Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah Kenangan Indah

Film tentang orang-orang yang terpaksa meninggalkan kampung halaman, pergi ke tanah hitam Afrika. Tentang identitas dan keterasingan.

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nowhere in Africa (2002)
Skenario dan Sutradara: Caroline Link, berdasarkan novel Stefanie Zweig
Pemain: Juliane Köhler, Merab Ninidze, Matthias Habich, Sidede Onyulo Karoline Eckertz, Lea Kurka.

Di sebuah kota di Jerman, seorang ibu sedang bermain salju dengan anaknya. Di sebuah kota di Kenya, seorang lelaki sedang terkapar di tempat tidur didera malaria. Namun keceriaan digambarkan dengan sangat dingin dan berjarak, sementara kematian tampil begitu cantik. Inilah adegan-adegan awal film Caroline Link, Nowhere in Africa, yang akan diputar pada pembukaan Jakarta International Film Festival (JiFFest) pekan ini.

Film ini berkisah tentang sebuah keluarga Yahudi Jerman yang melarikan diri ke Kenya pada 1938. Walter (Merab Ninidze) meninggalkan Jerman dan profesinya sebagai pengacara, dan berada di Kenya. Karena menduga iklim Eropa akan memburuk dengan kekuasaan Hitler yang mulai merajalela, Walter menyurati istrinya, Jettel (Juliane Köhler), yang masih enggan meninggalkan kehidupan mewahnya di Breslau, Jerman. Dalam suratnya, Walter mengingatkan agar Jettel membawa lemari es dan tidak membawa porselen karena tak akan berguna untuk kehidupan baru mereka.

Cerita yang diambil dari novel autobiografi Stefanie Zweig ini tidak berbicara tentang pembantaian kaum Yahudi di Eropa. Juga tak bercerita tentang kolonialisme atau eksotisme Afrika, tidak juga soal perang. Nowhere in Africa bercerita tentang persoalan yang lebih luas: keterasingan dan identitas, yakni ketika keduanya ditarik keluar dari ajang politik dan ditampilkan dalam pengalaman-pengalaman pribadi para tokohnya. Itulah saat Walter, Jettel, dan anak mereka, Regina (Lea Kurka/Karoline Eckertz), terpaksa memulai hidup baru di tanah asing yang jauh dari kampung halaman.

Perkawinan Jettel dan Walter mulai bermasalah akibat tatanan yang mereka kenal selama ini berubah ketika lingkungan hidup mereka berubah. Di Jerman, semua teratur, dan setiap orang mengenal perannya. Di Afrika, semua serba tak terduga, dan keluarga Walter harus belajar mengenal diri masing-masing kembali.

Pengembangan karakter dalam film ini digambarkan dengan prima. Pada awalnya kepada penonton ditawarkan tokoh-tokoh yang sangat hitam-putih. Walter adalah lelaki halus dan sopan yang memperlakukan semua orang dengan ramah. Ia rajin berbicara Swahili dengan si tukang masak Owuor (Sidede Onyulo), seakan ia siap menghabiskan hidupnya di Afrika. Sebaliknya, Jettel tiba di Kenya tanpa lemari es, tapi komplet dengan porselen pecah-belah dan gaun malamnya. Ketika Owuor mencoba mengajari Jettel kata-kata Swahili, perempuan itu mengatakan bahwa sebaiknya Owuor belajar dulu bahasa Jerman kalau ingin berbicara kepadanya.

Waktu terus bergulir, dan Jettel pelan-pelan membuka matanya pada realitas. Ia bekerja di ladang dan mulai menghargai Owuor sebagai seorang teman. Penonton juga menyaksikan Walter sebagai seorang survivor yang diam-diam merindukan tanah kelahirannya.

Nowhere in Africa diceritakan dari sudut pandang bocah kecil, Regina, yang sejak awal berkata lewat narasi bahwa dia tak terlalu ingat dengan negara asalnya. Ia adalah satu-satunya karakter yang jatuh cinta pada Afrika pada pandangan pertama. Ia bermain dengan anak-anak sebayanya, dan membuka hati pada filsafat hidup dan dunia magis daerahnya. Roh Regina menyatu dengan tanah, dan sudut pandang inilah yang diterjemahkan dalam sinematografi Gernot Roll. Afrika muncul dalam berbagai wide-shot dengan gerakan kamera yang meliuk bebas. Adegan-adegan dengan setting Kenya tampil dengan warna-warna hangat seperti merah, jingga, dan cokelat tanah, sementara warna dalam sekuen-sekuen Jerman cenderung lebih dingin dan gelap seperti biru dan abu-abu. Shot-shot kamera pun berkesan lebih kaku dan sempit.

Sangat sulit membahas cerita dalam film ini karena sesungguhnya tak banyak yang terjadi dalam Nowhere in Africa. Walaupun keluarga mereka sempat terpisah karena perang, dan ladang mereka pernah diserang wabah, konflik-konflik internal terjaga baik di bawah permukaan. Kalaupun muncul sesekali, itu tak pernah meledak-ledak. Seperti film Link yang sebelumnya, Beyond Silence, tentang seorang anak yang lahir dari orang tua yang bisu tuli, Nowhere in Africa merupakan film yang bersuasana sunyi. Regina tak sepenuhnya mengerti persoalan-persoalan yang terjadi di sekelilingnya, tapi ia memilih untuk menceritakannya sebagai kenangan indah.

Rayya Makarim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus