JARANG-jarang Syahril Sabirin datang terlambat ke kantornya. Kalau tak ada hal penting, umpamanya dipanggil DPR, ia selalu hadir pagi sekali. Tapi Jumat dua pekan lalu, sehari setelah dinyatakan bebas oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, Gubernur Bank Indonesia ini masuk agak siang. Sepanjang hari itu wajahnya dilumuri keceriaan.
Kesemringahannya terus terpancar saat ia menggelar konferensi pers seusai salat Jumat. Sampai-sampai ia enggan menjawab pertanyaan di luar soal vonis. Di luar dugaan, Syahril pun berjanji akan mengadakan acara serupa setiap pekan di hari yang sama. Biasanya wartawan hanya bisa mencegat dia di pelataran masjid, di bawah sengatan sinar matahari.
Syahril layak bahagia. Putusan bebas dari pengadilan tinggi sekaligus membatalkan vonis bersalah dan hukuman tiga tahun penjara atas dirinya yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Maret lalu. Ia menyusul Joko S. Tjandra, terdakwa kasus yang sama, yang juga dibebaskan pengadilan.
Semula Syahril divonis bersalah karena menubruk prinsip kehati-hatian dalam mengelola Bank Indonesia. Dia membantu mengeluarkan pencairan tagihan Bank Bali terhadap PT Bank Dagang Nasional Indonesia sebesar Rp 904, 6 miliar. Padahal lebih dari setengah jumlah tersebut masuk ke kantong para perantara. Soalnya, pencairan uang itu melibatkan PT Era Giat Prima milik Joko Tjandra dan Wakil Bendahara Golkar Setya Novanto melalui perjanjian pengalihan penagihan (cessie). PT Era sempat mengantongi Rp 546 miliar sebelum akhirnya dibatalkan lewat putusan Mahkamah Agung.
Tapi hakim pengadilan tinggi menilainya lain. Terdakwa dianggap sudah menjalankan sikap kehati-hatian. Buktinya, ia sempat mengadakan rapat direksi untuk memutuskan pencairan dana itu pada 24 September 1998. Walaupun pencairannya dilakukan di atas tenggat kliring pukul 20.00, menurut majelis hakim, tidak ada yang patut dicurigai. Sebab, pembayaran klaim Bank Bali pada 1 Juni 1999 tersebut dilakukan bukan secara tunai, melainkan berupa pemindahbukuan.
Jadi? Unsur perbuatan melawan hukum dan memperkaya diri sendiri—seperti yang dituduhkan jaksa kepada Syahril—menurut hakim pengadilan tinggi, tidak terbukti. Karena itulah terdakwa dibebaskan dari segala tuduhan.
Menanggapi putusan itu, Kejaksaan Agung mengajukan kasasi. Pihak kejaksaan menilai Syahril tetap bersalah karena menyelewengkan wewenangnya. Menurut juru bicara Gedung Bundar, Barman Zahir, dia seharusnya mencegah klaim pencairan tersebut. Apalagi sebelumnya sudah ada surat dari Firman Sucahya, anggota direksi Bank Indonesia, untuk meminta izin pencairan tersebut.
Dalam persidangan, terdakwa memang mengaku tidak tahu-menahu soal surat dari direksi itu. Tapi di persidangan pula terbukti bahwa klaim pencairan berlangsung sampai pukul 22.00, beberapa belas jam setelah Firman mengirimkan surat permintaan pada pagi harinya.
Dengan adanya kasasi, akan diuji lagi oleh Mahkamah Agung apakah Syahril benar-benar tidak bersalah. Soalnya, kata Jaksa Yan W. Mere, yang menjadi persoalan sebetulnya bukan masalah pencairan dananya. "Terdakwa kami nilai bersalah karena tidak hati-hati. Dia tahu ada permintaan pencairan dana, tapi diam saja," ujar Yan.
Hanya, menurut ahli perbankan Pradjoto, dakwaan jaksa sendiri terlalu lemah. Seharusnya mereka memeriksa secara tajam apakah Syahril terlibat langsung sebagai mediator pencairan dana Bank Bali atau tidak. Sejak semula dia sudah menduga Gubernur Bank Indonesia itu bakal menari-nari. Apalagi pelaku utamanya seperti Joko S. Tjandra telah lebih dulu melenggang bebas. "Syahril kan cuma figuran dalam kasus ini," katanya kepada Nezar Patria dari TEMPO.
Sebetulnya ada petunjuk bahwa Syahril telah memanfaatkan jabatannya buat membantu pengucuran dana itu. Buktinya, batas waktu kliring diperpanjang agar permintaan pembayaran tagihan antarbank itu dipenuhi. Mengapa majelis hakim tinggi tidak melihat aspek ini?
Wicaksono, Bagja Hidayat, S.S. Kurniawan (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini