SOLILOKUI (Kumpulan esei sastra)
Oleh: Budi Darma
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1983, 100 halaman.
SIAPAKAH pembaca sastra Indonesia? Itulah makanya, barangkali
untuk mengecek diri sendiri, kumpulan esei Budi Darma diberi
judul Solilokui -- berbicara kepada diri sendiri. Dalam sebuah
esei Perihal Gendon dan kawan-kawannya, Budi Darma menyimpulkan
hal itu: "Memang, sastra Indonesia tidak mengenal perbedaan
pemain dan penonton."
Mungkin itu sikap pesimistis. Tapi boleh dikata 17 esei yang
ditulis antara 1969-1981 ini begitulah nadanya. Mungkin itu
karena isu sastra yang sering tampil ke permukaan kadang memang
terasa konyol.
Sebuah contoh diceritakan pada esei Para Pencipta Tradisi --
yang dipasang sebagai esei kedua. Esei ini berkisah tentang
Nirdawat, pengarang terkemuka yang suka membongkar "kepalsuan"
pengarang lain. Nirdawat menemukan banyak sekali karya sastra
Indonesia yang ternyata cuma jiplakan sastra luar negeri. Tapi
kemudian ternyata Nirdawat menemukan pula karya sastra luar
negeri yang mirip karyanya sendiri (lebih tepat bila
sebaliknya). Jadi, karyanya sendiri pun tidak autentik.
Budi Darma, 46 tahun, penulis cerita pendek dan novel, kini
menjadi ketua Jurusan Bahasa Inggris FKSS-IKIP Surabaya, tampak
memahami permasalahan yang dihadapi sastra Indonesia. Terutama
dalam esei Para Pencipta Tradisi, Sebuah Surat untuk Harry
Aveling, Pemberontak dan Pandai Mendadak, dan Perihal Gendon dan
Kawan-kawannya, ia dengan gaya "sinisme"nya mengundang pembaca
untuk masuk ke dalam persoalan. Meskipun kemudian, Budi tidak
memberikan jalan keluar.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini