Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ya, sekadar mengingatkan Pak Marzuki, sampai saat ini, ada puluhan buku yang statusnya masih dilarang, lodari buku What is Soviet Power (1917) dan Das Kapital (1903) hingga buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Tentu saja ini warisan Orde Baru yang harus diurus.
Berpangkal dari mundurnya Soeharto pada Mei 1998, segala yang biasa dibungkam lantas saja membuka diri. Di bawah euforia reformasi, buku-buku yang masuk daftar hitam itu justru membanjiri pasaran. Berbagai versi, mulai yang cetak ulang, sisa edisi lama, hingga yang cetakan baru, terpajang di rak-rak besar toko buku besar ataupun kecil.
Tengok saja, buku-buku karangan Pram malah berjajar lengkap bersanding dengan buku best seller lainnya. Buku-buku tersebut tidak lagi diperjualbelikan secara bisik-bisik di sudut-sudut kampus dan kompleks Taman Ismail Marzuki. Sampai saat ini, Kejaksaan Agung pun tampaknya belum bersikap apa-apa terhadap peristiwa ini.
Memang mantan Jaksa Agung Andi Ghalib pernah mencabut pelarangan beberapa buku, pada Agustus 1998, misalnya buku Rakyat Menggugat karya Muchtar Pakpahan, Saya Musuh Politik Soeharto karya Sri Bintang Pamungkas, dan Prima Dosa karya Wimanjaya. Sayangnya, dasar pembebasan pelarangan itu tidak jelas. Menurut Soehandoyo, Kepala Humas Kejaksaan Agung, masa itu, pencabutan pelarangan tersebut merupakan perwujudan dari Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat. "Tampaknya, semua itu lebih dilandasi pertimbangan politis," tutur Maruto M.D., Direktur PT Pustaka LP3ES.
Aturan main pelarangan buku selama Orde Baru memang tidak pernah jelas. Sesungguhnya, lembaga yang berhak melarang adalah Kejaksaan Agung, sesuai dengan UU Nomor 5/1991 tentang Kejaksaan Agung (pengganti UU Nomor 15/1961), yang antara lain mengatur soal pelarangan buku.
Pihak penerbit diwajibkan menyerahkan buku kepada kejaksaan tiga hari sebelum buku itu diedarkan. Lalu, sebuah badan yang bernama clearing houseyaitu tim yang dikepalai oleh Jaksa Agung dan beranggotakan pihak kejaksaan, intel, Departemen Penerangan, dan Departemen Agamabertugas memberikan rekomendasi atas isi buku itu. Jika buku tersebut berisi sesuatu yang meresahkan masyarakat, bermuatan pertentangan ras dan agama serta ideologi komunisme, palu pun diketuk, buku dilarang.
Tapi itu teori. Prakteknya lain. Pelarangan buku bisa dilakukan oleh lembaga di luar kejaksaan. Menurut data yang dikumpulkan lembaga swadaya masyarakat ElsamLembaga Studi dan Advokasi Masyarakatternyata aparat keamanan, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, serta badan intelijen militer pernah melarang penerbitan dan peredaran berbagai buku. Buku Demokrasi di Balik Keranda, misalnya, dilarang oleh Panglima ABRI pada 1993.
Cara pelarangannya pun tidak selalu dengan surat pemberitahuan. Ada penerbit buku yang hanya mendapatkan informasi perihal pelarangan bukunya melalui media massa. Pelarangan Kapitalisme Semu Asia Tenggara terbitan LP3ESsempat beredar selama setahun, sebelum dilarang pada September 1991hanya diketahui penerbitnya melalui media. Lalu, Direktur PT Pustaka LP3ES Maruto M.D. mendapat "kunjungan" orang kejaksaan yang datang tanpa surat perintah dan menyita buku yang masih tersisa di gudang.
Hal lain yang sering merepotkan adalah soal interpretasi isi buku. Contohnya buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, yang diterbitkan pada awal 1980-an. Buku tersebut baru dilarang oleh Jaksa Agung Ismail Saleh setelah tujuh bulan beredar di pasaran. Padahal, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo serta Menteri Kehakiman Ali Said menyatakan buku tersebut tidak ada apa-apanya dan tidak mengandung ajaran Marxisme-Leninisme.
Nah, jika aturan main pelarangan itu tak jelas, lalu apa yang dipakai oleh penerbit dan pengarang sebagai patokan?
Menurut Maruto, yang penting adalah kepekaan terhadap isu-isu sensitif. Di masa itu, jika buku-buku tersebut menyangkut keluarga Soeharto dan keluarga pejabat, pihak penerbit harus hati-hati. Buku Kapitalisme Semu, terjemahan dari The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia, misalnya, mengalami beberapa penyesuaian seperti nama-nama pejabat yang hanya disajikan dengan inisial nama saja. "Pokoknya, kami melakukan semacam self censorship," kata Maruto.
Editor Hasta Mitra, Joesoef Isak, yang biasa menyunting buku-buku Pramoedya, lebih terlatih untuk menyiasati situasi. Ia sengaja menerbitkan karya-karya Pram pada hari Jumat. Dengan demikian, pihak kejaksaan tidak menengarai hingga hari Senin berikutnya.
Perlukah pelarangan buku dicabut saja di masa reformasi ini?
Menurut Aristides Katoppo, Direktur Utama Pustaka Sinar Harapan, pihak kejaksaan masih perlu melakukan pemantauan atas buku-buku yang beredar. Namun, jika sebuah buku akan dilarang, keputusan itu tak bisa dijatuhkan begitu saja, tapi harus melalui proses peradilan. "Model pelarangan yang seperti inimain larang tanpa proses peradilanharus dihapus," kata Aristides.
Sementara itu, M. Yusuf Kartanegara, Jaksa Agung Muda Intelijen, mengakui bahwa pihaknya dan tim clearing house sedang melakukan pembaruan rumusan soal pelarangan. "Dalam satu-dua hari ini, hasilnya akan disampaikan kepada Jaksa Agung Marzuki Darusman," kata Yusuf kepada TEMPO, Rabu pekan lalu.
Sayangnya, Yusuf tidak menjelaskan rincian perubahan pelarangan buku. Yang pasti, berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966 tentang pelarangan ajaran Marxisme dan Leninisme, buku yang berkaitan dengan kedua ajaran itu agaknya masih akan dilarang. Ini memang lucu. Sebab, buku-buku itu toh sudah membanjiri toko buku dan, sejauh ini, belum ada "revolusi" apa-apa yang dikhawatirkan oleh mereka yang begitu ngeri akan ajaran Marxisme.
Pihak kejaksaan masih bersikukuh bahwa aturan tetap aturan. "Kejaksaan bisa melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan ketentuan terhadap buku-buku tersebut," kata Yusuf.
Ketimbang hanya berkutat dengan kasus Soeharto yang berliku-liku, mungkin ada baiknya Jaksa Agung Marzuki menyelesaikan persoalan yang "lebih mudah", misalnya mencabut larangan peredaran buku-buku. Paling tidak, pekerjaan rumah yang dibebankan pada dia akan berkurang satu buah.
Bina Bektiati dan Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo