Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tadashi Suzuki: Ini Kisah Pemimpin Agama Melawan Penguasa Negara

TADASHI Suzuki sama sekali tak terlihat capek.

29 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tadashi Suzuki: Ini Kisah Pemimpin Agama Melawan Penguasa Negara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TADASHI Suzuki sama sekali tak terlihat capek. Di tengah terik panas Yogyakarta, ia turun langsung mengobservasi panggung terbuka sendratari Ramayana di Prambanan, tempat pementasan Dionysus bakal dilaksanakan pada Oktober tahun depan. Ia tampak suka dengan trap di tengah panggung. Ia menyuruh Chieko Naito, pemain Agave, mencoba turun dari atas. Nantinya Chieko, dengan membawa kepala Pentheus, akan muncul pertama kali di ketinggian trap dengan latar belakang bayang-bayang Prambanan itu.

Tatkala latihan, Suzuki juga sangat teliti. Berulang kali ia memperagakan langsung cara mengayunkan pedang samurai. Dia tak segan-segan menekan perut Jamaludin Latif, pemeran Cadmus, dengan tongkat agar suara yang keluar lebih dalam. Di sela latihan yang keras, dia memberikan waktu untuk berbincang-bincang. Bagaimana pemikiran dia tentang naskah Dionysus? Bagaimana dia melihat tubuh-tubuh aktor Indonesia? Berikut ini petikan wawancara wartawan Tempo Seno Joko Suyono dengan Tadashi Suzuki.

Anda terlihat memiliki tafsiran sendiri tentang Dionysus karya Euripides....

Euripides sangat kuat dalam menceritakan pertikaian antarmanusia. Karya-karya dramawan Yunani kuno sebelum dia, Sophocles dan Aeschylus, lebih menampilkan nasib manusia berhadapan dengan dewa, takdir manusia berhadapan dengan Zeus, dan sebagainya. Sophocles dan Aeschylus lebih mengolah mitos. Sedangkan tragedi Euripides adalah tragedi antarmanusia, misalnya Trojan Woman. Saya melihat demikian juga dengan naskah Dionysus. Dalam naskah ini, Tuhan baru muncul sebagai sosok manusia. Saya melihat naskah ini berbicara mengenai para pemimpin kelompok keagamaan yang percaya Dionysus melawan penguasa Thebes Pentheus, sebagai simbol kekuatan politik. Enam pendeta mewakili para pemimpin agama Dionysus.
Pentas Dionysus menggunakan delapan bahasa daerah Nusantara....
Dunia ini terdiri atas berbagai macam suara. Tapi sekarang ini makin menjurus ke satu bahasa. Maka, menurut saya, lebih bagus ada pentas dengan berbagai ragam bahasa. Apalagi sekarang sudah ada subtitle. Penonton tak perlu takut. Pertama kali saya menampilkan pementasan multibahasa pertunjukan King Lear karya Shakespeare. Pentas itu menggunakan enam bahasa, yaitu Jerman, Italia, Inggris, Jepang, Cina, dan Korea. Saya pernah mengajar di Julliard School, New York, Amerika Serikat. Murid-murid Amerika saya kemudian datang ke Jepang. Awalnya saya membuat pertunjukan dua bahasa, Jepang-Inggris. Bahkan mula-mula saya pasang orang Amerika untuk pemeran Pentheus. Sekarang pertunjukan saya pun ada yang menggunakan bahasa Rusia. Indonesia memiliki bahasa daerah yang kaya. Saya bisa merasakan perbedaan bahasa itu. Naik-turun intonasinya menarik.
Bagaimana Anda melihat Cadmus yang berbahasa Jawa? Cocokkah?
Begini, bila aktor telah berlatih metode Suzuki dengan benar, dia tak lagi akan mengucapkan kalimat seperti bahasa keseharian. Cara pengucapan kalimat, intonasi, dan sebagainya akan berubah. Bahasa apa pun akan terdengar bagus bila seseorang telah menguasai metode teknik Suzuki. Anda lihat Tian Chong, aktor Cina yang memerankan Pentheus, pengucapannya jernih, jelas tanpa dilebih-lebihkan. Dia perlu berlatih keras dengan sistem saya selama lima tahun. Saya masih melihat bahasa-bahasa Nusantara yang digunakan aktor Indonesia belum masuk sepenuhnya dalam metode Suzuki. Penggunaan metode Suzuki belum masuk secara maksimal. Ini butuh latihan terus. Grammar tubuh harus dimatangkan. Bila pengucapan Jamal masih terdengar aneh, itu wajar. Awalnya Tian Chong juga begitu. Juga aktor-aktor saya yang lain. Monoton, suara dibesar-besarkan, terlalu emosional. Apalagi bila latihannya setengah-setengah. Pasti kalimat-kalimatnya nanggung. Saya melihat Jamal masih berfokus terlalu mengejar Tian Chong yang sudah jadi. Akibatnya, kata-kata masih cenderung dibesar-besarkan. Kebebasan dan nuansa bahasanya berkurang. Dia berpikir suara harus lebih kuat, lebih kuat lagi agar setara dengan Tian Chong. Tapi prosesnya memang harus begitu. Saya melihat perkembangannya bagus. Akan saya gembleng lagi di Jepang.
Metode Suzuki bertumpu pada kekuatan kaki. Bisa Anda jelaskan?
Kekuatan kaki itu ada tiga hal. Pertama, untuk keseimbangan. Kedua, untuk kestabilan. Ketiga, untuk sistem napas. Apa pun bentuk tubuhnya, aktor harus bisa mengontrol titik berat tubuhnya. Dia harus bisa mengatur udara yang dihirup agar suaranya bagus. Aktor itu seperti atlet. Bedanya, aktor harus sambil mengucapkan dialog. Bila Anda lihat pelari seratus meter, saat lari tubuhnya tidak naik-turun. Tubuhnya tidak goyang. Itu kenapa? Karena ia tidak memakai energi yang tidak perlu. Economical.
Itu yang tadi saya lakukan kepada Jamal. Saya mau mengecek keseimbangan tubuhnya. Dia masih goyang-goyang. Napasnya juga belum dalam. Hasilnya energinya kurang keluar. Tubuh aktor itu harus seperti mesin mobil yang bagus. Makin mewah mobil, makin cepat dia, makin stabil jalannya, tapi makin memiliki efisiensi bahan bakar. Metode Suzuki ingin tubuh aktor memiliki "mesin" demikian.
Saya tadi menyuruh Jamal ngomong lebih cepat dengan berbagai variasi kaki, dari jongkok jinjit, berdiri setengah, dan sebagainya. Saya hanya ingin melihat apakah dia seimbang atau tidak. Saya ingin melihat kemampuannya sejauh mana. Speed-nya saat dari jongkok ke berdiri. Apakah dia sudah mengontrol energi secara efektif.
Aktor-aktor Anda dikenal memiliki "stillness", kekuatan diam yang dalam....
"Stillness" itu ibarat kondisi mengerem mobil. Diam itu bukan keadaan rileks. Diam itu bukan mematikan engine. Aktor mengerem tubuhnya. Energinya masih ada. Tidak dimatikan. Energinya justru terpancar.
Anda belajar semua kekuatan kaki ini dari teknik kabuki, noh, dan kyogen?
Sama sekali tidak. Ini salah pemahaman. Dulu aktor-aktor tradisi kabuki, noh, dan kyogen memiliki energi yang luar biasa. Sekarang saya melihat mereka berlatih hanya berdasarkan ketukan. Begitu juga aktor-aktor Opera Peking. Saya melihat terjadi kemunduran dengan mereka. Levelnya semakin turun. Itu karena mereka tidak lagi mau berlatih keras sehingga tidak bisa meneruskan energi tradisi dengan baik. Banyak aktor noh, kabuki, dan kyogen malah belajar ke saya sekarang.
Anda dikenal mengkritik metode keaktoran Stanilavski....
Saya belajar metode itu di Waseda University pada 1960-an. Pengaruh Stanilavski kuat saat itu di Jepang. Tapi saya kemudian melihat kelemahan dasar sistem ini. Sistem Stanilavski terlalu mementingkan psikis manusia. Saya melihat sistem ini terlalu sempit. Banyak area yang tak bisa diekspresikan. Dengan sistem ini, sulit, misalnya, untuk memberikan imajinasi terhadap hal yang tak terlihat, seperti pada naskah-naskah klasik Jepang, yang penuh dengan tokoh dewa dan hantu-sesuatu yang menurut saya tidak bisa didekati dengan sistem psikis. Juga karya Shakespeare. Kalimat-kalimat dan dialog dalam naskah Shakespeare bukan percakapan sehari-hari. Kalimat Shakespeare sangat puitis. Sangat musikal. Itu tidak bisa didekati dengan pendekatan psikis sehari-hari Stanilavski. Yang paling membutuhkan sistem Stanilavski adalah Hollywood. Tapi yang menarik adalah saat saya sepuluh tahun lalu mementaskan King Lear di Moskow, Rusia, saya malah mendapat Stanilavski Award. Banyak yang kaget. Aktor-aktor Moskow kini semakin mengakui ada yang kurang dalam metode Stanilavski.
Bagaimana dengan pendekatan Jerzy Grotowski atau Eugieno Barba?
Grotowski teman baik saya. Dia beberapa kali melihat latihan saya di Jepang. Grotowski juga melihat unsur diam dalam teater saya sangat terasa energinya. Akan halnya Barba, tulisan-tulisannya menarik. Pemikirannya dekat dengan ide-ide saya. Tapi, di panggung, saya melihat pementasan Barba tidak ada energinya. Dia memasukkan budaya dari berbagai macam negara. Tari tradisional Bali atau apa. Itu agak curang, ha-ha-ha.... Itu fake. Dia ambil bentuknya saja. Permukaannya saja. Wilson teman paling dekat saya. Dia itu visualnya kuat. Panggung dibuat seperti lukisan. Aktor adalah properti . Saya yang pertama mengajak Wilson masuk ke Jepang.
Bagaimana perkembangan teater kontemporer di Jepang saat ini?
Begini. Anak-anak muda Jepang sekarang ini terlalu menggunakan bahan keseharian masyarakat Jepang. Persoalan sehari-hari masyarakat modern Jepang dijadikan dasar percakapan-percakapan bahkan curhat di panggung. Saya melihat tema yang ditampilkan terlalu masuk ke Jepang seharian. Tapi kurang bisa diangkat untuk ranah yang lebih luas. Kalau Dionysus, jauh dari keseharian Jepang. Saya kira konflik antara kelompok keagamaan dan politik ada di berbagai sudut dunia. Ini permasalahan manusia secara keseluruhan. Dalam teater Jepang masa kini, problem global ini yang tidak muncul.
Metode Anda ini didesain khusus untuk tubuh Jepang?
Sama sekali tidak. Metode Suzuki saya peruntukkan bagi semua aktor teater dunia. Di kurikulum beberapa kampus teater Amerika sekarang, diajarkan metode Suzuki. Juga di Cina. Pernah ada 27 aktor dari suatu universitas negeri di Beijing dikirim pemerintah Cina untuk belajar sistem keaktoran saya di Jepang. Juga pemerintah Amerika pernah memberi beasiswa para pengajar dari berbagai macam universitas Amerika ke Toga untuk belajar metode saya. Mereka semua itu setelah belajar saya beri lisensi.
Apakah metode Anda cocok untuk orang Indonesia?
Anda tahu Julie Taymor, kan? Dia sutradara Lion King di Broadway. Dia dulu lama tinggal di Indonesia. Dia sering datang ke tempat saya di Toga, Jepang. Dia yang pertama kali bilang ke saya bahwa metode Suzuki itu bisa cocok dengan penari-penari atau aktor Indonesia. "Anda harus melatih penari dan aktor-aktor dari Indonesia," katanya. Saya belum tahu apakah nanti metode saya bisa dikenal di masyarakat teater Indonesia secara luas. Tapi sejauh saya lihat dengan latihan proyek Dionysus memang ada kecocokan. Semoga ini bisa bermanfaat bagi orang Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus