Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gadis dengan rok panjang dan kerudung hitam itu terlihat sibuk menuangkan susu panas ke dalam cangkir kertas dan menyeduh teh celup buatan Sri Lanka. Di depannya ada beberapa cangkir susu kaleng serta aneka teh merek Tanah Air dan mancanegara. Mereka sedang menyajikan Thai Tea kepada hadirin saat pembukaan pameran seni rupa kontemporer yang berlangsung di Salihara, Sabtu, 19 Januari lalu, itu. Gadis tersebut bernama Thidarat Chantachua, seniman Thailand, yang melakukan art performance dari proyek seninya yang bertajuk Bangkok Tea Project.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek ini, bersama karyanya yang lain, yakni Lukisan, yang dibuat dari benang, merupakan bagian dari pameran seni rupa yang dihelat Arco Labs dan Salihara bertajuk The Concept of Self: Individuality & Integrity di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan. Pameran yang digelar pada 19 Januari-3 Februari 2019 ini menghadirkan seniman muda dari Indonesia dan Thailand. Selain Thidarat, seniman lain dari Thailand hadir, seperti Kitikun Mankit, Chayanin Kwangkaew, dan Chulayarnnon Siripol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun seniman Indonesia yang terlibat adalah Antonio S. Sinaga, Patriot Mukmin, Rega Ayundya Putri, dan Theo Frids Hutabarat. Pameran ini menjadi sarana pertukaran wacana dan ide bagi seniman, melihat sejauh mana pengaruh politik dan budaya mempengaruhi karya mereka.
Bagi Thidarat, proyek yang menghadirkan teh Bangkok ini cukup menarik. Teh Thailand cukup dikenal. Bahkan, di Indonesia, kini teh Thailand menjamur di lapak-lapak kaki lima.
Sebenarnya karya ini ingin memperlihatkan hasil pengamatan dari perbedaan agama dan ras selama perjalanannya. Sebagai bagian minoritas dari masyarakat Thailand yang beragama Buddha, Thidarat adalah seorang muslim dan di tubuhnya mengalir darah leluhurnya dari Cina. Ia tertarik melihat sejauh mana ras, agama, dan budaya bercampur dan saling berpadu, melebur dalam sebuah komunitas multikultur bersama secangkir teh.
Performance di Jakarta ini merupakan yang kedua kalinya setelah di Malaysia. Proyek itu akan berlangsung selama lima tahun. "Ini sebuah cerita tentang relokasi dan adaptasi dengan sepotong budaya yang bertahan," ujar dia. "Proyek ini tak hanya menjadi representasi saya sebagai seniman, tapi juga orang lain yang mempunyai leluhur imigran dengan beragam latar belakang etnis."
Masih dari Thailand, Kitikun Mankit mencoba menyuguhkan ekspresi dan kegundahannya tentang identitas, kemanusiaan, dan ketidakpastian. Lihatlah dalam tiga karya dengan goresan cat minyak di kain linen. Salah satu karya tersebut berjudul Rohingya The Temperence. Lukisan itu menggambarkan sebuah kapal seperti kapal kertas berpeta. Sembilan sosok anak dan dewasa berkepala domba, dengan baju seadanya, berdiri menatap ke depan.
Sosok yang berdiri paling belakang memakai baju yang mengingatkan kita pada sosok pemimpin Myanmar, Auu San Su Kyi. Di atas baju itu, kepala tengkorak burung merpati melayang. "Gambaran tentang para pengungsi Rohingya, mereka yang terombang-ambing tak ada kejelasan," ujar Kitikun kepada Tempo, di sela-sela pameran.
Semua orang tahu betapa etnis ini mengalami penindasan dan kesewenang-wenangan di negara tokoh penerima hadiah Nobel Perdamaian itu. Dari karya ini, kita seperti melihat Nobel seolah tak bicara apa-apa dan perdamaian seakan-akan tinggal tengkorak.
Kitikun juga mencoba mengejawantahkan situasi politik di negaranya pada karya berjudul The Moon. Dengan karya surealisnya, ia memperlihatkan situasi yang tak kunjung jelas, penuh dengan intrik dan kebusukan. Seperti memperlihatkan suatu situasi kelam di depan mata yang tak akan berubah.
Dari Indonesia, Antonio S. Sinaga menghadirkan karya yang mempertanyakan, mengeksplorasi, dan melihat apa yang terjadi di sekitar kita. Agama menjadi komodifikasi yang sangat marak dan ampuh untuk menjadi alat prasangka bagi orang lain.
Ia menghadirkan "kegalauan" itu dalam karya yang sangat kekinian, seperti poster kampanye berjudul We Are Tired. Dibuat dengan teknik sablon atau cetakan di kertas, ia memasang karya cetakan itu memenuhi sebidang dinding. Tulisan berbunyi I’m Tired Talking About Religion, But Geez. Seperti memotret kepenatan anak-anak muda yang lelah bicara agama.
Karya lain Ninobegitu panggilan Antoniosangat ngepop dengan kolase bunga-bunga dalam frame kuning dan merah. Diberi judul Faith Doubt, di dalamnya tertulis dua kata yang sengaja ditulis berulang, seperti mempertanyakan, menguji lagi sejauh mana kedua kata itu terbenam di benak kita: Faith (iman, keyakinan) dan Doubt (keraguan; ragu). Karya itu menelisik dan menggelitik, mempertanyakan apakah benar "sesuatu" diyakini atau justru ragu.
Dua seniman lain dari Indonesia, Fritz dan Rega, menurut kurator Jeong ok Jeon, adalah seniman muda yang sedang mencoba eksplorasi ide dengan gaya dan medium baru. Sebelumnya, Fritz melukis realis, kini mencoba abstrak. Sementara Rega semula berkarya di atas medium kertas, kini ia mencoba berkarya di atas kanvas dan membuat patung.
Adapun satu perupa lainnya, Patriot, hadir dengan karya video yang merefleksikan tentang reformasi 1998. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo