Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sebuah yang tempat singgah

Pengarang: tjahyo purnomo dan ashadi siregar jakarta: grafiti, 1983 resensi oleh: yulia i suryakusuma.

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOLLY Oleh: Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar. Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1983, 181 halaman. ASALAH pelacuran sering sekali ditanggapi dengan semacam morbid fascination -- dengan kejijikan tetapi sekaligus penuh keasyikan. Perumpamaan pelacuran dengan riool -- sesuatu yang jorok tapi perlu -- mungkin kurang tepat. Karena bila riool cuma berfungsi membuang kotoran sedang pelacuran agaknya mempunyai fungsi yang jauh lebih bervariasi, dan juga lebih menarik. Galang gulung selama empat tahun di kompleks pelacuran Gg. Dolly, Tjahjo Purnomo, yang menghasilkan sebuah skripsi sarjana dari sana, "membedah" berbagai sisi maupun ironi kehidupan pelacur sebagai kelompok sosial yang sering menjadi korban prasangka masyarakat. Dan dengan bantuan Ashadi Siregar, novelis terkenal itu, ia menyulap persyaratan akademis tersebut menjadi "bacaan segar" yang dapat dinikmati umum. Kita diperkenalkan kepada kota pesisir dan pusat perdagangan Surabaya, kota terbesar sesudah Jakarta, dengan berbagai lapisan masyarakatnya. Pelayanan pelacuran yang ada pun terhagi berbagai tingkat -- mulai dari tarif ratusan ribu di hotel-hotel mewah sampai kepada pelacur tingkat rendah yang memberikan "servis" kepada tukang becak dengan bayaran Rp 100. Dengan metode observasi partisipan, penulis melakukan pengamatan khusus atas kompleks pelacran Dolly sebagai studi kasus. Dari hasil studi empirisnya ini kita mengetahui berbagai aspek, kebiasaan, tatanan, peraturan, nilai, serta etika di dalam komuniti kecil ini. Peran-perannya jelas: germo sebagai pemilik dan pengusaha, gali, dan preman sebagai penjaga keamanan dan kestabilan, para penjaja keliling, yang menjual makanan sampai kepada tukang foto dan tukang cat kuku sebagai penyalur komoditi dan jasa, serta para pelacur yang menjadi pusat dari semua ini. Wanita-wanita desa yang, terutama, karena alasan-alasan ekonomi memilih profesi menjalankan "perbuatan seks yang dikurung dalam hubungan jual beli agar terpisah perasaan" (hlm. 148) sebenarnya bagai "ikan yang tertangkap dalam bubu" (hlm. 149). Sedang Gg. Dolly sesldiri adalah sebuah "pulau" yang "aman tapi penuh ancaman" (hlm. 54), yang sesekali disinggahi orang luar -- jika ada keperluan tentunya. Bagi para pelacur, kompleks Dolly adalah di mana "impian-impian yang bertolak dari lapar menumbuh dalam pola hidup yang serba dpaksakan" (hlm. 148). Penggambaran secara etnografis dalam buku ini memberikan gambaran yang cukup baik tentang struktur fisik maupun sosial dari masyarakat Gg. Dolly. Tapi penggambaran suasana terasa terlalu terkontrol -- tidak terasa menyeruak tabir kepelacuran serta aspek-aspek kemanusiaannya. Kehinaan kepedihan, konflik batin, serta keletihan para pelacur terasa dingin saja. Upaya Tjahjo untuk menelaah dan menjawab maksud-maksud yang diutarakannya dalam pendahuluan kurang tercapai mungkin juga karena terlalu banyak sehingga tak terfokus dan kehilangan arah. Tentang penutup ("sebuah refleksi" -- hlm. 147) hampir-hampir sekadar merupakan sambungan dari prakatanya. Padahal antara halaman 17 dan 147 itu terdapat begitu banyak keterangan yang (seolah-olah) berpretensi menjawab berbagai hal. Termasuk berpuluh-puluh tabel, yang seyogyanya buat orang awam diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia sehari-hari sajalah karena lama-lama memang mengganggu juga. Tampaknya Tjahjo terjerat metodologi akibat kesadarannya yang terlalu tinggi mengenai dirinya sebagai akademikus. Ia berusaha mengambil jarak. Ia memakai kuestioner, tabel, dan interpretasi, yang menghambatnya membuat analisa lebih mendalam. Ia juga, misalnya, tidak berusaha menganalisa kerangka institusi pelacuran atau struktur-struktur normatif serta sistem tanda-tanda yang mencegah dominasi kontrol sosial dari luar. Bagaimanapun masyarakat Dolly sarat dengan kontradiksi: ia terbagi antara yang dieksploitasi dan yang mengeksploitasi, tapi memiliki "solidaritas" yang cukup kuat untuk mempertahankan pelacuran sebagai suatu lembaga. Ia cukup memberikan konteks perkembangan sosial dan ekonomi di Indonesia, di mana banyak wanita desa yang tergeser dari pekerjaan tradisionalnya sebagai tani, akibat Revolusi Hijau. Akibatnya wanita terpaksa mencari alternatif-alternatif lain di kota. Tapi keterangan ini pun sebenarnya sudah cukup umum diketahui. Metode observasi partisipan yang dilakukan Tjahjo juga masih terasa berjarak mungkin untuk mengatasi semacam "culture shock" dalam melakukan pembedahan dan penyajian kasus masyarakat Dolly. Ia tak menggenggam obyek penelitiannya itu dengan tangan telanjang. Tapi dengan kaus tangan steril. Sehingga akhirnya ia memegang tapi tak menyentuh. Memang agaknya ada keraguan dalam mengambil sikap -- penulis mendua antara mengikuti konsepsi-konsepsi yang sudah ada tentang pelacuran (supaya mudah dimengerti dan diterima pembaca?) dan memecahkan miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat. Sikap ini pun tercermin dalam gaya penulisan yang sangat tidak utuh -- berkisar antara gaya penulisan "akademis" dan gaya sebuah novel cengeng. Ungkapan-ungkapan klise bermunculan di mana-mana pengulangan-pengulangan yang sama sekali tak perlu maupun over-romantisasi ("para pelacur itu layak dipandang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa" -- hlm. 150) serta berbagai sitiran karya-karya Rendra, Ebiet, dan Titiek Puspa yang berbau sentimental. Kita jadinya bertanya, di mana peran sang novelis terkenal yang sudah begitu bersedia menempatkan namanya sejajar dengan penulis buku yang sebenarnya, yaitu Tjahjo Purnomo? Penulis juga kadang terjebak moralisme mengapa ia sebagai akademikus harus menggunakan istilah "dosa" (hlm. 101) bagi pekerjaan pelacur, serta merendahkan obyek yang ingin dijunjungnya itu ("pelacur juga manusia (sic), yang bisa sewaktu-waktu disentuh getaran halus asmara" -- hlm. 81), yang sebenarnya ingin dihindarinya. Buku yang katanya, bukan apologia buat pelacur ini sebenarnya mempunyai potensi -- baik sebagai studi suatu aspek masyarakat yang sering dianggap "anomie" maupun sebagai "bacaan segar" yang dikehendaki para penulisnya. Yang paling patut dipuji adalah pelibatan, jerih payah, dan keberanian memilih toeik ini. Sayang kadar keilmiahannya baru sampai pada deskripsi dan metodologi dan belum sampai kepada konsep. Kesimpulan cuma terimplikasi saja -- penulis tak mengabstraksikan penemuannya untuk memberikan penjelasan-penjelasan mengenai kelompok yang diselidikinya ataupun membuat teori-teori umum tentang kelompok tersebut. Akhirnya buku ini hanya menjadi sebuah studi kasus mengenai masyarakat Dolly dan bukan sebuah uraian sosiologis mengenai pelacuran sebagai lembaga. Julia I. Suryakusuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus