim kemudian belajar melukis di Academie Fernand Leger.

1929
Pertama kali bertemu dengan Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta di Amsterdam. Pertemuan ini memberikan jawaban atas jati dirinya dan pencerahan atas akar Indonesia-nya.

1932-1935
Salim bekerja di De Java Neon Company di Jakarta, Indonesia. Pada kesempatan lain, ia juga turut membantu Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta dalam PNI-Pendidikan dan majalah Daulat Ra’jat.

1935
Salim kembali ke Belanda setelah penangkapan Sjahrir dan Hatta yang dibuang ke Boven Digul. Sebelum pulang ke Belanda, Salim sempat sakit dan dirawat cukup lama di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), hingga harus keluar dari pekerjaan dan sempat terlunta-lunta di tanah airnya sendiri.

1936
Kembali ke Paris sebagai pelukis. Ia banyak meluangkan waktu di Academie de la Grande Chaumiere.

1939
Kembali ke Belanda untuk menggelar pameran di Amsterdam. Sejak saat itu, banyak orang mulai membeli lukisannya.

1940-1945
Saat Perang Dunia II, Salim bergabung dengan jaringan bawah tanah anti-Nazi di Belanda. Ia banyak membuat ilustrasi untuk penerbitan sastra dan menyumbangkan seluruh hasilnya bagi pergerakan. Ia juga membantu banyak orang Yahudi Belanda dari kejaran Nazi.

1946
Kembali ke Paris. Ia marah besar, karena Belanda kemudian berusaha menjajah Indonesia kembali.

1947
Ia berkelana ke Sete, sebuah kota di selatan Prancis, dan ke Spanyol.

1947-1949
Mendirikan Sete’s Youth Club.

1948
Pameran lukisan perdana di Sete.

1949
Pameran tunggal di Amsterdam.

1951
Pameran tunggal di Jakarta, yang diselenggarakan oleh Sticusa. Pameran tunggal di Paris.

1956
Pameran tunggal di Jenewa (Swiss) serta Jakarta dan Bandung (Indonesia). Pada tahun ini, Salim dengan prakarsa Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional menjelajahi beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa dan Bali. Kota yang paling berkesan hingga menghasilkan banyak lukisan adalah Kota Tegal.

1964
Pameran tunggal di Amsterdam.

1958
Pameran tunggal di Paris.

1957
Pameran tunggal di Paris.

1967
Pameran tunggal di Paris.

1970
Mulai bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia.

1971
Memenangi medali dalam International Festival de Paris Sud.

1972
Memenangi The National Prix, International Festival de la Peinture a Cagnes-sur-Mer.

1974
Pameran tunggal di Jakarta dan Bandung.

1973
Menerima Medaille d’argent, Festival International de Paris Sud.

1975
Pameran tunggal di Brussel, Belgia.

1990
Pameran tunggal di Jakarta dan Bandung.

1998
Duta Besar Indonesia untuk Prancis, Satrio Billy Judono, menggelar resepsi kehormatan dalam ulang tahun ke-90 Salim. Dalam acara tersebut, Dr Francois Raillon membawakan pidato bertajuk ”The Other Salim”.

2002
Pameran tunggal di Ikeda-shi, Osaka, Jepang. Pameran tunggal di Paris. Pameran tunggal di Brussel.

2005
Pameran tunggal di Cemara 6 Galeri. Pada waktu itu diluncurkan biografi Salim yang ditulis oleh sastrawan Ajip Rosidi.

2008
Pameran Salim/Siapa Salim di Galeri Nasional Jakarta, Indonesia, sekaligus merayakan usia Salim satu abad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus