Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menikmati Wonder Gadot

Film Wonder Woman muncul pada saat penonton membutuhkan optimisme. Terlepas dari berbagai catatan, film ini layak ditonton.

12 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhirnya muncul juga superhero perempuan itu.

Wonder Woman lahir sebagai film yang menceritakan dirinya sendiri, tanpa embel-embel Superman, Batman, dan superhero lelaki berotot lainnya.

Bagi para fan komik, munculnya film ini menjadi pertengkaran antara penggemar karya DC Comics dan penggemar komik Marvel di media sosial. Geng DC Comics tergila-gila memuja-muji setengah mati karena tokoh ini lahir dari komik DC, sementara fan Marvel mencoba memadamkan kegairahan geng DC. Adapun para penonton film (awam) lelaki kini punya kosakata baru: Gal Gadot. Mereka mengucapkannya seperti para senior mereka pada 1970-an berbisik lirih tentang tubuh Marilyn Monroe yang sintal sambil plarak-plirik agar jangan terdengar bokin. Para penonton perempuan mengangkat kepal ke udara karena kali ini seorang tokoh perempuan menghiasi layar lebar, seperti halnya ada sebuah urgensi ketika feminis terkemuka Gloria Steinem memilih tokoh Wonder Woman sebagai sampul majalah yang menggebrak dunia: Ms. Magazine.

Sebelum menjadi Wonder Woman, dia adalah Diana, putri Amazon yang sejak kecil menyaksikan ibunya, Hippolyta (Connie Nielsen), memimpin seisi pulau fantasi Themyscira yang berisi hanya perempuan petarung. Daerah terpencil itu dilindungi seusapan kabut sehingga manusia biasa tak akan mampu melihat pulau fantasi tersebut secara kasatmata. Diana dewasa (Gal Gadot) akhirnya menjadi petarung nyaris tak terkalahkan, di bawah asuhan Jenderal Antiope (Robin Wright), sang bibi yang percaya Diana akan menjadi pahlawan bagi umat manusia di masa yang akan datang.

Pada penampilannya yang pertama dalam All Star Comics edisi Oktober 1941, Diana diciptakan dari tanah liat yang dibentuk sebagai patung oleh Ratu Hippolyta dan ditiupkan kehidupan oleh Aphrodite, sementara para dewa Yunani lainnya menganugerahkan kekuatan luar biasa kepadanya. Belakangan, kelahiran Diana "direvisi": dia adalah putri dari Dewa Zeus dan Hippolyta. Hidup di pulau fantasi itu segera berakhir ketika seorang pilot Amerika Serikat meluncur dan menabrak "kabut pelindung" yang membungkus Pulau Themyscira. Maka suasana ethereal itu bertabrakan dengan realitas "masa kini" yang menyebabkan adegan layar menjadi absurd. Tapi ingat, jika tokoh Thor dari dunia Marvel yang mencampuradukkan dunia realitas di bumi yang kita tempati dengan tokoh-tokoh pada kerajaan Asgard nun di langit sana, pasti kita bisa menerima perkawinan dunia realitas sang pilot dan pulau fantasi tempat para keturunan dewa Yunani itu berlatih pertempuran.

Begitu saja mereka bertemu. Steve Trevor (Chris Pine), pilot sekaligus intel Amerika yang menyamar sebagai tentara Jerman, adalah lelaki pertama yang pernah dijumpai Diana. Telanjang, lengkap dengan penis yang menurut pengakuan Trevor "termasuk di atas rata-rata". Tapi Diana tak tertarik pada tubuh lelaki dengan segala "perangkat pribadinya". Dia lebih takjub pada jam tangan yang dikenakan Trevor, "Apaan tu?" Trevor baru menyadari betapa dia memang memasuki sebuah dunia fantasi, dan dengan sabar dia menjelaskan segala benda modern, konsep perang modern (pada saat itu, mereka tengah memasuki Perang Dunia I), yang bakal bisa menghancurkan anak-cucu dan kehidupan. Itulah sesuatu yang dikenal Diana: menjaga perdamaian dan menghalau dewa perang Ares.

Maka, dengan penuh semangat, Diana mendampingi Trevor, yang kemudian dibantu tiga kawannya, Sameer (Said Taghmaoui), Charlie (Ewen Bremner), dan Chief (Eugene Brave Rock), untuk mencapai dua target: mencegah pasukan Jerman yang bernafsu menggunakan senjata kimia (yang tengah diotak-atik dokter Maru di laboratorium); dan kedua, Diana akan menghadapi Jenderal Jerman Erich Ludendorff (Danny Huston), yang dia yakini sebagai Ares.

Pada saat Diana memasuki Kota London, "kehidupan gelap" gaya DC Comics yang selama ini direntangkan Christopher Nolan dalam serial Batman mulai retak. Diana menjadi lucu karena mencoba berbagai kostum seperti yang sudah ditiru berbagai epigon adegan film Pretty Woman. Diana tak tahu bagaimana mengakomodasi pedang saktinya dengan jas dan rok panjang. Diana juga tak peduli bahwa dia satu-satunya perempuan di antara petinggi militer yang tengah mencoba memutuskan soal gencatan senjata. Pada saat Diana berperan sebagai seorang perempuan yang mempertahankan perdamaian dan penuh empati, Gal Gadot justru tampil alamiah.

Begitu dia ujug-ujug memperoleh tiara-yang bisa berfungsi sebagai bumerang-dan kostum Wonder Woman lengkap dengan gelang antipeluru dan Lasso of Truth (tali laso emas yang bisa memaksa orang berbicara sejujurnya), Gal Gadot mulai menghadapi tantangan: apakah dia harus menampilkan martial art, adegan laga dengan berbagai ekspresinya yang sulit karena berperan di depan layar hijau atau dia harus berpose seperti seorang ratu kecantikan? Tentu bisa dimaklumi jika kita telanjur jatuh cinta karena Gadot memang sangat rupawan, tubuhnya sempurna untuk memerankan Wonder Woman, sosok superheroine yang sudah kita nanti beberapa dekade. Nama Gal Gadot bahkan menjadi sebuah adjective baru untuk perempuan tercantik, terseksi, sekaligus penuh daya.

Namun ini tetap sebuah film. Sutradara Patty Jenkins sudah berhasil mencampurkan fantasi dan realitas, dan membuat kita percaya sebuah sosok digdaya seperti Diana bisa muncul untuk menghajar kekejian ciptaan dokter Maru. Dia berhasil pula memberikan twist terakhir: siapa penjahat sesungguhnya yang akan dihadapi Wonder Woman.

Problemnya setelah Wonder Woman berhadapan dengan si Jahat, segalanya terasa berkepanjangan dan dipaksakan. Pertarungan berpanjang-panjang seolah-olah ini sebuah perang besar Baratayudha, padahal penonton belum cukup terinvestasi secara emosional dengan kedua tokoh itu; lantas adegan si Jahat yang sebegitu saktinya semakin terasa konyol karena dia bisa muncul dan menghilang di mana saja. Belum lagi Wonder Woman yang tak pernah sedikit pun terlihat tergores atau berkeringat setelah perkelahian yang begitu menyita fisik. Rapi, cantik, rambut licin penuh hairspray dan wajah masih penuh rias seperti keluar dari salon.

Di luar itu semua, film ini tetap sebuah terobosan baru bagi DC Comics, yang rupanya sudah berkenalan dengan elemen humor dalam hidup yang gelap (dari sebelah sana, para fan Marvel sedang tertawa terkekeh-kekeh). Film Wonder Woman tampaknya sudah mulai bergeser dari kecenderungan gelap jagat mereka, karena dia adalah sosok yang memperlihatkan optimisme, humor, dan empati. Dan tokoh seperti itu tampaknya dibutuhkan setelah begitu banyak kekecewaan yang terjadi di dunia beberapa tahun terakhir, termasuk di Indonesia.

Leila s. chudori


Wonder Woman
Sutradara: Patty Jenkins
Skenario: Allan Heinberg, berdasarkan cerita dari Zack Snyder, Allan Heinberg, dan Jason Fuchs (Berdasarkan karakter ciptaan William Moulton Marston dan Harry G. Peter)
Pemain: Gal Gadot, Chris Pine, Robin Wright, Danny Huston, David Thewlis, Connie Nielsen, Elena Anaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus