Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lagu Rangkaian Melati karya Ismail Marzuki mengalun. Sore itu di rumahnya di kawasan Cireundeu, Tangerang Selatan, Rose Pandanwangi, 88 tahun, memangku sebuah piringan hitam berjudul Nostalgia Indonesia: Rose Pandanwangi. Piringan hitam itu direkam di Radio Hilversum, Belanda, pada 1973. Sampulnya menggambarkan suasana perdesaan Bali yang dilukis Sudjojono secara impresionistik.
Piringan hitam itu menyajikan lagu Rangkaian Melati, Sepasang Mata Bola, Bandar Jakarta, Selendang Sutra, Indonesia Pusaka sampai lagu daerah seperti Waktu Hujan Sore-sore, yang semuanya dinyanyikan Rose. Ingatan Rose tampak melayang-layang tatkala mendengarkan suaranya sendiri saat ia berusia 44 tahun.
Ia mengenang, yang mengiringinya rekaman di Belanda saat itu adalah kelompok keroncong bernama Sinar Surya. "Itu kelompak opa-opa di Belanda yang jago keroncong Kemayoran," kata Rose. Terbaca di sampul piringan hitam, kelompok itu dipimpin seorang Indo bernama Hugo Dumas. Masih lekat dalam ingatan Rose, peniup seruling kelompok itu sangat mahir. "Saya lupa namanya. Tapi, dengar suara serulingnya, sangat syahdu," ujar Rose.
Tiga hari sebelum peluncuran buku biografinya, Kisah Mawar Pandanwangi, di Bentara Budaya Jakarta, yang ditulis oleh Sori Siregar dan tim S. Sudjojono Center, Rose tampak mempersiapkan diri untuk menyanyi. Ia masih seorang perfeksionis. Ia merencanakan untuk melantunkan dua lagu dalam acara itu: Kisah Mawar di Malam Hari karya Iskandar dan Indonesia Pusaka. "Kalau Mama kuat, Mama juga ingin menyanyikan lagu Ich Liebe Dich karya Beethoven. Lagu ini sangat disukai Bapak," kata Mariao Dara Putri atau akrab dipanggi Maya, putri ketiga Sudjojono-Rose Pandanwangi. Oinieke Lani Sihombing Palar, pianis yang sebelas tahun tiap pekan selalu berlatih dengan Rose, mengatakan energi Rose luar biasa. "Untuk penampilan peluncuran biografinya, Tante Rose sampai latihan tiga kali seminggu di rumah saya di Bogor," ucapnya.
Buku tak terlalu tebal itu berisi sejarah Rose di dunia tarik suara. Bisa disebut Rose termasuk orang yang pertama kali memperkenalkan Indonesia ke Eropa melalui seni. Di kala negara ini masih baru bayi, masih berusia empat tahun, Rose bersama 15 pelajar Indonesia di Belanda berangkat sebagai delegasi seni mengikuti Festival Pemuda 2 di Budapes, Hungaria. Belanda saat itu belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda masih mengadakan aksi polisionil-ingin merebut kembali Indonesia. Rose bisa dibilang turut berjasa menyebarluaskan ke dunia luar bahwa ada negara merdeka bernama Indonesia. Mungkin, dari sekian kontingen Indonesia itu, kini yang tersisa satu-satunya adalah Rose.
Selanjutnya, pada 1951, ia kembali mengikuti Festival Pemuda 3 di Berlin Timur. Setelah menetap lagi di Indonesia, bersama tim paduan suara RRI (Radio Republik Indonesia) pada 1953 ia ambil bagian dalam Festival Pemuda 4 di Bukarest, Rumania. Rose masih ingat bagaimana rombongan dengan kereta api Trans-Siberia melakukan perjalanan dari Beijing menuju Moskow dan Bukarest. "Selama perjalanan menuju Moskow, di luar pemandangan hanya putih salju, sepi, beku, kosong. Lalu, setelah lewat berapa ratus kilometer, baru ada pos stasiun yang berisi penjaga," tutur Rose.
Sejak kembali ke Indonesia, Rose memiliki jadwal menyanyi rutin yang disiarkan RRI. Ia dikenal sebagai kelompok RRI bersama Mochtar Embut, Syafei Embut, Sudharnoto, ataupun Sam Saimun dan Bing Slamet. "Semua itu satu geng dengan saya. Mochtar Embut saya suka lagunya berjudul Embun. Kalau Sudharnoto, yang paling bagus lagu Derita. Suara Bing Slamet itu bagus sekali. Bing itu usil tapi enggak nyebelin," katanya.
Sudjojono adalah orang paling berperan di balik karier Rose sebagai penyanyi profesional. Sudjojono meyakinkan Rose untuk ikut kompetisi Bintang Radio yang diadakan RRI. "Padahal saya tidak suka pertandingan menyanyi, tapi Pak Jon bilang saya harus ikut biar terkenal," ucap Rose. Tahun 1958 adalah keikutsertaan pertama Rose dalam acara Bintang Radio yang rutin digelar setiap tahun. Itu juga pertama kali perempuan bernama asli Rosalina Wilhelmina Poppeck ini mengenakan nama panggung Rose Pandanwangi. Ini nama yang diciptakan sendiri oleh Sudjojono untuk Rose. Dengan nama itu, Rose menyabet gelar juara kedua Bintang Radio.
Pada 1959, ia mengalahkan "incumbent" Norma Sanger, juara nasional tiga kali berturut-turut. Gara-gara itu, perusahaan piringan hitam Lokananta merekam suaranya. "Saya menyanyi Di Rumput Hijau karya Maladi dan Sekar Priangan yang digubah Ismail Marzuki dan Iskandar. Itu rekaman pertama saya," kata Rose. Selanjutnya, Rose merajai Bintang Radio. Ia mempopulerkan seriosa. "Total 14 kali Mama menang, tapi pialanya cuma ada 12. Yang dua hilang," ucap Maya. Piala-piala itu turut dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta.
Selain mengisi acara radio dan turut serta dalam paduan suara, Rose terlibat dalam opera. Dia terlibat dalam produksi opera Hansel and Gretel yang diselenggarakan RRI. Opera ini disutradarai komponis Amerika Serikat, Wheeler Becket, dan dipentaskan selama lima hari berturut-turut di Gedung Kesenian Jakarta. Rose berperan sebagai penyihir yang kocak. "Penonton penuh terus, bahkan saat dress rehearsal," ujar Rose. Sudjojono menjadi dekorator untuk pentas itu.
Pasangan ini kemudian bahu-membahu mendirikan kelompok opera yang dinamai Opera Hidup Mengalun Dendang. Grup ini awalnya bernama Opera Jakarta, yang dipimpin oleh Binsar Sitompul. Rose bergabung dengan opera itu pada 1962. Opera Jakarta menampilkan fragmen dari opera-opera klasik Eropa. Dua tahun kemudian, anggota Opera Jakarta bertambah. Rose, Sudjojono, Montebano, Pakpahan, dan Binsar Sitompul bersepakat mengganti namanya menjadi Opera Hidup Mengalun Dendang.
Logo kelompok ini berupa seekor burung dara menatap ke arah matahari digambar oleh Sudjojono. Di bawah bendera baru, opera ini mencoba mementaskan opera klasik seperti Madame Butterfly karya John Luther Long pada 1898 dan Il Trovatore. "Tentu tidak full. Tapi kami adalah pionir pentas opera di Indonesia," ujar Rose. Rose menjadi pemeran utama. Opera ini ditampilkan di Gedung Ikada dan didukung oleh Kedutaan Besar Jepang. Opera berbahasa Italia ini berkisah tentang kehidupan seorang ibu di Jepang yang berakhir dengan adegan harakiri sambil menggendong seorang anak.
Lagi-lagi Sudjojono terlibat dalam penataan panggung dan rancang kostum. Karena tidak pernah melihat pentas opera aslinya, Sudjojono pun mengandalkan imajinasi hanya dengan mengacu pada contoh yang dipinjamkan Kedutaan Jepang. "Dekorasinya jadi rada berunsur Jawa karena Pak Jon yang bikin," kata Rose seraya tersenyum geli. Sudjojono melukis sendiri motif bunga bermekaran di atas kimono yang dikenakan Rose pada adegan puncak. Kimono ungu itu turut dihadirkan dalam pameran di Bentara Budaya.
"Ini poster La Scala Opera House Milan yang mementaskan The Barber of Seville di Jakarta pada 1978," ucap Maya-memotong pembicaraan-memperlihatkan sebuah poster yang telah dibingkai. Ada nama Rose Pandanwangi di situ. Rose diminta ikut dalam pertunjukan The Barber of Seville memerankan tokoh bernama Bertha. "Sampai sekarang saya masih senewen kalau mengingat itu," kata Rose. Mengapa? Sebab, lagu yang ia nyanyikan harus dalam bahasa Italia dan ia susah mengingat bahasa tersebut. Ada orang Indonesia lain yang terlibat menyanyi, yaitu Emmy Aritonang. "Tapi Emmy itu sudah lama tinggal di Italia," ujar Rose.
Malam itu, di Bentara Budaya Jakarta, Rose Pandanwangi duduk tenang di tengah panggung. Ia sama sekali tak terlihat senewen. Pandangannya lurus ke depan selagi aktor Gandung Bondowoso (suami Wicki, anak Rose dengan suami pertamanya, Yahya "Jack" Sumabrata) mengucapkan kalimat-kalimat surat cinta Sudjojono untuk Rose. Begitu sang menantu selesai bermonolog, suara Rose lirih, tipis, tapi bisa mendadak meninggi melantunkan Kisah Mawar di Malam Hari ciptaan Iskandar. Seketika ruangan terasa merinding. Di umurnya yang demikian tua, kehalusan suara Rose masih sangat menyentuh.
Dan tatkala Indonesia Pustaka giliran ia lantunkan, terasa menggetarkan. Khusyuk. Di kala suasana masyarakat akhir-akhir ini yang mudah terbelah, satu sama lain sama tegang, vokal Rose tiba-tiba terasa menyuarakan keindonesiaan yang "telah lama hilang". Beberapa penonton berkaca-kaca. "Saya sampai keluar air mata," kata Joseph Ginting, sutradara teater, salah satu hadirin yang duduk di barisan tengah.
Seno joko suyono, moyang kasih dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo