Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah Jeda di Paviliun Indonesia

Untuk pertama kalinya Indonesia memiliki paviliun di Biennale Arsitektur Venesia.

7 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruangan seluas 500 meter persegi itu gelap. Kelebatan cahaya sesekali muncul dari proyeksi gambar-gambar yang dipantulkan atas sebidang kaca panjang yang membelah ruang. Lalu terdengar suara monoton: ketukan-ketukan seorang tukang yang tengah bekerja. Setelah pengunjung berjalan keluar-masuk 27 paviliun nasional di Arsenale Venesia, paviliun Indonesia, "Ketukangan: Kesadaran Material", terasa menyiramkan atmosfer lain. Semacam jeda meditatif reflektif, untuk sesaat diam, menyimak, dan menerima semua yang terjadi.

Ini pertama kalinya Indonesia diundang ikut berpartisipasi dalam pameran arsitektur internasional, Biennale Arsitektur Venesia. Tim Kurator Indonesia—Avianti Armand, Setiadi Sopandi, David Hutama, Robin Hartanto, dan Achmad D. Tardiyana—merespons permintaan kurator Biennale Arsitektur Venesia ke-14, Rem Koolhaas, untuk tema "Absorbing Modernity: 1914-2014", dengan menitikberatkan soal ketukangan dan kesadaran materi.

"Kami ingin membedah sejarah arsitektur Indonesia, bukan dari evolusi tipologi bangunan, melainkan dari evolusi elemen-elemen yang membuat arsitektur bertumbuh, berkembang, dan berubah," demikian Avianti Armand menjelaskan. Lewat enam materi arsitektur, yakni kayu, batu, bata, baja, beton, dan bambu, pameran itu memaparkan dialektika yang selama ini nyaris abadi dalam sejarah kerja arsitektur Indonesia: ketukangan. Di sini, ketukangan diredefinisi sebagai nilai hidup dalam berkarya. Jadi bukan sekadar sebentuk keterampilan, yang selama ini secara serampangan dirumuskan sebagai kerja fisik tanpa otak yang bisa dilakukan siapa saja.

Dengan memakai instalasi kaca transparan—untuk mencapai kesan hologram—diproyeksikan gambar-gambar enam materi di atas berdialektika dengan ketukangan. Setiap materi menempati sebuah bidang kaca. Publik dapat melihat bagaimana materi-materi itu menjadi bagian penting dalam sejarah arsitektur Indonesia selama seratus tahun. Pada kayu, misalnya, selain ada pemaparan tentang 60 jenis kayu industri yang biasa dipakai di Indonesia, dipaparkan bagaimana kayu, materi penting arsitektur Indonesia, pernah terpinggirkan.

Ada hal-hal menarik dalam presentasi itu. Misalnya, diterangkan bahwa pada awal abad ke-20, seiring dengan ethische politiek, pemerintah kolonial Belanda mencanangkan program kebersihan dan kesehatan penduduk jajahannya. Seseorang bernama Mas Sasrasudirja menerbitkan Serat Balewarna (1926). Buku itu membawakan pengaruh "lain" dalam pemahaman masyarakat Jawa tentang huniannya. Sasrasudirja menilai rumah tradisional kurang sehat, kurang baik, dan kurang awet. Yang terjadi kemudian, bangunan-bangunan tradisional kayu atau bambu diganti oleh gedung-gedung Belanda yang punya standar baru.

Kendati begitu, kedudukan kayu dalam arsitektur Indonesia ternyata tak semudah itu digeser habis. Pada 1992, arsitek Y.B. Mangunwijaya memenangi Aga Khan Award for Architecture untuk karya perencanaan permukiman dan pendampingannya di Kali Code. Mangunwijaya, lulusan Rheinisch-Westfaelische Technische Hochschule Aachen, Jerman, banyak bereksperimen dengan detail-detail konstruksi kayu dalam upaya menyelesaikan masalah iklim dan meningkatkan keterampilan tukang. Papan-papan kayu ia gunakan pada hampir seluruh sistem struktur dan konstruksi Wisma Kuwera dengan keterampilan tektonika yang tangguh.

Tahun lalu, rumah adat berbentuk kerucut dari masyarakat Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur, dinominasikan sebagai salah satu kandidat pemenang dalam putaran Aga Khan Award for Architecture. Pada rumah adat ini, diperlihatkan bagaimana kaso-kaso bambu, jerami, dan kayu dengan terampil dibuat oleh warga Wae Rebo.

Pada 27 Mei 2006, ketika gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter melanda Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam hitungan 57 detik, rumah-rumah penduduk seketika ambruk. Tak terkecuali rumah pedesaan, yang umumnya dibangun dengan bahan kayu, seperti di Desa Ngibikan, Bantul, Yogya Selatan. Tapi, karena rumah-rumah itu dibuat dari kayu, masa pemulihan pascagempa berlangsung lebih cepat dibanding rumah-rumah yang dibangun dengan cara arsitektur modern.

Kepala salah satu rukun warga di Desa Ngibikan, Maryono, yang juga mandor tukang kayu, berinisiatif membangun desanya, bersama arsitek Eko Prawoto. Dengan dana bantuan yang terbatas, mereka merancang sebuah sistem kuda-kuda sederhana yang terbuat dari kayu gelugu atau batang kelapa yang murah dan gampang dijumpai. Sistem tersebut sangat sederhana dan dapat dilakukan dengan keterampilan pertukangan yang banyak dikuasai masyarakat setempat. Solusi yang diperoleh Maryono adalah memberi pelajaran penting tentang ketukangan dan kesadaran materi berdasarkan konteks ruang kebutuhan dan waktu.

Dengan duduk di kursi yang disediakan di depan sebidang kaca transparan, publik mendapat informasi yang kaya dan luas. Takashi Nakamura, pengunjung asal Jepang, tampak sabar menunggu ketika salah satu bidang kaca seketika gelap dan kerja tak bisa berlanjut. "Saya masih penasaran," ujar lelaki itu. Nakamura, yang tengah menikmati masa pensiunnya dengan jalan-jalan ke kota-kota kebudayaan di Eropa, mengaku dengan sengaja melihat paviliun negara-negara Asia.

"Indonesia menarik bagi saya terutama soal kayu dan bambu, materi yang sering digunakan di Jepang," katanya. Ia terkesan oleh ketukangan rumah-rumah tradisional Indonesia, juga penggunaan materi dan ketukangan yang sangat kreatif di Candi Trowulan. "Sayangnya, tak ada bahan semacam buku atau film yang bisa saya bawa untuk dilihat di rumah," ujarnya.

Pasangan Ed dan Aafke de Jong dari Belanda, pengunjung lain, terlihat menunjuk gambar Candi Borobudur yang tengah dipresentasikan. Mereka mengaku memang berencana datang ke paviliun Indonesia. "Kami berdua lahir dan pernah hidup di Indonesia, di Jawa dan Bali," kata Ed, 72 tahun, mantan jurnalis sebuah koran terkemuka di Belanda. Mereka tampak mengikuti satu demi satu pemaparan yang dikedepankan "Ketukangan: Kesadaran Material" sambil membuat catatan-catatan. Kendati tampak kurang energetik dan hanya mengandalkan satu media penyampaian, walhasil "Ketukangan: Kesadaran Material" cukup mengesankan.

Lea Pamungkas (Venesia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus