Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sanggar Adem-ayem

Galeri R.J. Katamsi, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, memamerkan karya-karya dan arsip bersejarah Sanggar Bambu. Membaca ulang perjalanan seni rupa baru lewat sanggar legendaris ini.

17 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sanggar Adem-ayem

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANGGAR Bambu adalah warisan dari era sanggar- masa 1940 sampai akhir 1950-an- yang tentu khas Yogyakarta. Perkumpulan seniman ini didirikan pada 1959, masa ketika makin banyak seniman gemar berdiskusi soal politik dan lembaga-lembaga kebudayaan condong pada ideologi tertentu. "Surat kepercayaan" Sanggar Bambu (1963) menyatakan, "Pancasila adalah sumber dan semangat perkembangan kebudayaan buat mengangkat derajat manusia pada martabatnya, di mana manusia memiliki cinta dan keindahan." Kendati bermula dari lingkungan seni rupa, banyak penyair, pemain drama, dan pemusik bergabung dalam nasionalisme ala sanggar ini.

Hanya di Yogyakarta, kehadiran sanggar-sanggar tidak dipertentangkan dengan tradisi pendidikan akademis seni. Contoh terbaik untuk itu adalah pandangan mengenai melukis secara langsung atau membuat sketsa sebagai pengalaman dekat bermasyarakat dianggap tetap bermanfaat bagi para seniman sampai sekarang. Lulusan pendidikan formal seni rupa di Yogya mengakui pentingnya menimba pengalaman bersama di dalam sanggar. Beberapa pelukis sanggar, seperti Hendra Gunawan dan Kusnadi, turut mendirikan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, kini menjadi Institut Seni Indonesia/ISI). Affandi, Trubus, dan Sudarso adalah pelukis dari tradisi sanggar sekaligus pengajar-pengajar yang paling disegani. Terlepas dari warna politik mereka, para pelukis sanggar dipandang sebagai seniman-seniman besar yang sangat dihormati di Yogya.

Seniman-seniman Sanggar Bambu meyakini perlunya mereka mengembangkan bakat-bakat artistik dengan cara yang lebih "netral". "Politik" di ranah artistik berarti mencari kekhasan ungkapan, yang di dalam pengajaran formal akan dinyatakan secara eksplisit sebagai "carilah dirimu sendiri". Kendati dipraktikkan secara berbeda, pandangan ini rupanya diam-diam telah menyinergikan lembaga akademis dengan sanggar yang non-akademis.

Berjarak dari kecenderungan untuk "berpolitik", bakat-bakat besar di bidang seni rupa dalam perjalanan Sanggar Bambu benar-benar tampak menonjol pada ranah seni dwimatra. Seniman Danarto, Hardiyono, dan Isnaini M.H. merajai dunia seni gambar pada masanya, dan belum muncul lagi sosok yang lain sekaliber mereka. Ketiganya menunjukkan kekhasan rupa dalam gambar, tetap memiliki ciri artistik masing-masing meski sama-sama tertarik pada gaya rinci dan dekoratif. Kecuali Danarto yang senang membiarkan latar belakang gambarnya kosong- mengingatkan gaya gambar Lempad di Bali- Isnaini dan Hardiyono umumnya berlomba menampilkan gambar rumit penuh isian yang dikerjakan dengan telaten.

Dalam pameran yang berlangsung sepanjang akhir November hingga pertengahan Desember ini, kita melihat- dengan contoh yang terlalu sedikit- gambar tinta di atas kertas Isnaini M.H.: pemandangan dengan pencakar langit serta sosok menyerupai totem dan buraq. Agaknya, itulah kesatuan realitas, dunia simbol dan mitologi. Dia juga menggambar karikatur tokoh pada Kebun Binatang TIM (1982), dari sosok pelukis Zaini sampai H.B. Jassin, yang menunjukkan ia penggambar potret yang jitu. Hardiyono menggambar Dewi Kunti (2012) yang terasa Jawa, tenang, meditatif, dan misterius dengan pena di atas kertas. Gambarnya yang rumit tidak disusun melalui arsiran garis, tapi dengan teknik membuat titik.

Dalam pameran ini, hanya ada satu reproduksi gambar wayang Danarto. Sosok wayang di tangan Danarto sarat idealisasi: gagah, tegap, berwatak, atau rupawan dan sangat molek. Meski gambar Danarto kuat sebagai karya ilustrasi--Danarto produktif mengerjakan sejumlah ilustrasi cerita wayang pada 1980-an- kita menikmati imajinasi gambar itu yang bukan sekadar pendamping kisah. Kita bisa membayangkan sebuah kisah lain lahir dari sosok-sosok wayang yang digambar secara imajinatif dengan keindahan garisnya.

Belakangan, Danarto juga melukis. Kita melihat karya lukisnya, Pembisik Gus Dur (2006-2009), humor sufi khas ala sang seniman. Danarto tidak kehilangan keartistikan garisnya ketika melukis, sosok malaikatnya fantastis, dan tidak meleset menggambar raut Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dia juga penulis cerita yang orisinal. Kita ingat cerita pendeknya yang masyhur, Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat (1975). Ternyata malah Gus Dur yang terjaring malaikat karena humor-humornya yang dalam.

Politik artistik "cari sendiri" itu melahirkan bermacam jenis karya. Ada kebiasaan seniman melukis potret orang, seperti tampak pada banyak lukisan dalam pameran ini (Syahwil, Handogo S., Supono Pr., Wardoyo, dan lain-lain). Sejarawan Claire Holt mengamati, di kalangan seniman Yogya, sampai masa tertentu ada anggapan bahwa melukis potret orang adalah sebentuk nasionalisme, karena seni itu diabdikan bagi kehidupan Indonesia. Tapi belakangan ada gambar yang seperti dengan sadar meninggalkan kekhasan sanggar, seperti karya Muryoto Hartoyo.

Muryoto menyusun bidang-bidang persegi menjadi gambar sesuatu. Abstraksi geometris seperti gambar Muryoto sebenarnya jarang muncul di lingkungan sanggar, bentuk ini mungkin akan dianggap terlalu liberal. Yang tak boleh terlewat tentunya adalah seni sketsa, ragam yang masih banyak pengikut fanatiknya di Yogya. Wahana ini adalah karya sederhana sekaligus mandiri dan membentuk kekhasan identitas Yogya. Gaya lukisan pop ditunjukkan oleh lukisan Suatmaji dan Sudarisman, dari 1970-an. Keduanya lebih terasa sebagai hasil pendidikan akademis ketimbang mengembangkan naluri artistik model Sanggar Bambu.

Dengan kata lain, sementara pendidikan akademis sedikit-banyak menyerap semangat sanggar sebagai sebuah platform, Sanggar Bambu tampak tidak terlalu terpengaruh oleh dinamika yang terjadi di dunia akademis. Aktivitas sanggar sebenarnya sudah tak pernah terdengar lagi. Karena kesulitan mengurus anggota yang tersebar, pernah ada gagasan untuk menjadikan tiap orang sanggar adalah "komisariat". Pendeknya, masing-masing mengurus diri sendiri dengan mengatasnamakan sanggar. "Sanggar telah mati, hidup sanggar!" ujar Danarto suatu kali. Tapi kehidupan yang mana?

Yang mengherankan adalah penyajian pameran. Di kota yang melahirkannya, di lingkungan akademis yang dekat dengan tradisi sanggar, pameran ini tampak terbatas dan tidak tersusun untuk memahami "ideologi" sanggar. Penyajiannya sembrono, tanpa penjelasan yang menunjukkan kedekatan, bahkan kesatuan antara karya dan arsip. Dan, seperti pameran serupa tahun lalu, ditampilkan tanpa penelitian yang cukup mendalam. Sekadar eklektik dan terasa hanya adem-ayem.

Hendro Wiyanto, Penulis Seni Rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus