Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Delapan Cerita tentang Cinta

Serangkaian cerita pendek dalam satu film panjang. Inilah cara Harry Dagoe Suharyadi bertutur tentang cinta dalam hidup yang suram. Unik dan menarik.

13 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cinta Setaman
Sutradara dan skenario: Harry Dagoe Suharyadi
Pemain: Nicholas Saputra, Slamet Rahardjo, Lukman Sardi, Surya Saputra, Marsha Timothy, Ria Irawan, Richard Oh, Atiqah Hasiholan
Produksi: Imajika Films

Sang ibu menatap ke depan dengan sepasang mata yang sudah tua dan hati yang patah. Sang suami tengah berbincang dengan menantu perempuan yang akan diceraikan anak lelaki mereka.

”Mereka memutuskan berpisah,” kata sang ayah (Rudi Wowor) dengan nada pahit.

”Bagaimana dengan Rio?” tanya sang ibu, lebih seperti melenguh, khawatir dan hati pecah menghadapi kenyataan.

”Rio? Dia yang mau menceraikan istrinya…,” kata sang ayah dengan geram. Dia bergumam di antara rasa pahit, ”Saya tak tahu apa Rio memberi tahu penyebabnya….”

Sang ibu (diperankan dengan baik oleh Jajang C. Noer) tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya runtuh. Tapi Rio (Alex Abbad) adalah anak lelaki satu-satunya. Dan bukan perceraian ini saja yang meruntuhkan hatinya… ada kenyataan lain tentang anak lelakinya, sebuah kenyataan yang tak mudah ditelan orang tua mana pun. Betapapun liberal mereka….

Ini adalah salah satu dari delapan jalinan cerita dalam film Cinta Setaman karya Harry Dagoe Suharyadi. Delapan cerita itu seperti kumpulan cerita pendek yang berkaitan—meski tak selalu secara ketat—antara satu dan yang lain. Dimulai dari kisah seorang anak lelaki yang sehari-hari banting tulang sebagai buruh kecil yang selalu bekerja keras mengumpulkan beberapa lembar ribuan untuk membeli sepasang sepatu roda. Namun, suatu hari, mata si anak lelaki yang sudah menanjak remaja itu terpaku pada seorang remaja putri jelita (Nadia Vella) yang rajin berolahraga di kawasan kampungnya. Ketika akhirnya uangnya sudah terkumpul, sang anak itu, di antara peluh yang berleleran dan gosong matahari kemudian bingung memilih: membeli sepatu roda atau boneka Barbie (untuk sang pujaan hati).

Dari sini, kita memasuki cerita pendek berikutnya, karena sang pujaan hati juga memiliki cerita sendiri. Remaja cantik itu ternyata anak seorang pelacur (diperankan penuh sinar oleh Djenar Maesa Ayu). Saat sang remaja cantik itu berkutat dengan buku PMP dan berfantasi tentang guru di sekolahnya yang santun (Lukman Sardi), dia bisa mendengar suara ibunya mendesah-desah meladeni pelanggan. Dan gaya sang ibu itulah yang kemudian dianggap sebagai strategi jitu untuk menangkap hati sang guru baik yang diinginkannya.

Meski format film ini bukan sesuatu yang baru, Harry menyajikan sebuah format yang unik. Film Kuldesak (karya kuartet Mira Lesmana, Riri Riza, Rizal Manthovani, dan Nan T. Achnas) serta Berbagi Suami (karya Nia Di Nata) adalah film-film dengan empat segmen yang berbeda. Namun dua judul sebelumnya masih memberikan tema yang sama dalam setiap segmen, sedangkan kedelapan cerita dalam film Cinta Setaman ini berdiri sendiri, meski ada beberapa karakter yang saling berseliweran antara satu cerita ke cerita lainnya. Kedelapan cerita itu seperti sebuah momen dalam hidup setiap tokohnya, persis seperti konsep sebuah cerita pendek. Tak perlu banyak penjelasan latar belakang sang tokoh; tak perlu penjelasan sebab-akibat dari karakter; karena peristiwa dan dialog sudah bisa menjelaskan kisah-kisah pendek itu.

Yang menarik dari film ini terutama adalah konsep bertutur, sebuah penuturan cerita pendek; penuturan sebuah momen dalam kehidupan seseorang. Tapi penuturan ini tak selalu konsisten. Kisah si anak kecil yang menginginkan sepatu roda atau kisah Nicholas Saputra sebagai penjual DVD bajakan yang terus-menerus berseteru dengan adiknya adalah konsep penuturan satu momen. Tapi cerita tentang pasangan Jajang C. Noer dengan putranya (Alex Abbad) lebih memiliki perkembangan cerita yang kompleks. Melibatkan masa lalu; perkembangan plot dan bahkan klimaks. Artinya, bagian ini bahkan bisa menjadi satu cerita panjang tersendiri.

Sutradara Harry Dagoe berani memasang pemain-pemain terkemuka di luar peran mereka yang lazim kita saksikan. Nicholas Saputra berperan sebagai penjual DVD bajakan yang temperamental; Julia Perez berperan sebagai cewek kampung pemilik warung (dia tampil tanpa polesan apa pun hingga sulit kita mengenalnya sebagai Julia Perez); Indi Barends tampil sebagai pengasuh yang doyan bergunjing tentang kehidupan seks nyonya lain. Pendeknya, penampilan para pemain bersinar.

Kedelapan kisah itu tentu saja memiliki bobot yang berbeda. Ada yang menyentuh; ada yang lucu. Yang ingin komikal pun ada, seperti segmen pasangan Surya Saputra dan Davina yang berkisah tentang seorang sutradara televisi yang gagal dan istrinya yang bawel. Harry jelas ingin membuat komedi satirikal tentang industri televisi yang dungu. Ide brilian, meski eksekusinya masih kurang rapi. Segmen tentang seorang sopir yang mendapat hadiah ikan arwana dari majikannya sebetulnya menarik. Sang sopir (diperankan oleh sang sutradara sendiri) terlibat debat (yang terlalu panjang) dengan sang istri (Ria Irawan) tentang sang ikan. Akhir cerita sungguh komikal. Jika saja acara debat suami-istri itu dipotong sedikit, inilah segmen yang paling sempurna. Yang paling merobek hati tentu saja segmen pasangan Jajang C. Noer dan Rudi Wowor dengan putra Alex Abbad. Ini segmen yang tidak banyak dialog dan bertutur melalui peristiwa. Seorang ibu sederhana yang bekerja sebagai penjual kain; dan seorang anak yang mencoba mengabdi kepada ibunya dengan mengirim uang untuk ongkos naik haji.

Bisakah dia menerima uang itu? Penampilan Jajang dan Alex Abbad adalah penyajian terbaik film ini.

Tantangan Harry yang utama untuk menjalin delapan cerita ke dalam satu film dengan tema besar cinta adalah bagaimana agar segmen-segmen itu tetap terasa memiliki relevansi. Dan yang lebih penting lagi, bagaimana caranya agar penyuntingan dari satu cerita ke cerita lain terasa mulus dan rapi. Harus diakui, film ini masih harus melalui penyuntingan yang lebih ketat lagi. Bagian akhir yang menyajikan ocehan dukun obat itu bisa dibuang tanpa persoalan.

Film Cinta Setaman membuktikan bahwa di tengah serbuan film komedi toilet dan komedi buah pisang, film yang waras masih bisa dibuat. Di tengah serbuan ratusan film Indonesia dengan judul-judul yang membuat kita garuk kepala, masih ada Harry Dagoe Suharyadi; masih ada Riri Riza yang ”keras kepala” berkukuh melawan ”the big K” (K = komersial), yang diartikan para pemilik production house sebagai pembuatan film dengan biaya rendah dengan cerita yang ”menghibur dan komersial” dan tidak melawan arus.

Film Cinta Setaman, dengan segala kepedihan dan kepahitan, bagaimanapun mencoba optimistis. Semua tokohnya, pada akhir cerita, betapapun runtuhnya, betapapun terperosoknya, masih mencoba percaya pada cinta.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus