DOLLY
Oleh: Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar.
Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1983, 181 halaman.
ASALAH pelacuran sering sekali ditanggapi dengan semacam morbid
fascination -- dengan kejijikan tetapi sekaligus penuh
keasyikan. Perumpamaan pelacuran dengan riool -- sesuatu yang
jorok tapi perlu -- mungkin kurang tepat. Karena bila riool cuma
berfungsi membuang kotoran sedang pelacuran agaknya mempunyai
fungsi yang jauh lebih bervariasi, dan juga lebih menarik.
Galang gulung selama empat tahun di kompleks pelacuran Gg.
Dolly, Tjahjo Purnomo, yang menghasilkan sebuah skripsi sarjana
dari sana, "membedah" berbagai sisi maupun ironi kehidupan
pelacur sebagai kelompok sosial yang sering menjadi korban
prasangka masyarakat. Dan dengan bantuan Ashadi Siregar, novelis
terkenal itu, ia menyulap persyaratan akademis tersebut menjadi
"bacaan segar" yang dapat dinikmati umum.
Kita diperkenalkan kepada kota pesisir dan pusat perdagangan
Surabaya, kota terbesar sesudah Jakarta, dengan berbagai lapisan
masyarakatnya. Pelayanan pelacuran yang ada pun terhagi berbagai
tingkat -- mulai dari tarif ratusan ribu di hotel-hotel mewah
sampai kepada pelacur tingkat rendah yang memberikan "servis"
kepada tukang becak dengan bayaran Rp 100.
Dengan metode observasi partisipan, penulis melakukan pengamatan
khusus atas kompleks pelacran Dolly sebagai studi kasus. Dari
hasil studi empirisnya ini kita mengetahui berbagai aspek,
kebiasaan, tatanan, peraturan, nilai, serta etika di dalam
komuniti kecil ini. Peran-perannya jelas: germo sebagai pemilik
dan pengusaha, gali, dan preman sebagai penjaga keamanan dan
kestabilan, para penjaja keliling, yang menjual makanan sampai
kepada tukang foto dan tukang cat kuku sebagai penyalur komoditi
dan jasa, serta para pelacur yang menjadi pusat dari semua ini.
Wanita-wanita desa yang, terutama, karena alasan-alasan ekonomi
memilih profesi menjalankan "perbuatan seks yang dikurung dalam
hubungan jual beli agar terpisah perasaan" (hlm. 148) sebenarnya
bagai "ikan yang tertangkap dalam bubu" (hlm. 149). Sedang Gg.
Dolly sesldiri adalah sebuah "pulau" yang "aman tapi penuh
ancaman" (hlm. 54), yang sesekali disinggahi orang luar -- jika
ada keperluan tentunya. Bagi para pelacur, kompleks Dolly adalah
di mana "impian-impian yang bertolak dari lapar menumbuh dalam
pola hidup yang serba dpaksakan" (hlm. 148).
Penggambaran secara etnografis dalam buku ini memberikan
gambaran yang cukup baik tentang struktur fisik maupun sosial
dari masyarakat Gg. Dolly. Tapi penggambaran suasana terasa
terlalu terkontrol -- tidak terasa menyeruak tabir kepelacuran
serta aspek-aspek kemanusiaannya. Kehinaan kepedihan, konflik
batin, serta keletihan para pelacur terasa dingin saja.
Upaya Tjahjo untuk menelaah dan menjawab maksud-maksud yang
diutarakannya dalam pendahuluan kurang tercapai mungkin juga
karena terlalu banyak sehingga tak terfokus dan kehilangan arah.
Tentang penutup ("sebuah refleksi" -- hlm. 147) hampir-hampir
sekadar merupakan sambungan dari prakatanya. Padahal antara
halaman 17 dan 147 itu terdapat begitu banyak keterangan yang
(seolah-olah) berpretensi menjawab berbagai hal. Termasuk
berpuluh-puluh tabel, yang seyogyanya buat orang awam
diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia sehari-hari
sajalah karena lama-lama memang mengganggu juga.
Tampaknya Tjahjo terjerat metodologi akibat kesadarannya yang
terlalu tinggi mengenai dirinya sebagai akademikus. Ia berusaha
mengambil jarak. Ia memakai kuestioner, tabel, dan interpretasi,
yang menghambatnya membuat analisa lebih mendalam.
Ia juga, misalnya, tidak berusaha menganalisa kerangka institusi
pelacuran atau struktur-struktur normatif serta sistem
tanda-tanda yang mencegah dominasi kontrol sosial dari luar.
Bagaimanapun masyarakat Dolly sarat dengan kontradiksi: ia
terbagi antara yang dieksploitasi dan yang mengeksploitasi, tapi
memiliki "solidaritas" yang cukup kuat untuk mempertahankan
pelacuran sebagai suatu lembaga. Ia cukup memberikan konteks
perkembangan sosial dan ekonomi di Indonesia, di mana banyak
wanita desa yang tergeser dari pekerjaan tradisionalnya sebagai
tani, akibat Revolusi Hijau. Akibatnya wanita terpaksa mencari
alternatif-alternatif lain di kota. Tapi keterangan ini pun
sebenarnya sudah cukup umum diketahui.
Metode observasi partisipan yang dilakukan Tjahjo juga masih
terasa berjarak mungkin untuk mengatasi semacam "culture shock"
dalam melakukan pembedahan dan penyajian kasus masyarakat Dolly.
Ia tak menggenggam obyek penelitiannya itu dengan tangan
telanjang. Tapi dengan kaus tangan steril. Sehingga akhirnya ia
memegang tapi tak menyentuh.
Memang agaknya ada keraguan dalam mengambil sikap -- penulis
mendua antara mengikuti konsepsi-konsepsi yang sudah ada tentang
pelacuran (supaya mudah dimengerti dan diterima pembaca?) dan
memecahkan miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat. Sikap ini pun
tercermin dalam gaya penulisan yang sangat tidak utuh --
berkisar antara gaya penulisan "akademis" dan gaya sebuah novel
cengeng. Ungkapan-ungkapan klise bermunculan di mana-mana
pengulangan-pengulangan yang sama sekali tak perlu maupun
over-romantisasi ("para pelacur itu layak dipandang sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa" -- hlm. 150) serta berbagai sitiran
karya-karya Rendra, Ebiet, dan Titiek Puspa yang berbau
sentimental. Kita jadinya bertanya, di mana peran sang novelis
terkenal yang sudah begitu bersedia menempatkan namanya sejajar
dengan penulis buku yang sebenarnya, yaitu Tjahjo Purnomo?
Penulis juga kadang terjebak moralisme mengapa ia sebagai
akademikus harus menggunakan istilah "dosa" (hlm. 101) bagi
pekerjaan pelacur, serta merendahkan obyek yang ingin
dijunjungnya itu ("pelacur juga manusia (sic), yang bisa
sewaktu-waktu disentuh getaran halus asmara" -- hlm. 81), yang
sebenarnya ingin dihindarinya.
Buku yang katanya, bukan apologia buat pelacur ini sebenarnya
mempunyai potensi -- baik sebagai studi suatu aspek masyarakat
yang sering dianggap "anomie" maupun sebagai "bacaan segar" yang
dikehendaki para penulisnya. Yang paling patut dipuji adalah
pelibatan, jerih payah, dan keberanian memilih toeik ini. Sayang
kadar keilmiahannya baru sampai pada deskripsi dan metodologi
dan belum sampai kepada konsep. Kesimpulan cuma terimplikasi
saja -- penulis tak mengabstraksikan penemuannya untuk
memberikan penjelasan-penjelasan mengenai kelompok yang
diselidikinya ataupun membuat teori-teori umum tentang kelompok
tersebut. Akhirnya buku ini hanya menjadi sebuah studi kasus
mengenai masyarakat Dolly dan bukan sebuah uraian sosiologis
mengenai pelacuran sebagai lembaga.
Julia I. Suryakusuma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini